ANAK SAYA YANG PEREMPUAN

Anak saya yang perempuan, umurnya sudah tiga puluh sekarang. Betah betul melajang, bikin hati saya empot-empotan. Mikir siang malam, apa jadinya kalau ia terus menerus sendirian. Apa dia ndak ngerti kalau kawin punya anak lewat tiga puluh itu beresiko tinggi? Bukan hanya itu, kalau terlalu tua saat punya anak itu ndak enak. Bayangkan disaat anak-anak masih memerlukan biaya besar, kita sudah loyo. Tak bertenaga untuk mencari uang. Repot kan?

Tapi dianya ringan. Tiap kali saya menyinggung perkara itu jawabannya enteng saja. Nanti juga ketemu.
Kapan?
Entahlah.
Ibu kan keburu tua. Kalau mati gimana?
Eh dia malah berkata ,” Lha kalau saya dulu yang mati?”
Skak mat! Saya ndak bisa omong. Hanya menghela nafas panjang dan membiarkannya melenggang.
Tulilut! Tulilut!
Itu hape anak perempuan saya. Nampaknya ia tak berkenan. Sambil mendecak malas ia biarkan sms itu berlalu tanpa balasan.
“ Dari siapa kak?” saya berharap yang sms itu-pria.
“ Orang kantor. Males deh. Lagi cuti juga ada aja yang nelfon kemari.”
Oh. Bukan dari seorang pria? Yang barangkali menaksirmu atau apa? Bukan ya? Padahal saya mengharapkannya.
Kemarin dulu ia bercerita ada yang naksir dengannya, tapi anak perempuan saya biasa aja. Kenapa enggak? Kata saya. Dia nyengir saja.

Anak ini memang angelan alias susah dari sononya. Sejak kecil ia punya pikiran sendiri tentang banyak hal. Tidak akan bergeming jika bukan karena dirinya sendiri yang menyuruh. Cenderung keras kepala. Mirip Bapaknya. Bapaknya saja sampai geleng kepala.
Dulu jaman dia kecil, dia paling males dipita-pita. Padahal saya senang melihatnya. Lucu. Sedang ia lebih suka membiarkan rambut ikalnya tergerai begitu saja. Lepas, melintir-melintir melewati kepala kecilnya. Percayalah, butuh waktu dan debat seru hanya untuk melihatnya memakai pita-pita itu.
Saat usianya menginjak remaja, disaat anak-anak sebayanya sedang senang-senangnya ngecengin cowok-cowok sebayanya ia cuek saja. Iseng saya tanya-kenapa? Dia bilang dia nggak bisa pura-pura dan bermanis muka biar mereka terpesona. Suruh saja baca tiga buku tebal ketimbang ikutan heboh begitu. Anehnya ia selalu kebagian curhat teman-teman perempuannya, mulai dari bahagia sampai patah hatinya. Jika begitu ia akan sediakan telinganya untuk mendengar dan memberi komentar. Seperti seorang pakar.

Ah sok tahu, kamu. Kamu nggak pernah pacaran kok ngasih tahu orang? Kata saya waktu itu sambil bercanda.
Ngasih tahu orang kan harus dari pengalaman pribadi. Dari buku, dari cerita teman kan bisa. Sahutnya.
Waktu masuk kuliah juga. Ia emoh diatur-atur harus masuk fakultas mana. Semua sesuai kemauannya. Keinginannya. Padahal saya ingin ia masuk kedokteran. Dan apa jawabannya? Ia bilang ,” Sayalah yang paling tahu seberapa besar seberapa kapasitas saya.”
Sekarang perkara jodoh sama juga. Ia lempeng saja meski sudah banyak orang yang mengenalkannya dengan pria-pria baik. Saya jadi gemas. Apa sih maunya nih anak? Masa dari sekian banyak itu ndak ada juga yang nyantol sih?!

Tulilut! Tulililuuut!
Ponsel saya berteriak kencang. Dari anak kedua saya rupanya. Riang saya menyapa. Menanyakan keadannya di Kalimantan. Ia bilang sehat dan tenang. Semua baik-baik saja. Saya jadi lega. Tapi langsung berdebar ketika ia berkata ingin saya melamarkan seorang gadis untuknya. Deg! Kakaknya-anak perempuan saya itu bagaimana? Ia bahkan tak terlihat menggandeng siapa pun. Masa iya dia harus dilangkahi adiknya. Saya resah selepasnya
“ Kak…” lembut saya menyapanya.
“ Hm…” ia asyik menatap layar komputer. Tangannya sibuk ketak-ketik.
“ Adik minta dilamarin gadis.”
“ Ya lamar aja.”
“ Kakak gimana?”
Ia hentikan ketukan diatas tuts keyboardnya. Ia memandang saya. “ Gimana piye to, Bu?”
“ Mbok Kakak itu cepet cari sana. Kan ndak enak dilangkahi adik.”
Anak perempuan saya garuk-garuk kepala. “ Nyari itu ya dimana sih, Bu?”
“ Kan banyak tuh…”

Dia nyengir. “ Masa iya nyari pria hanya biar nggak dilangkahi adiknya. Masa iya mencari pria hanya berasalasan bosan diomongin orang karena seusiaku masih betah melajang. Nikah kan gak cuma perkara penyatuan dua badan untuk menghasilkan keturunan. Lebih dari itu kan, Bunda? Nikah itu tanggung jawab luar biasa. Pada Tuhan, pada keluarga, pada anak-anak saya, pada suami saya, juga diri saya. Saya tak ingin menjadikan seorang pria kesempatan buat saya untuk menghindarkan diri dari cibiran orang. Lantas bubaran sebelum setahun pernikahan dengan alasan ketidakcocokan. Doakan saya, Bu, insyaallah nanti pasti ketemu. Yang baik, yang seru, yang sayang sama Bapak itu, tapi juga punya jiwa petualang seperti di gambar itu,” ucapnya santai sambil menunjuk salah gambar pada lembar mimpinya.

Kalau tidak ketemu? Saya jadi ingin menangis.
“ Optimis. Jangan mikir negatif. Biar Tuhan juga yakin kalo mo ngasih.”
Saya diam. Menatap anak perempuan saya dengan perasaan campur aduk. Anak perempuan saya-usianya sudah tiga puluh sekarang. Bukan lagi gadis lima tahunan. Sudah dewasa dan punya pikiran sendiri akan banyak hal. Kurasa ia benar saat berkata sebaiknya saya mendukungnya dari belakang. Berpikir positif dan mendoakannya. Tetapi salahkah saya jika berharap ia segera menemukan jodohnya di usianya sekarang? Dan menghidangkan harapan itu setiap kali kami berbincang? Terdengar memaksakah jika demikian? Entahlah.
Saya menghela nafas. Menatap anak perempuan saya sambil berdoa pada Tuhan.

* thanks to Three Miss Kenthir

:)

Komentar

Posting Komentar