BICARA DENGANNYA, SUATU KETIKA

Sudah lama menghilang. Baru berbincang lagi sekarang. Percakapan mengalir ringan. Tak ada beban, pun perasaan yang tertahan. Seperti dua tahun sebelumnya saat ia tak menggubris cinta (atau setidaknya itu yang kurasa) yang kusuarkan padanya. .
Menetap di gunung aku sekarang, katanya di awal pembicaraan. Sudah malas kembali ke kota besar. Lebih nyaman. Udaranya tidak menyesakkan. Orang-orangnya lebih ramah dan menyenangkan. Kehidupan berjalan jauh lebih tenang. Apa yang tersaji di permukaan ya itu juga yang di dalam. Ndak susah dibaca, katanya lagi.
Saya mengangguk mendengarnya. Terselip tanya ,” Kemana rasa itu ya? Kok saya ndak merasakan getar seperti dulu mendengar suaranya? Kemana hilangnya funny feeling itu?”
Apa mungkin waktu telah menyembuhkan luka? Atau karena kepakanku sejauh ini telah mengajari arti cinta dan persahabatn yang sebenarnya? Tak tahu juga. Pokoknya hatiku tenang-tenang saja, tak jumpalitan gila karenanya.
“ Lha istrimu orang mana?”
“ Belum.”
“ Heh? Belum ya? Lha dulu itu bukannya sama Mbak di kota J ya? Tapi nggak apa wong biasanya kamu cepet dapat ganti kok,” kata saya santai saja. Mengingat track record sebelumnya.
“ Asem ik,” balasnya, khas medok Jogja.
“ Haha,” saya tertawa .” Tapi sekarang on the way to marry kan?”
“ Belum juga.”
Saya tertawa. Coba saya dengar ini dua tahun sebelumnya. Saya pasti jejingkrakan. Merasa punya kans untuk melakukan pendekatan. Tapi sekarang? Saya menggeleng pelan. Ia teman saya, bukan pria yang ingin saya kejar sampai kelelahan untuk jadi imam. Seperti sebelumnya. Capeeek, Bu...aku nggak mau lagi seperti itu. Huhuhuhuhu…
“ Ya nanti juga ketemu,” kata saya sambil mencari-cari rasa sakit yang menyelip di hati saat mengatakannya. Tak ada.
“ Masih jualan sayur.”
“ Masih. Besok tuh aku ekspor ke Jerman.”
“ Sayur?”
“ Bukan. Kopi.”
“ Masih tetep suka jalan-jalan ya?”
“ Ya iyalah. Kapan itu ke Merbabu.”
“ Masih suka nulis berbau mesum juga kamu itu?”
Gyahahahaha! Tawanya berderai kemana-mana.
“ Nggak… Nggaaak juga sih.”
“ Hehehehe…Bener nih pengen kembali ke perkotaan?”
“ Nggak, enak yang sekarang. Lebih nyaman. Bener-bener merasakan yang namanya kerja sambil bermain. Ngomong-ngomong aku malah pengen jadi petani lho.”
“ Oh ya? Sama aku juga punya mimpi macam itu,” sahut saya sembari mendongak memandang lembar mimpi. Saya punya juga impian semacam itu. Lengkap dengan gambaran hidup saya dua puluh tahun ke depan. Jadi petani, punya rumah berhalaman luas, dengan kebun bunga di depan dan kebun sayur di halaman belakang lengkap peternakan kecil disitu.
Jika ditanya kenapa saya akan jawab karena saya memang tak senang kehidupan di bawah kungkungan gedung-gedung menjulang kota besar. Pun hiruk pikir suara motor dan mobil yang bersahutan. Pernah tinggal di Bali sebentar, hasilnya adalah pengen lari pulang. Panas, pengap membuat saya gatal-gatal. Reaksi tubuh aneh, yang orang-orang tidak keluhkan. Biar saja orang bilang Bali itu menyenangkan, saya tetap kekeuh mengatakan Bali tak lebih dari tempat bersenang-senang untuk sekian hari ke depan. Lantas kembali pulang jika sudah segar. That’s it!
Sebentar kemudian percakapan usai. Sekelumit hati berteriak senang ,” Hore aku sudah sembuh sekarang! Aku tak menemukan bercak-bercak luka yang acap membuatku menghindarinya. Terima kasih Tuhan, untuk berbagai pelajaran yang kau berikan selama dua tahunan. It was soooo manjur for meee! Hihhihi!”
Oh ya, barokallah untukmu, kawan. Aku senang dengan kabarmu barusan. Ayo kita berpacu di jalanan. Meraih apapun yang bisa kita impikan. Sebelum Tuhan memanggil kita pulang. Ganbatte!

Hearing Eric Clapton, Bryan Adams, Andy McKee, R

Komentar