PAHLAWAN TAK KELIHATAN





Berperawakan kecil dengan rambut ikal beruban pria itu setia dengan pekerjaan yang dilakoninya sejak muda, membuka bengkel las di dekat pasar Genteng Wetan. Tempatnya tidaklah besar. Hanya sebuah tempat dari triplek berukuran 2x3 meter yang berdiri tepat diatas sungai. Sama sekali tidak kokoh, hingga bila diisi lebih dari tiga orang akan terdengar bunyi kemeretak dari lantainya yang terbuat dari papan bekas.
            Siang hari selepas ashar ia akan pergi mengurusi kambing-kambingnya yang ia kandangkan sekitar setengah kilo dari tempatnya tinggal. Di tempat itu kambingnya di kandangkan di seberang musholla yang ia dirikan. Musholla terbuka tempat anak-anak mendulang ilmu agama. Tak jauh dari musholla Baitul Munir II sebuah jembatan melintang di atas suangai. Melalui jembatan itulah beliau setiap hari mencari pakar ternaknya dengan menyabit  rumput di sisi-sisi pematang.
            Sore hari, selepas maghrib ia akan bersiap mengajar ngaji di Baitul Munir I. Sementara Baitul Munir II diserahkan kepada putranya. Di Baitul Munir I itulah saya pernah menjaring ilmu darinya. Tak hanya perkara agama tapi juga bagaimana menyikapi hidup.
            Sebagai pria yang menjadikan profesi tukang las sebagai mata pencaharian gajinya tidaklah besar. Seorang teman yang pernah membantu di bengkel kecilnya bercerita sehari kadang hanya satu dua yang datang. Tak jarang tak dapt pelanggan. Jika sudah begitu bisa dipastikan beliau pulang dengan tangan hampa. Yang membuat saya kagum adalah kekonsistenannya mengajar ilmu agama meski keadaannya sedemikian rupa. Bahkan beliau tidak pernah mengeluh meski anak didiknya tidak membayar SPP mengaji yang besarnya waktu itu mencapai Rp 2.500,-. Beberapa dari mereka ada yang tertib, tapi selebihnya menunggak pembayaran hingga berbulan-bulan.
            Terus bagaimana proses belajar mengajar bisa lancar berjalan? Padahal dibutuhkan listrik terang sewaktu mengajar malam? Untuk orang yang kantongnya tebal mungkin tidak jadi soal. Berapalah mengeluarkan uang untuk membayar listrik sebuah musholla? Tapi untuk pria seperti Ustadz Munir lain. Seberapa pun kecil pengeluarannya pasti besar artinya.
            Sewaktu teman saya yang mengurusi SPP hendak menagih Ustadz melarangnya. Beliau berkata agar membiarkannya. Saya sendiri tak habis pikir kenapa justru dibiarkan. Ilmu itu kan mahal. Seharusnya orang-orang paham. Ilmu dunia saja harganya berjuta-juta masa ilmu akherat malah tak ada harganya.
            Atas pertanyaan itu Ustadz memberi jawaban, memang seharusnya ilmu itu dihargai mahal. Agar orang bisa menghormati ilmunya. Tapi jika banyak yang tak mampu alangkah baiknya bila diikhlaskan saja.
         Waduh, seandainya saya pasti takkan tahan terus mengajar ngaji anak orang sementara saya kekurangan. Namun Ustadz tak pernah mengatakan dirinya kekurangan. Ia yakin pertolongan Tuhan akan datang.



    berkumpul dalam acara Haflatul Imtihan beberapa tahun silam

Sebagai bukti ucapannya itu ia sering menceritakan beragam kesulitannya dan pertolongan macam apa yang Tuhan kirimkan. Salah satunya adalah proses pembangunan mushola Baitul Munir I. Mushola itu berdiri hanya dengan tekad. Beberapa orang menganggapnya mustahil saat mengetahui cita-citanya itu. Ia tak punya banyak uang, lalu bagaimana cara pembangunan bisa berjalan? Namun Allah itu bekerja dengan caranya. Sedikit demi sedikit mushola berhasil dibangunnya. Dan Ustadz tidak pernah mengatakan itu semua jerih payahnya. Ia selalu mengaku banyak orang yang membantu mewujudkan mimpinya.
Bagi saya hari-hari tak terlupakan. Tanpa sadar ia telah member teladan agar  kami tidak takut bermimpi. Biar saja orang berkata itu tidak mungkin. Tapi tetaplah yakin bahwa satu hari mimpi itu akan tergapai. Tak hanya itu, ia juga mengajarkan pada kami bahwa tak harus kaya untuk beramal. Banyak jalan jika mau melakukan. Dengan doa, senyum, sampai ilmu pun bisa diamalkan. Seperti dirinya, mengajar ngaji tanpa bayaran. Tetapi ada satu hal yang selalu beliau tekankan bahwa apapun yang kau lakukan qanaah dan amanah harus tetap dipegang.
Sampai sekarang Ustadz masih bekerja sebagai tukang las merangkap guru ngaji di malam hari. Ia terus mengajar meski murid yang datang tidak sebanyak dulu lagi. Beliau bilang, ia akan terus mengajar ngaji sampai tidak bisa lagi. Semoga Allah selalu memberkahinya, pria  yang telah menularkan ilmunya pada beratus-ratus anak dengan rela.


Tulisan ini diikutsertakan pada Lovely Little Garden's First Give Away 

http://niken-bundalahfy.blogspot.com/2012/09/lovely-little-garden-first-give-away.html



Komentar

  1. Sosok yang patut diteladani sifat baik, keikhlasan dan kesabarannya.

    Terima kasih untuk partisipasinya ya mbak Afin Yulia.
    Tercatat sebagai peserta Lovely Little Garden's First Give Away.

    BalasHapus

Posting Komentar