Ketika harapan tak berjalan sesuai keinginan

Sudah banyak kali kau ceritakan tentangnya, Nana. Pria mempesona yang membuatmu jatuh cinta. Saking seringnya aku mendengarnya, aku sampai bisa melukiskannya dalam angan. Dia putih, pendiam, dan tak banyak bicara. Punya pekerjaan mapan, yang mengharuskannya keliling dunia. Sering kali tak ketahuan rimbanya, karena ia memang tak pernah mau menceritakannya. Kepadanya-lah kau acap mengirimkan email-email ceria, sekedar bercerita atau say hello saja.
“ Mestinya gimana sih, Fin, kirim surat pada orang semacam dia?” tanya Nana Chan kesal ketika jawaban-jawaban email Sang Arjuna selalu berupa sepotong kata seperti oke, ya, baik, atau emotikon tawa saja.
“ Cobalah mengirimkan satu topik yang membutuhkan jawaban, ia pasti akan terbuka lebar.”
Benar, hal itu terjadi. Namun respon kelanjutan yang Nana Chan harapkan tak kunjung datang. Nana Chan tak patah arang, ia terus melaju dan berjuang. Bahkan mengatakan dengan lantang ,” Aku bisa menunggunya meski akhirnya tak tergapai juga.”
Hebat! Aku menggelengkan kepala. Membiarkan ia dengan tekadnya untuk terus meraih hati sang Arjuna. Sayang, si dia seolah tak merasakan hembus angin cinta dari Indonesia, semua berjalan datar-datar saja hingga Nana Chan tak mampu menahan kejenuhan.
“ Aku capek. Masa gini terus?”
“ Katanya kau bertekad menunggunya, meski akhirnya tak tergapai jua.”
“ Iya. Tapi lama-lama gerah juga. Apa dia tuh nggak ngerti sinyal yang aku kibarkan?”
“ Sebagai pria cerdas, Nana Sayang, kurasa ia sudah paham. Hanya ada dua jawaban, ia sudah punya seseorang atau memang ia hanya menganggapmu teman.”
“ Ck, masa iya?”
“ Kau ingin lebih jelas?” Ia mengangguk.
“ Kenapa tak kau tanyakan apa artimu baginya? Gimana caranya kau lebih tahu, Nana.”
“ Aku takut, Fin…”
“ Takut kehilangan dia, bahkan sebagai teman?” Ia mengangguk.” Tapi itu akan melegakan perasaan. Kau takkan lagi bertanya-tanya seperti apa perasaannya padamu, dan bisa mengambil langkah lebih baik ke depannya.”
Nana Chan terdiam. Pembicaraan kami terputus oleh hadirnya sang keponakan, seorang bocah kecil lucu yang baru umur setahunan.
Lama setelah itu Nana Chan baru berkirim kabar. Bertanya apa yang mesti ia lakukan. Usaha yang ia lakukan seoalah mengalami kebuntuan dan ia lelah dengan ketidakpastian.
“ Nana Chan, cobalah berhenti mengiriminya e-mail. Mari kita lihat reaksinya, seperti apa. Ia kehilanganmu atau tidak.”
Seminggu, dua minggu, Nana Chan mulai tak sabar. Tangannya gatal ingin berkirim kabar. Aku berusaha menguatkan. Tiga minggu, empat minggu, sebulan, dua bulan…ia berhenti mengirimkan email pada sang Arjuna. Dan hasilnya, Sang Arjuna tak pernah bertanya kenapa Nana Chan tak pernah mengiriminya berita. Nana Chan surut langkah. Ia berkata ia harus berubah, berhenti memikirkannya dan lebih berkonsentrasi dengan hidupnya. Dan ia memang melakukannya. Lalu seseorang tiba, terlihat tertarik padanya tapi Nana Chan tak bisa memungkiri hatinya bahwa Sang Pengembara itulah yang merajai hatinya.

Aku tersenyum mendengarnya. Aku tak bisa menyalahkannya, karena aku sendiri pernah mengalami situasi sepertinya. Situasi yang kugambarkan dengan kalimat-
kemana aku harus memalingkan wajahku agar aku tak bisa menemukannya.
Aku ingat betapa aku sedih ketika itu. Susah betul untuk bersikap biasa setelah mendengar ia mengungkapkan bila aku tak punya tempat dalam lingkarannya selain teman biasa. Hanya Teman biasa, dengan stabilo merah diatasnya,. Saat itu aku merasa dunia seolah runtuh. Pria itu, yang memenuhi impianku tentang gambaran seorang pria tangguh tak menoleh kepadaku. Memilih gadis lain sebagai belahan jiwanya, bukan diriku. Saat itu aku berharap ia ada di depanku, dengan manis kuhempaskan dia di tanah setelah serangkaian upper cut dan jab meluncur kepadanya hingga kelojotan. Hahaha, alhamdulillah tak kesampaian (andai iya, aku bisa dituntut gara-gara penganiayaan).
Bahkan saking sedihnya aku sampai punya pikiran andai aku Luna Maya ia takkan menolakku begitu saja. Apa iya demikian? Suara tawa yang tak kemudian kukenali sebagai hatiku yang jenaka memberikan pencerahan.
Katanya ,” Jika kau Luna Maya yang kau cari bukan dia, Ariel Peter Pan lah yaaaaw!”
Aku tersenyum kecut sambil garuk-garuk kepala. Iya juga ya.

Lalu hari pun melaju, Nana Chan. Aku menegakkan kepala, berhenti menghubunginya dengan cara apapun juga untuk meredakan hati yang membara. Mudahkah Nana? Tidak. Kadang kerinduan itu menghunjam perasaan. Membuat pertahananku bobol dan ingin mengiriminya email panjang. Ketika email selesai kutuliskan Nana Chan, pikiran warasku bekerja dan menghentikan keinginan itu. Jangan! Hatiku kecil memberikan peringatan. Dengan senyuman ia menunjukkan padaku bahwa itu bukan sebuah kepantasan.
“ Ada hati yang mesti dijaga, Sayang. Cobalah berpikir andai kau kekasihnya, maukah kau jika ada rival yang terus membuntuti langkahnya (baca memberi perhatian) meski hanya lewat email yang berisi apa kabar?.”

Maka sejak itu kupalingkah wajahku kepada Tuhan. Kudapati hatiku lebih tentram, tak lagi mengingatnya dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Kadang-kadang jika sms apa kabarnya datang, aku merasa perasaan asing itu belum seratus persen hilang. Tapi aku bertekad takkan balik kanan, kubiasakan ia dalam posisi teman. Berusaha keras agar sms-ku terbaca biasa saja. Bahkan tak pernah berusaha menanyakan seperti apa dia sekarang, kecuali mengikuti apa yang dia ceritakan. Lain tidak. Kukatakan pada hatiku yang cantik itu ,” Ia hanya teman, maka bersikaplah seperti layaknya teman. Terima dia , tanggapi dia sewajarnya. Tak ada embel-embel lainnya.”

Jika kau bertanya apa aku menyesal telah pernah menyukainya, sahabatku tercinta? Tidak, Nana Chan. Sebab ternyata ada kebaikan dalam situasi tak menyenangkan yang kurasakan. Apa itu?
Satu belajar tentang kejujuran. Memang Nana Chan, sakit rasanya menerima kejujuran itu, bahkan aku berharap ia sedikit berbohong dan mengatakan agak menyukaiku. Namun aku bersyukur ia tak begitu, andai iya aku justru akan semakin terluka.
Kedua, pesan kebaikan. Ia memberiku satu hal yang tak kulupakan. Bukan cinta tapi kalimat baik yang berbunyi “Lakukan saja jangan banyak bertanya”. Kalimat sederhana yang mengingatkanku agar aku tak terlampau khawatir ini itu jika punya cita-cita. Konsentrasi saja, jangan biarkan pertanyaan bagaimana jika menghantuinya. Ringankan langkah dan tembus penghalang, kira-kira begitu yang bisa kuartikan.

Nana Chan tersayang, jangan sedih jika harapan berjalan tak sesuai keinginan. Dari ceritaku kau bisa mengambil kesimpulan, selalu ada hal baik dalam kejadian yang tak mengenakkan.
Kau tahu jika ingin menikmati pelangi, kau harus membiarkan hujan deras itu turun. Maka begitulah hidupmu, nikmati kisahmu dan tegakkan kepala kecilmu.
Jika ada yang bilang waktu bisa menyembuhkan, aku akan mengiyakan. Tetapi bukan dengan diam. Jangan biarkan perihnya jadi penghalang, teteskan obatnya agar semakin cepat sembuhnya sang luka. Oh ya, jika rindu padanya membuatmu tersiksa, bawalah namanya dalam doa-doa yang kau pinta. Doa yang kau muncul dengan ketulusan bukan karena dorongan keinginan memilikinya. Yakinlah, seperti efek sebuah gema, apa yang kau teriakkan itulah yang akan kau terima. Oh ya ini aku menemukan kalimat yang indah untukmu, semoga ini bisa menginspirasimu:
Kau tak bisa membuat seseorang mencintaimu, kau hanya bisa membuat dirimu sendiri menjadi seseorang yang dicintai “
( Derek Gamba)


Only story, inspired by somebody named V and my daily funny story
ditemani oleh buku bagus berjudul Chicken Soup For The Teenage Soul III
anyway thanks berat untuk curhat sahabat-sahabat tersayang, tanpa sadar kalian memberi pelajaran dan mendewasakan
Maaf jika aku seringkali hanya jadi pendengar, tak bisa memberi solusi pada kalian, tapi insyaallah sebagai teman aku akan berjaga-jaga dari kejauhan, kalau-kalau kalian butuh bantuan 



Komentar

Posting Komentar