MENDING MONOPOLI DARIPADA POLIGAMI





Satu ketika, seorang teman datang. Dari mukanya saya sudah bisa nebak, dia pasti ingin bercerita panjang lebar. Karena saya sedang bekerja, saya membiarkannya. Hingga akhirnya dia bicara.      
“Fin, kayaknya aku jatuh cinta lagi deh,” katanya kalem. Takut terdengar lainnya. Sesuatu yang sebenarnya aneh juga, karena dalam satu ruang waktu itu hanya ada dia dan saya, sementara rekan sekerja lainnya ada di ruang sebelah.   
 “Hah?” saya pura-pura tidak mendengar. Sekedar memastikan apa benar yang saya dengar.
 “Aku jatuh cinta lagi,” ia tersenyum malu-malu sambil cengar-cengir. 
 Gleg! Jatuh cinta lagi? Waduh gaswat, ini! Pikir saya.    
 “Sama siapa?” tenang saya bertanya. Sambil mata menghadap komputer dan tangan bekerja diatas keyboard, membuat laporan.         
 “Itu tuh,” katanya sambil menjelaskan siapa dia.     
 Saya tahu perempuan itu. Saya pernah melihatnya sekali. Waktu itu ada perasaan aneh juga, karena teman saya itu jadi sering bercerita tentang dia. Tapi karena saya nggak mau dikira mencampuri urusannya, saya diam saja. Meskipun kadang suka kasak-kusuk dengan rekan sesama admin lainnya.
“Hm, terus?” mata saya masih menatap layar komputer, sementara telinga saya pajang untuknya.
“Ya gitu, deh…” ia memulai ceritanya.   
 Seperti umumnya orang jatuh cinta, hal-hal yang ia ceritakan sudah klise terdengar. Mendadak jadi perhatian, mengirim sms singkat sekedar bertanya kabar. Tak enak jika sehari saja mendengar suaranya. Begitulah yang terjadi pada teman saya.    
 “Hati-hati,” kata saya.      
 “Ah, aku bisa menanganinya.”      
Oh, ya? Sekarang mungkin ya? Nanti-nanti saat perasaan berkembang? Mana tahan?      
“Kalo nyonya tahu, bisa gawat. Daripada situ jadi dendeng papi looh,” kata saya.   

Umumnya orang yang jatuh cinta, semua terlihat indah saja. Halangan di depan mata tak dihiraukan. Rasanya semua syah demi menuntaskan kerinduan. Tak sadar ia mulai bermain peran, sebagai pria baik-baik di depan nyonya dan dua buah hatinya padahal dibelakang ia sembunyikan kisah cinta terlarang (duh, bahasanya hehehe).
Tak hanya saya, rekan sesame admin lainnya juga mengingatkan. Biar nggak kebablasan. Soalnya bisa runyam kalau ketahuan. Tapi teman saya tetap kukuh dengan keinginannya. Membagi cintanya untuk perempuan lainnya.
“Maaf, kalau anak dan istrimu gimana? Mana perempuan itu juga teman baik keluargamu juga. Gak kebayang deh kalo bom-nya meledak,” kata saya. Rekan sesama admin saya mengiyakan, sementara si pria yang jatuh cinta itu hanya cengengesan.
“Kalian tahu gak sih, dia itu beda. Sangat manis, baik, dan memperhatikan.”
“Yaelah, semua juga gitu pada awalnya!” tukas kami berdua, aku dan rekanku.          “Coba aja ntar, emang dia bisa seperti istrimu? Yang memaafkan meski kamu suka misuh-misuh. Yang rela hati me-lap jas hujanmu biar besok kalo dipake sudah kering?”            Mendengar pertanyaan itu dia tertawa.
“Belum tentu juga sih.”     
“Tapi ya terserah deh. Yang menjalani kan situ,” kataku dan rekanku.    
Ya meski kami tak setuju, kami rasa kami tak punya hak melarang. Toh setelah diberi banyak pertimbangan dia tetap jalan  dengan si dia. Perempuan muda yang manis dalam setiap katanya.
Bahkan ketika wacana menikah siri dengannya mengemuka kami juga diam saja. Meski dalam hati kami tidak sreg mendengarnya. Kalau begitu caranya itu hanyalah untuk melegalkan hubungan yang sebenarnya tidak syah saja. Jadi apa sih yang ada di kepalanya itu tentang mempunyai dua istri? Apakah ketika dia mendengar kata poligami yang dicatat hanya sampai bagian Islam membolehkan pria mempunya lebih dari seorang istri tanpa melihat bagian lainnya. Padahal jelas ada tulisan “jika mampu”. Baik secara finansial, fisik, dan mental.  Dan satu lagi harus seijin istri pertama. Dan bukan sekedar menuruti keinginan syahwat saja. Sekedar menunjukkan “hei, aku ini banyak disukai wanita loh”.
Entah bagaimana akhirnya kawan saya tidak jadi menikah siri. Keinginannya mempunyai istri lain selain yang utama sirna oleh satu masalah. Sempat saya dengar karena gara-gara kasus itu hubungan dengan istri sempat merenggang. Sementara dengan si perempuan lain juga runyam sebab si wanita merasa tidak terima, karena kawan saya (engan berbagai pertimbangan) tidak mau menikahinya.
“Kamu tahu dia itu (si wanita lain) bla, bla, bla…” dumalnya mirip lebah berdengung di sarangnya. Bikin saya dan kawan perempuan saya nyengir dan bertanya ,”Lha dulu itu gimana?”
“Nggak jadi poligami nih?” tanya kami berdua.
Dia manyun. Dan kami tertawa.
So, buat yang berkeinginan untuk menambah istri mending dipikirkan lagi. Jika tidak menguasai ilmunya, jelas bikin pusing kepala.
Membagi secara adil itu mudah dikatakan, sulit diejawantahkan. Banyak yang kemudian gagal dan berakhir dengan kisah menyedihkan. Istri muda dan istri tua baku hantam. Pada rebutan warisan. Wah? Menakutkan.
Daripada poligami, yuk main monopoli hihihi...Lebih seru dan menyenangkan. Bisa dimainkan banyak orang. Gimana? Mau main barengan? 



Komentar

  1. wkwkwkwkwk... baca judulnya aja udeh ngakak... seru ceritanya, mba Afin. Kasian deh temennya. Makasih ya dah ikutan...

    BalasHapus
  2. hihihihi, iya mbak emang selingkuh dan hampir aja nikah siri. Tapi udah tak tambahin lagi lo bagian missing linknya biar nyambung sama judulnya

    BalasHapus

Posting Komentar