AH, TERNYATA KITA LEBIH PANDAI MENCELA...







Tahun ’98 ketika para mahasiswa demo menuntut Presiden Suharto dilengserkan, saya bertepuk tangan. Saya senang betul melihat akhirnya ia turun tahta. Tentu saja tak lupa membubuhinya dengan komentar paling pedas yang saya bisa.
Lalu seseorang berkata ,”Jangan terlalu...”
“Memangnya kenapa? Orang seperti dia pantas menerima hujatan. Sudah lama dia membuat kita sengsara.”
“Memang benar, tetapi diantara itu pasti ada saja sisi baik yang akan dikenang.”
Saya mencebik tidak percaya. Mana mungkin orang seburuk itu punya sisik baik, pikir saya sambil terus menonton riuhnya demo mahasiswa via televisi. Lalu Presiden benar-benar tumbang. Harapan saya semoga setelah ini Indonesia berjaya dan gilang-gemilang.

Ekspektasi saya berlebihan. Tahun berlalu, pemimpin berganti, Indonesia masih segini-gini aja. Tak satu pun dari mereka yang bisa membawa Indonesia bersinar, pikir saya kecewa.  Rupanya tidak hanya saya yang kecewa, orang lain juga sama. Secara random ada saja diantara mereka yang ternyata merindukan jaman kepemimpinan Presiden Suharto.
“Meski otoriter, tapi hidup ndak serepot sekarang. Sekarang apa-apa mahal, duh...memang benar ‘Penak jamane Mbah Harto biyen (Enak jaman Pak Harto dulu)’.”
Jreng! Kalimat itu mengingatkan saya pada ucapan “Memang benar, tetapi diantara itu pasti ada saja sisi baik yang akan dikenang.”

Lalu bagaimana dengan saya?
Meski sama-sama kecewa, saya justru tidak setuju pendapat itu. Jaman Pak Harto, kebebasan pendapat dikebiri. Coba saja mengeritik pemerintahannya, kalau tidak mau hilang tak tahu rimbanya. Kalau anda pegawai pemerintah, hanya satu partai yang bisa anda masuki—Golkar! Lain tidak. Kalau sampai anda selaku PNS tidak ikut kegiatan mereka, terutama saat kampanye seperti ikut pawai atau justru hadir di lapangan mendengar orator mereka bicara segala macam, bisa dipastikan nasib anda buruk. Dilaporkan pada pimpinan, sulit naik jabatan, sampai mutasi bisa anda dapat. Dan hal-hal lain (yang bisa sampeyan tambahkan kalau mau).

Lantas apa yang dilakukan oleh orang yang kecewa macam saya?
Apalagi kalau bukan mencela seindah-indahnya (bayangin dah tuh mencela seindah-indahnya). Dikit-dikit berkomentar mencari kambing hitam. Bahkan kalau tidak hitam pun akan tetap saya olesi cat agar hitam alias mencari-cari salah, layaknya orang pintar. Untungnya saya hanya ngedumel di depan teve, tidak nyampah di sosial media. Ha kalo saban kali ngedumel saya tulis, kemungkinan besar saya sudah di block sama orang-orang.

Sampai kemudian Allah yang baik mengingatkan lewat orang lain yang muak dengan situasi sekarang, terlampau banyak orang pandai berkomentar tetapi justru belum pernah berbuat apa-apa untuk negerinya.
Saya lupa apa persisnya kalau tidak salah ,”Segala hal dikomentari, segala hal dicela. Memangnya mimpin negeri itu macam sulapan? Bisa langsung hebat dalam sekedip mata? Mbok mikir pakai otak, jangan pakai dengkul!”
Deng! Tentu saja saya tidak setuju. Sambil mencebik kesal saya bergumam ,”Lha wajar to rakyat komentar. Mosok salah didiamkan. Lagian kalau ndak siap dicela ya jangan jadi pemimpin bangsa. Ya ‘kan?”
“Mbok sebelum bacot itu bertanya sudah berbuat apa untuk bangsa?” terusnya.
Wiik, rambut saya langsung berdiri saking kesal. Situ tuh bacot doang, batin saya geram. Tapi lama setelahnya saya justru tercenung. Iya ya saya sudah berbuat apa untuk bangsa? Kayaknya kok ndak pernah tuh berbuat apa-apa.

Tiba-tiba saya teringat Diah Widuretno, teman saya. Diam-diam di luar sana kiprahnya lewat Sekolah  Pagesangan sudah memberi manfaat untuk banyak orang. Lha dia saja memilih untuk tidak koar-koar gaje, saya yang miskin ilmu bin miskin pengetahuan, kok berani-beraninya sok pintar. Itu jaan...alakazaam! Ndak cocok, kawan.
Merenung lebih jauh, saya mencoba menempati posisi sebagai pemimpin bangsa. Ah, karena susah saya mundur ke belakang, mengingat tahun-tahun silam ketika saya ditunjuk jadi ketua kelas semasa saya masih bocah unyu. Kelas saya berisi 45 orang dengan saya waktu itu. Jadi saban hari saya harus memimpin 44 orang lain yang punya pemikiran berbeda. Sukses ndak? Yo, blas!
Kalau saja waktu itu sudah ada sosial media, ha pasti saya sudah habis jadi bahan omongan mereka. Afin Yulia ketua kelas otoriter! Ketua kelas sok iyes! Ketua kelas dodol! Sok pinter ngatur padahal bisanya bacot! Hahaha...ampun DJ!



Dari situ saya diingatkan kembali betapa saya lupa menjadi pemimpin itu tidak gampang. Betapa saya lupa bahwa memuaskan banyak orang tak semudah membalik telapak tangan.  Sejak itu saya mikir panjang sebelum mencela, apalagi nulis di sosial media. Bukan karena takut, tapi karena sadar saya tak punya kapasitas cukup untuk ngomentari orang. Apalagi komen yang cerdas dan berimbang. Orang seperti saya komentarnya jarang didasarkan pada pemikiran matang, tetapi cenderung mengikuti panasnya otak dan perasaan. Sekedar terprovokasi media tanpa tahu akar masalahnya. Pokoknya saya berpikir yang tersaji di media itu benar saja, lupa bahwa media akhir-akhir ini tak beda dengan penjual kacang yang nyari keuntungan. Lupa banyak sekali orang-orang pintar yang gemar memancing di air keruh untuk kepentingan diri dan segolongan orang.
Tapi bukan berarti setelah kesadaran itu datang saya jadi pandai mengerem jari untuk mengetik komentar. Kerap hati manusia bergejolak dan menaruh semua kesadaran itu di belakang. Lantas dengan goblog-nya saya ikutan komentar hal-hal yang belakangan terkenal secara viral. Sumpe, nggak komentar itu rasanya gatal. 

Pertanyaannya ,”Tahu goblog kok diterus-teruskan?”
Lha tapi piye ya, wong mencela itu wenak je.

Komentar

  1. Aku berpikir enak jaman si Mbah karena mungkin dulu masih kecil yah. Ngga mikirin beli beras dan juga kebutuhan rumah tangga.

    Nah, sekarang dah jadi emak2, kudu ngatur deh jatah sebulan harus cukup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi, iya ya mbak Rani. Enakan jaman kecil dulu. Sebaliknya pas dulu masih kecil kita pengen cepet besar, begitu besar...triing! Puyeng ngatur pengeluaran

      Hapus
  2. Karena mencela itu pekerjaan yg sangaaat gampang hihihi
    *ups, harus mawas diri nih aku Mbak biar ga gampang mencela ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahah iya itu mbak, mencela itu sebegitu gampangnya. Nggak pake mikir asal njeplak jadilah dia, padahal....

      Hapus
  3. Paling gampang mencela tapi jarang yg mencela mau berkaca

    BalasHapus
  4. Hihihi... Kalo bahasa kami, "iso maido, ra iso ngelakoni." Bisa mencela, tak bisa melaksanakan.
    Salam kenal, Mbak... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hwakakaka, Iya mbak Nadiroh emang bener apa yang sampeyan bilang. Ora iso nglakoni

      Hapus
  5. yah begitulah. Ada aja orang yang mudah mencela. Padahal dia menilai dari balik kaca. Saya pribadi dari seluruh pemimpin Indonesia yang pernah dan sedang memimpin, pasti punya penilaian sendiri. Tapi berusaha gak mencela, ah. Karena belum pernah menjadi pemimpin sekian banyak manusia :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener sampeyan mbak, kita ini bisanya lihat dari balik kaca, ndak tahu apa yang terjadi sesungguhnya.

      Hapus
  6. Karena yang mencela itu belum pernah merasakan sendiri bagaimana kalau di cela...na'udzubillah..jangan sampai kita menjadi pribadi pencela..
    salam kenal mba...

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal juga Mbak Ika, rat-rata begitu ha contohnya ya saya ini. Belum tahu susahnya jadi pemimpin tapi...

      Hapus
  7. Hahahahha...komentator selalu lebih pandai dan lebih punya kuasa dari yg dikomentari emang.

    BalasHapus
  8. betul , waktu anak saya kuliah aku wanti2 untuk gak ikut demo2 mahasiswa , lebih baik cari kegiatan yg bisa berguna untuk org banyak. Kl komentar negatif gampang tp kalau kita sendiri yg mengerjakan juga belum tentu bisa

    BalasHapus
    Balasan
    1. wakakaka, emang ya mbak. Komen negatif itu gampang, tapi kalo disuruh praktek biasanya pada dada-dada syantiik...

      Hapus
  9. wahahah... aku ketawa sendiri baca tulisan ini soalnya kadang suka ngerasa g enak sendiri abis nyibir orang hihihi. Yang namanya hidup itu ada plus sama minus dan sangat sangat ngga mungkin bisa bikin semua-muanya hepi. udah pasti ada yang ngerasa kurang trus nuding nyalahin lebih buruk lagi mojokin sampe ga ada tempat buat nafas. pheeew...

    BalasHapus
    Balasan
    1. lha itu dia, kita suka lupa kalo kita belum tentu benar juga ya. Salam kenal mbak sasa

      Hapus
  10. Golkar menjadi penguasa dulu, ya. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. pssst, jangan bilang-bilang ya Mbak Idah kalo saya bilang "Iya" hihihi

      Hapus

Posting Komentar