OLEH-OLEH DARI ATAMBUA 3 : INIKAH INDONESIA?



Setelah merasakan perjalanan lama yangbikin pantas saya kebas, kini saatnya saya menceritakan ketika saya diam-diam bertanya : Inikah Indonesia? 

duh, sayang gambarnya blur
  Ya, itulah pertanyaan yang muncul di kepala saya melihat rumah-rumah beratap daun lontar kering, berdinding bebak, tanpa ventilasi, dan berlantai tanah di tepi jalan. Beberapa nampak modern dengan sentuhan atap seng, jendela kayu, dan lantai semen. Lainnya, seperti yang saya ceritakan. Beberapa dari rumah-rumah itu sudah miring. Jika angin kencang menerpa bisa jadi rumah itu roboh seketika. Ditilik dari segi kesehatan jelas rumah gewang tanpa jendela dan berlantai tanah sangat kurang. Tanpa ventilasi berarti aliran udara dari dalam dan luar tidak berjalan lancar. Dengan demikian bisa meningkatkan penularan penyakit di dalam rumah, contohnya penyakit infeksi pernapasan. Tanpa ventilasi berarti rumah juga kurang mendapat cahaya alami. Membuat rumah lembab dan rentan terhadap bibit penyakit. Lantai tanah juga berpotensi tidak bagi bagi kesehatan. Jika kering berdebu, sebaliknya jika musim hujan becek. Kondisi ini akan menyebabkan penghuninya mudah terserang penyakit terutama kala hujan.

Soal infrastruktur jalan sama saja. Masih banyak daerah yang susah akses jalannya. Menurut cerita Kalix masih banyak di NTT daerah yang jalanannya tidak bagus. Seperti yang saya temui di Fulur, kecamatan Lamaknen. Jalan menuju area itu semula memang bisa ditempuh dengan aspal. Hanya saja tanpa motor atau jenis kendaraan pribadi lainnya, susah untuk pulang pergi dari dan ke Fulur. Mendekati daerah Fulur, jalanan beraspal menghilang berganti dengan jalan berbatu yang menyulitkan siapapun yang mengendarai kendaraan. Tikungan yang kerap curam dan tajam menghiasi sepanjang jalan. Percayalah, kalau sopirnya tak berpengalaman mobil yang kami tumpangi alamat tak sampai tujuan. Belum lagi berdebu dan panas yang ampuun! Kalau saja AC tak menyala bisa dipastikan kami akan mandi keringat. 


Beberapa kali jalanan yang berat membuat kami terlontar-lontar. Saya sampai berdiri dan berpegangan pada pipa memanjang yang terdapat di kiri kanan jendela, karena kalau duduk goncangannya lebih terasa. Beberapa kali terdengar seruan bersama-sama. Semua dipicu oleh kondisi jalan yang luar biasa. Berbatu, miring, berbelok tajam dengan ketinggian yang curam. Fuuh! Huud Alam, pemenang dua Gramedia Blogger Competition itu mengakui jalan ke Fulur luar biasa. Membuatnya mual dan pusing kepala. Hahaha, memang begitulah kenyataannya. Terlebih jika sebelumnya tidak terlatih melewati jalanan seburuk itu. 

hanya 1 jam  13 menit, tapi kondisi jalan yang buruk membuat perjalanan lebih lama (source : google map)

 Kata Om Ambo, dari Save The Children Atambua, inilah yang harus dihadapinya tiap kali pergi ke Fulur. Waduh, mendengar itu saya langsung nyengir kuda. Mana sanggup saya terlontar-lontar diatas kendaraan begitu rupa. Bisa-bisa muntahlah isi perut ini! Gara-gara itu kami bercanda, jika pergi ke Fulur jangan banyak makan. Kondisi jalanannya mempercepat makanan untuk balik keluar. Wahahahaha!

Ibu Ovy dan anak-anak muridnya yang belajar di Reading Camp sore itu

 Tiba di Fulur, mobil yang kami tumpangi sempat kerepotan mencari tempat parkir. Jalanan di desa itu tidak datar, tapi naik tajam. Kalau parkir sembarangan bisa-bisa si mobil meluncur turun. Setelah menemukan tempat parkir baru kami turun menuju reading camp, salah satu kegiatan yang diadakan Save The Children Atambua untuk anak-anak Belu. Di tempat itu anak-anak berkumpul di bawah pohon beralaskan terpal biru dengan seorang fasilitator yang mengajari anak-anak membaca dan berhitung. Cara mengajarnya menarik, diselingi dengan lagu dan permainan yang bikin anak-anak betah belajar. Ibu Ovy (kalau tidak salah begitu namanya), berdiri di tengah mengisahkan sebuah cerita lalu memberikan umpan balik yang mendorong anak-anak untuk menjawabnya. It was fun!


 Menurut para fasilitator lain yang sempat saya tanya, reading camp ini memberikan manfaat banyak untuk anak-anak mereka. Yang semula susah jadi lancar membaca dan berhitung. Sebelumnya, anak-anak seumuran mereka (duduk di kelas 1-3), kesulitan membaca. Berdasarkan cuitan Save The Children tanggal 22 Juli, 61% siswa di Belu tidak mampu membaca dan menjawab pertanyaan sederhana. Temuan semacam ini membuat saya merasa tercengang. 

Lagi-lagi saya bertanya inikah Indonesia? Negeri yang sebentar lagi merayakan hari kemerdekaan ke-71? Indonesia yang terlihat baik-baik saja di mata saya karena selama ini yang saya lihat hanya sebatas Jawa. Dimana pembangunan begitu masif, tak seperti yang saya lihat di Belu.

Soal pendidikan? Oh jangan ditanya! Betapa jauh perbedaan pendidikan di Jawa dengan area yang berbatasan dengan wilayah Timor Leste ini. Tak hanya hanya jauh, tapi njomplang se-jomplang-jomplangnya. Di Jawa anak usia tujuh tahun sudah mengerti baca dan hitung. Keadaan yang saya lihat di Belu adalah gambaran Jawa empat puluh tahun lalu, dimana masih banyak anak yang belum bisa membaca hingga kelas dua atau tiga. 

Pantas adik ipar saya yang bekerja sebagai guru di Kalimantan pernah berseloroh, kalau 70 tahun Indonesia merdeka yang merdeka baru Jawa. Tempat lain masih banyak yang terengah-engah mengejarnya. Terutama soal infrastruktur dan pendidikan. Perjalanan itu membuka mata saya, betapa pembangunan di Indonesia masih belum merata. Saya jadi merasa betapa saya beruntung lahir dan besar di Jawa. Dimana infrastruktur dan pendidikannya sudah lebih baik dari daerah lainnya. Bahkan juara. Saya jadi sedikit malu karena selama ini saya terlampau banyak mengeluh. Apa yang saya bilang sulit ternyata tak sebanding dengan kenyataan yang saya lihat di Belu.


Salam.



Komentar

  1. pemerintah harus lebih memerhatikan sekolah2 yang ada di pelosok... mereka pun juga butuh ilmu dan perhatian dari pemerintah

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang tidak bisa mengandalkan mereka saja. Semua pihak harus bekerja sama, sebab kalo ngandelin pemerintah duh bisa-bisa gak jalan. Nah,kegiatan macam reading disana itu justru yang ngadain LSM.

      Hapus
  2. Pengalaman saya di beberapa daerah pedalaman di papua, masih banyaaaaaaakkk sekali infrastruktur, baik jalan sampai bangunan sekolah yang tidak memadai, bahkan jauh dari kata layak. Tapi tak hanya pemerintah pusat yang bertanggung jawab akan hal ini, pemerintah daerah juga sebenarnya memiliki andil yang sangat besar sebagai perpanjangan tangan pusat. :( miris memang, jangankan di daerah2 pedalaman, bahkan di pelosok pulau jawa saja masih ada sekolah yg mau roboh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya benar itu mas Usmar Ismali, di jawa yang notabene dekat dengan istana masih banyak yang ya..begitulah

      Hapus
  3. Iya, banyak tempat di Papua pun miris. Sulungku dua bulan ini KKN di sana, cerita2nya mencengangkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. ha bener mbak Evylia, itu yang saya lihat di NTT juga. Pendidikan masih kalah dengan jawa

      Hapus
  4. Semangatnya Ibu Ovy patut dicontoh ya.. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada lagi yang lebih keren, saya lupa namanya. Dia cuma lulusan SD tapi mau jadi relawan untuk ngajarin baca anak-anak disana

      Hapus
  5. Sepertinya di wilayah Indonesia bagian Timur perkembangan dunia pendidikan masih jauh tertinggal yaa...mba buat laporan ke Menteri Pendidikan pas nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak Muti, sangat. Memang butuh kerjasama semua pihak, nggak cuma pemerintah aja. SEbab ngandalin pemerintah bisa-bisa lama. Cuma yang mandegani itu siapa?

      Hapus
  6. Balasan
    1. amin, Mas Agung. Semoga bisa kesana dalam waktu dekat

      Hapus
  7. mantap nian mbak.. perjuangannya. dulu saya pernah dinas ke Kupang. saya nginep di jalan sudirman. konon jalan sudirman di ibukota provinsi itu biasanya paling yes lah infrastrukturnya. tapi ternyata masi seperti wilayah bekasi.. -maaf buat anak bekasi-.. malah bekasi lebih hebring.. -tuh saya puji-..

    pemerataan ekonomi emang penting. tapi beyond that, pemerataan akses pendidikan berkualitas itu juauh lebih penting. salut buat mbak yang jadi volunteer ke atambua..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang benar, mbak. Kupang itu tak ubahnya kota kecamatan. Sepi bener disana. Jalanan lengang, enak banget buat jalan. Cuma ya itu puanasnyaaaaa!
      Saya setuju soal pendidikan berkualitas itu, suwer kaget saya lihat kondisi disana

      Hapus
  8. Kita harus ngakuin kalo masih banyak sedih yang tersimpan di pelosok negeri ya mbak? Hmm

    Salam,
    Senya

    BalasHapus

Posting Komentar