SAAT IBU SAKIT : SAYA PILIH MELEWATKAN KESEMPATAN ITU...




Membaca judulnya pasti anda mengira saya telah melakukan hal yang luar biasa. Mengorbankan sebuah kesempatan besar bernilai jutaan dollar hanya demi ibu saya. Tidak. Saya tidak melakukannya. Yang saya lakukan hanyalah melewatkan kesempatan mendapatkan pekerjaan baru. Tidak lebih.
Semua bermula hari Jumat pekan silam saat seorang teman mengirim pesan :
“Gak minat melamar jadi tenaga pendamping? Yang dibutuhkan S1 Pertanian”

Wah, lowongan yang bagus. Sesuai dengan ijazah saya. Rasanya patut dicoba. Itu sebelum saya teringat kalau jadi pendamping petani otomatis kerjanya di lapangan *krik, krik. Kalau nanti saya ikutan dan diterima (hihi udah yakin aja diterima) terus Ibu nanti sama siapa? Kalau Bapak sendiri yang menjaga ibu kasihan juga. Sementara dua adik saya sudah besar-besar dan bekerja semua. Satu nun jauh di Kalimantan, satunya lagi meski dekat tetap saja namanya orang bekerja itu tak bisa sebebas saya.

Lho memang Ibu kenapa?
Sejak beberapa bulan lalu ibu sakit. Saya sendiri kurang paham apa sakitnya. Waktu dirawat di rumah sakit kapan itu dokter juga tidak mengatakan apa-apa. Jadi sampai sekarang saya juga masih gelap soal “kenapa-kenapanya”.
Yang jelas ibu sering mengalami nyeri atau menurut bahasa ibu cekit-cekit di bagian kaki. Tidak hanya di satu tempat tapi bisa berpindah-pindah. Jika sudah kumat, ibu sampai menitikkan air mata. Banyak orang menduga penyakit itu karena kadar asam urat ibu tinggi. Tapi begitu diperiksa kadarnya normal saja. 

Lalu kenapa? Apakah itu akibat diabetesnya?
Bisa jadi. Meskipun ketika diperiksa kadar gula ibu saya waktu itu juga normal saja. Menurut Mayo Clinic orang berpenyakit diabet mempunya risiko yang lebih tinggi untuk terkena berbagai penyakit tulang dan sendi. Seperti neuropati diabetik, osteoporosis, osteoarthritis, DISH (Diffuse idiopathic skeletal hyperostosis), atau Dupuytren contracture. Tapi saya tidak bisa memastikan yang dialami ibu itu disebut apa. Sebab dokter-lah yang berhak mengatakannya.

Kondisi Psikologis Orang Sakit
Saat sakit  kondisi psikologis seseorang bisa naik turun. Terkadang bisa sangat tegar. Tapi bisa sensitif dan mudah marah di saat lain.
Yang saya pahami, kemarahan itu sebenarnya bukan pada orang lain, tetapi lebih kepada diri sendiri. Ibu ingin sehat seperti sedia kala dan tidak menyusahkan siapapun di dekatnya, tetapi kenyataan malah sebaliknya.
Sering saat bicara, ibu mengutarakan betapa tidak enaknya berada dalam kondisi begini. Ia sering merasa bersalah karena sakitnya telah membuat semua orang kelelahan. Tidak tidur malam karena serangan cekit-cekitnya suka tidak tahu aturan, kapan pun bisa menyerang, bahkan  malam hari saat orang seharusnya mengistirahatkan badan.

Apa sih yang dibutuhkan saat salah satu anggota keluarga sakit begini?
>>Dukungan yang kuat dari setiap anggota keluarga. Tak melulu soal dukungan finansial, tetapi juga dukungan moral. Tak harus ketemu muka, telepon pun bisa membuat si sakit merasa lega.

>>Mengalihkan perhatian, itu juga penting buat si sakit. Dengan begitu fokusnya bisa berubah, tak lagi memikirkan sakitnya tapi memikirkan tentang hal-hal yang menyenangkannya. Apa itu? Masing-masing orang tentu berbeda. Kalau Ibu saya, Ibu selalu nampak ceria jika sudah membicarakan Kenzo cucunya. 

kenzo sekarang sudah besar, sudah bisa nyanyi cica di didi (cicak-cicak di dinding)
Makanya kadang-kadang saya iseng bertanya pada ibu mau minta  saya nyanyi lagu apa, Cicak-Cicak Di Dinding atau Satu-Satu Aku Sayang Ibu. Tahu kenapa? Sebab dua lagu itu sedang hits dinyanyikan Kenzo, cucu tercintanya. Saban hari dia menyanyikan dua lagu itu meski belum jelas benar kata-katanya. Setiap kali telepon (Kenzo tinggal di Kalimantan dengan ortunya), salah satu lagu dari dua lagi itu pasti Kenzo nyanyikan. Kenapa sih saya melakukannya? Saya berharap perhatian ibu teralih, dari memikirkan penyakitnya penuh-penuh menjadi beralih ke hal lain yang menyenangkannya. Dalam hal ini ngomongin cucu.

Atau kalau tidak sambil memijit kakinya (sebenarnya lebih tepatnya mengelus sih, karena kalau dipijit keras-keras ibu merasa sakit), saya suka mendadak bilang ,”Wah, Ibu tuh kece banget ya? Dulu pasti lebih kece lagi.”
Hihihi, tahu apa yang ibu lakukan setelahnya. Sambil tertawa dia berkata ,”Kalau nggak cakep masa Bapakmu suka Ibu? Kalau nggak cakep masa dulu banyak yang naksir Ibu?”
Selanjutnya percakapan jadi mengalir, dan ibu bisa sedikit lupa pada penyakitnya saat kami bicara hal-hal di masa lampaunya.

Ini persis banget dengan apa yang Dale Carnegie bilang kalau manusia itu suka bila diajak bicara hal-hal yang mereka minati. Entah kesukaannya atau apapapun itu. Jadi jika ibu anda sakit lakukan hal ini, siapa tahu justru ini bisa membuat Ibu jadi lebih bahagia. Bukankah kebahagiaan itu bisa mengalirkan optimisme dalam hidup?

Lalu bagaimana dengan kesempatan menjadi tenaga pendamping petani? Saya abaikan saja. Pilihan yang terbaik sekarang adalah tetap tinggal di rumah, menulis sekaligus dan jadi back up-nya Bapak menjaga ibu. Catet saya hanya jadi back up saja. Sementara yang  memegang peranan utama tetap Bapak saya. Bapak itu luar biasa betul menjaga ibu saya. Bapak yang paling sering terjaga saat malam. Bapak juga sangat disiplin soal makanan yang dikonsumsi ibu. Semua makanan ibu Bapak yang menyiapkan. Mana yang boleh dan mana yang dilarang, Bapak tahu semua.

 
sayuran sangat baik untuk pengidap diabetes, terutama yang dimasak tak terlalu matang

Adik-adik saya juga hebat, mereka mendukung ibu dengan caranya. Yang di Kalimantan suka telepon Ibu, tanya ini-itu, cerita segala hal yang menyenangkan hati Ibu. Atau malah kirim obat seperti propolis yang meski belum bisa menyembuhkan tetapi setidaknya bikin ibu tahu mereka memperhatikan Ibu meski dari kejauhan. Yang kecil suka ngobrol dengan Ibu, dia-lah sopir kami ketika diperlukan.

Lha kontribusi saya apa? Kalau dalam pertandingan olahraga, saya ibarat cheerleader yang mengibarkan pom-pom saja. Jadi kalau misalnya ada lomba anak yang berbakti pada kedua orang tua, saya yakin tidak masuk kriteria. Iya dong, kontribusi hanya seiprit gitu...

Nah, itu tadi sekedar sharing saya saat ibu sakit. Untuk teman-teman yang mengalami kondisi sama—Ibu atau Bapak sakit meski penyebabnya beda—semoga diberkahi kesabaran.
Bagi anda yang punya pekerjaan dan tinggal di kota yang berbeda kondisi ini jelas bikin anda serba salah. Anda ingin berada dekat orang tua, tapi disisi lain institusi  tempat anda bekerja tak memberi ijin anda untuk menjaga orang tua lama-lama.

 Jika memang tidak bisa cuti lama untuk menunggui ibu, sering-sering telepon saja. Kalau bisa jangan menangis, tapi justru perdengarkan suara yang ceria.
Keceriaan itu menular, sebaliknya tangis malah membawa kesedihan. Jadi segalau apapun anda karena memikirkan ayah atau ibu yang sakit, tetap harus ceria. 

Kalimat positif seperti “Ah, Ibu pasti bisa sembuh” atau “Bapak tuh orangnya kuat, sakit beginian mah kecil. Ya kan Pak?” sangat mereka perlukan.
Sementara membicarakan penyakitnya dan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi justru tidak saya sarankan. Begitu juga memberi nasehat agar  si sakit minum obat macam-macam. Bukannya  memberi efek baik, simpati semacam itu bisa membuat si sakit jadi down dan kesal. Alhasil kesembuhan malah jauh panggang dari api.


Semangat!

Komentar

  1. Salam kenal, Mbak... menarik sekali tulisannya, simple tapi mengena...kalau menurut saya, mbak ini lebih dari sekedar cheerleader lho heheh..btw, setuju banget baha keceriaan dan kesedihan sama-sama menular..jadi lebih baik pilih ceria aja kan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mbak Shenia, hihi iya ceria itu menular. Jadi mari kita ceria, cheers

      Hapus
  2. Insya Alloh pilihan yang tepat ya mak, dan pasti akan dapat ganti yang lebih baik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih ucapannya Mbak Rahmi, terima kasih juga sudah mampir kemari

      Hapus
  3. Mengurus orang tua juga penting ya Insya Allah diberikan kemudahan dari Allah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, iya mbak Lidya.
      Saya ngebayangin kalo tua nanti terus sakit anak-anak gak ada galau juga.
      Barakallah untuk Mbak Lidya

      Hapus
  4. Saya juga pernah dua tuhan di rumah aja karena mesti jaga orangtua, meskipun kadang jenuh, tapi alhamdulillah akhirnya bersyukur karena bisa nikmatin waktu bareng mereka

    Salam,
    Ara

    BalasHapus

Posting Komentar