(GA YaAllahBeriAkuKekuatan, Aida MA) TULANG RUSUK YANG MENJADI TULANG PUNGGUNG




Dikatakan wanita diciptakan dari tulang rusuk pria, tetapi di  masa kini tulang rusuk itu telah menjelma menjadi tulang punggung bagi keluarga. Itulah kisah tentang Su, kawan saya. 
Su adalah kawan saya semasa SMP. Ia seorang yang periang, pemberani, dan berpenampilan seperti pria. Sudah lama kami tidak berjumpa, sejak kami SMA hingga sekarang. Padahal kami tinggal satu kota. Tetapi Tuhan rupanya punya cara mempertemukan Su dan saya dan kawan-kawan. Entah bagaimana kami waktu itu sepakat mengadakan kunjungan pada teman-teman lama. Seperti Su, misalnya. Kami takjub begitu bertemunya. Su kini sangat berbeda.  Ia tak lagi berpenampilan seperti pria, tetapi keriangan dan keberaniannya masih tetap ada. Pertemuan itulah yang kemudian membuka kisah pilu rumah tangganya, ia kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Seperti orang-orang lainnya, alasan Su menikah dengan suaminya adalah karena cinta.  Meski dibayangi oleh ketidaksetujuan kedua belah keluarga, Su dan suaminya nekat juga. Demi cinta itu pula Su nekat berpindah agama walau kemudian ia ditentang oleh keluarganya yang notabene keturunan Cina. Semua nampak indah pada awalnya. Meski tidak sepenuhnya sempurna tetapi keduanya bahagia. Masalah mulai terjadi saat usaha suaminya mengalami kemunduran. Saya kurang jelas dibidang apa, tapi yang jelas hal itu memukul telak perekonomian keluarga mereka. Suaminya menjadi lebih kasar dan ringan tangan. Sedikit saja berbuat kesalahan maka Su akan menerima akibatnya. Entah berupa pukulan, tendangan atau cacian.
Tekanan lain datang dari keluarga suaminya. Ibu mertuanya sering berkata-kata buruk padanya. Andai saja mereka tidak serumah mungkin tidak terlalu menjadi masalah, tetapi saat itu mereka masih numpang di rumah mertua. Jadi Su harus  terima-terima saja diperlakukan demikian  oleh mertuanya. Saat-saat itu terberat baginya. Pernah satu hari karena hal sepele, mereka bertengkar. Su dipukul dan ditendang hingga tak sadarkan diri. Anehnya setiap kali melakukan perbuatan seburuk itu, keesokan harinya suami Su bersikap baik sekali. Ia meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya hingga hati Su luluh. Kenyataannya janji-janji itu tidak terbukti. Rentetan  persoalan itu membuatnya frustasi. Saking buntu pemikirannya ia sampai nekat menggoreskan silet di nadinya.  Beruntunglah Allah mencintainya. Seseorang mencegahnya dan justru memberi pencerahan agar ia lebih kuat menjalani kehidupan. Dorongan lain yang membuatnya sadar adalah anak-anaknya. Bagaimana nasib mereka tanpanya?
Melihat keadaan Su, ibu dan keluarga lainnya tentu bersedih. Mereka menyesali mengapa Su dulu tidak mengikuti saran mereka dan memilih pria seperti dia. Terbukti sekarang bahwa ia berperangai kasar dan menyebalkan. Apa boleh buat, itu sudah menjadi pilihannya. Mau tak mau ia menjalaninya.
Di tengah himpitan ekonomi itu, sebuah tawaran datang padanya. Mereka akan membantu bila Su mau kembali kepada keluarga dan agama lamanya. Su bukan tidak ingin menerima bantuan itu, tetapi bila harus kembali kepada agama lamanya ia tidak bisa. Agama bukan sesuatu yang bisa dimain-mainkan begitu saja. Ia mengambil banyak pertimbangan sebelum pindah. Memang awalnya yang jadi pendorong adalah suaminya. Namun keputusan ada di tangannya. Ia melakukannya atas kesadaran sendiri dan bukan dipaksa orang lain. Di titik ini kamu semua terpana. Waduh, jika itu kami apa iya akan setahan itu? Cobaannya berat sekali, kawan! Menyangkut masalah ekonomi. Kebanyakan orang akan menyambar kesempatan apapun untuk bisa makan dan mencari kehidupan yang layak.
Akhirnya Su mencari jalan keluar lain. Ia menyadari sekarang bukan saatnya ia berdiam diri dan menunggu suami. Ia harus bekerja untuk masa depannya dan anak-anaknya. Masalahnya apa? Ia minim pengalaman kerja, sementara ijazahnya hanya SMA. Satu-satunya pekerjaan yang memungkinkan baginya adalah berjualan kue keliling. Meski tak punya modal ia tetap bisa melakukannya dengan cara menjajakan beragam kue kue buatan tetangganya. Dan nanti ia akan menyetor hasilnya pada mereka. Masalah terselesaikan!
Benarkah demikian? Itu nampaknya. Kenyataannya lain lagi. Su ternyata kerepotan mencari ijin suami. Suaminya memang pencemburu, maka sejak menikah suaminya melarangnya bekerja di luar rumah. Praktis Su dirumah saja, mengerjakan pekerjaan domestik selayaknya ibu-ibu rumah tangga.  Wajar ketika Su meminta ijin untuk berjualan keliling ia tidak mengabulkannya. Namun Su tidak patah arang, setiap hari ia mencoba mempengaruhi suaminya. Pikirnya toh ia melakukan itu demi keluarga mereka. Sang suami akhirnya mengijinkan dengan syarat-syarat seperti  jangan macam-macam diluar, jangan bicara dengan pria sembarangan, pekerjaan rumah tangga harus beres, dan sebagainya dan sebagainya.
          Sejak itu Su pun memulai profesi barunya sebagai penjual kue keliling. Biasanya dia mulai bekerja setelah selesai menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya. Rute jualannya dimula dari TK yang terletak sekitar setengah kilometer dari rumahnya, lalu ke Puskesmas, Bank, Kecamatan dan lain-lain tempat. Setidaknya dari jam tujuh pagi hingga dua belas siang itu ia bisa bolak-balik menjajakan kue sebanyak dua atau tiga kali.  Pembawaannya yang ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja memudahkan ia untuk menjajakan kuenya. Jarang sekali kuenya tidak laku, meskipun ada tetapi tidak banyak. Ia bahkan tak peduli cuaca. Hujan, panas, dingin, atau apapun akan diterjangnya demi keluarganya. Bahkan sakit pun akan dilupakannya asal anak-anak bisa makan.
          “Aku tidak boleh sakit. Jika sakit pun aku akan tetap berjualan. Jika tidak siapa yang mau memberiku uang?  Aku tak mau anak-anakku kelaparan,” katanya membuat kami trenyuh.
          Dari pekerjaan itu ia  mendapat uang sebanyak sepuluh sampai lima belas ribu sehari. Tak besar memang, tapi itu  membuat periuk nasinya bisa ditegakkan. Adapun suaminya perangainya menjadi lebih baik semenjak ia bisa bekerja mencari nafkah sendiri. Memang kala-kala kekasaran masih terjadi, tetapi sang suami tidak berani lagi menendang, menempeleng seperti dulu lagi. Su sendiri telah berubah, rupanya pekerjaan itu telah memberinya sebuah kepercayaan untuk membela diri di depan suaminya. Ia bukan Su yang dulu lagi, Su kini lebih berani bersuara. Bukan karena ia tidak menghormati suaminya, tetapi justru ia ingin suaminya sadar perbuatan semena-menanya itu tidak pada tempatnya.
          Terkadang saat ia terlampau lelah, terbersit tanya mengapa hidupnya sesusah ini? Apakah salahnya hingga diberi pendamping pemalas seperti suaminya kini. Bila tidak mancing, ia duduk-duduk saja dirumah. Sementara ia harus banting tulang menafkahi keluarga. Terkadang terpikir olehnya untuk berpisah saja. Tapi pikiran itu itu dienyahkannya bila teringat anak-anaknya. Bagaimanapun mereka adalah bapak anak-anaknya, pilihannya pula, maka ia tak boleh menyerah begitu saja pada kata berpisah.
          “Kau tak pernah menegurnya perkara pekerjaan itu?” tanya kami.
          “Bukannya tak pernah, tetapi akhirnya malah jadi ramai. Ya, sudahlah.  Aku ini malas bertengkar, malu sama tetangga dan anak-anakku yang sudah besar. Meski begitu aku tidak membiarkannya begitu saja,kadang ya kutegur juga, tapi sepertinya belum tergerak hatinya,” ujarnya sambil memandang pada kedua anaknya yang asyik menikmati nasi dengan sayur sop,  berlaukkan tempe dan tahu setipis pelat itu. Aduh, kami menahan perasaan melihatnya. Terlebih melongok penampilan sayur sop yang minim sayuran. Jika diumpamakan sayur sop itu kolam, maka kolamnya terlalu besar sementara isinya hanya dua ekor ikan kecil. Bisa dibayangkan kan?
          “Bu, aku minta tambah tempenya ya?” tanya si sulung saat itu, menukas pembicaraan kami.
          “Hush, sudah! Nanti saja!” sahutnya.
          Si anak langsung diam dan meneruskan kembali makannya meski tanpa lauk. Kami menghela napas melihatnya. Dirumah tempe dan tahu sampai keleleran, enggan memakannya bila sudah dingin. Disini minta tambah saja sampai ijin segala. Aduuh!
          “Terus bagaimana?” tanya kami lagi.
          Su diam, lalu menjawab ,”Ah, aku pasrahkan pada Allah saja. Gusti Allah yang punya hidup ini. Allah memberikan kesulitan tentunya tidak akan melebihi kemampuanku, kan?”
          Kami diam, menyelami perkataannya dengan berbalik bertanya pada diri sendiri. Jika kami menjadi dirinya masihkan itu yang kami katakan? Rasanya lebih mudah mengumpati Tuhan saat kemalangan bertubi-tubi menyerang. Dalam perjalanan pulang kami mendapati banyak pelajaran, tentang ketegaran mahkluk bernama perempuan.
          Setelah pertemuan itu kala-kala saja kami bertemu. Semasa itu pula yang lebih banyak diceritakannya adalah anak-anaknya. Ia seringkali berkata betapa beruntungnya ia memiliki dua anak sepengertian mereka. Mereka tidak pernah menyusahkan dirinya.  Su jarang memberikan bekal, selain sepiring sarapan pagi. Namun anak-anak ini tidak protes sama sekali. Yang lebih lucu lagi, setiap kali mengambil dagangan ibunya anak-anak ini akan membayarnya. Ini benar adanya, karena kami melihat dengan mata kepala kami sendiri. Apa pasal? Anak-anak itu kasihan kepada ibunya.  Mereka tahu seberapa besar keuntungan berjualan kue keliling, jika itu dipotong dengan kue yang mereka makan pasti keuntungannya berkurang. Mereka juga jarang mengeluhkan tentang makanan. Nasi putih berlauk tempe saja sudah cukup bagi mereka. Pemikiran anak-anak ini benar-benar dewasa melampaui umurnya.
          Allah itu memang luar biasa ya? Di saat Su sedih karena ulah suaminya, ia diberi kebahagian melalui anak-anaknya yang luar biasa.
          Beberapa waktu lalu saat berjumpa dengannya ia nampak ceria. Ia bercerita bila kini suaminya mau bekerja.  Sejak beberapa waktu lalu pria  itu berjualan masakan matang buatannya. Seperti nasi kuning, mie, dan lainnya yang dijajakan jauh di desa-desa. Ia begitu bersyukur atas perubahan ini. Menurutnya ia kerepotan karena ini. Bagaimana tidak? Ia harus bekerja sejak malam agar paginya masakan itu siap dijajakan.  Namun menurutnya itu repot yang menyenangkan bila dibanding sebelumnya.
          Kami  tersenyum mendengarnya. Di mat akami ia luar biasa, mampu menahan perih dan egonya demi keutuhan rumah tangga. Bisa saja ia memilih berpisah dari suaminya, namun ia justru tegak berdiri dan berusaha keras  agar biduk rumah tangganya tegak seperti harapannya. Jempol dua untuknya, tulang rusuk yang menjelma menjadi tulang punggung bagi keluarganya.



you can read the information here
   http://jarilentikyangmenari.blogspot.com/2012/12/give-away-buku-yaallahberiakukekuatan.html

Komentar

  1. sungguh tulang rusuk yang kuat dan hebat, tak mengeluh meski harus lebih kuat dari tulang lainnya.
    Salut.

    BalasHapus
  2. iya mbak, kamia sering mbrebes sendiri kalo melihat keadaannya

    BalasHapus
  3. sosok perempuan yang kuat, terima kasih sudah berbagi yaa

    BalasHapus
  4. ah sama-sama mbak Maya, semoga ini bisa membuat kita jadi lebih bersyukur, terutama saya sih sebenarnya
    :)

    BalasHapus
  5. Mrebes mili bacanya. Salam untuk Su ya :)

    BalasHapus
  6. Makasih mbak vanda, orang seperti dia ada untuk nyentil rasa syukur dan peduli sesama

    BalasHapus
  7. Iya mbak, begitulah. Makasih udah kemari :-D

    BalasHapus
  8. Saya nangis,nasib Su serupa saya, tapi saya kurang setegar dia,seceria dia,padahal pekerjaan saya insyaallah lebih menjanjikan.Hanya suami belum mendapatkn pekerjaan tetap,tp saya blm tahu seberapa keras usahanya mendapatkn pekerjaan,krn jika membahas ini,ujung2nya perang dingin. Tapi Alhamdulillah suami tdk kasar. Terimakasih tulisannya, mengingatkn saya utk bisa setegar Su.Salam berjuang utk Su.

    BalasHapus

Posting Komentar