Abaikan Orang-Orang Yang Demen Body Shaming, Sebaik Apapun Dirimu Mereka Tetap Akan Menemukan Hal Untuk Memperolokmu




"Dua-duanya  (maaf) pendekawati ... ups."
Kalimat itu terlontar ringan di Instagram Rossa ketika mengunggah fotonya bersama dengan Tasya Kamila dalam balutan baju pengantinnya.
Apakah kamu pernah mengalami hal yang sama? Seseorang mengolok karena bentuk fisikmu tak sesuai standarnya? Pernah? Oh, ya kita sama.

Sebagai perempuan bertubuh semampai (semeter lebih dikit nyampai) dengan berat 50 kg (65 sebenarnya, tetapi 15 kg selebihnya adalah kebahagiaan hakiki), saya acap menerima komentar tidak menyenangkan. Entah disampaikan secara bercanda atau justru betulan. Misalnya pas di jalan ketemua teman, tiba-tiba dia nyeletuk ,"Ampuun, kamu kok tambah lebar?" atau malah "Astaga, gendut betul sih kamu? Makannya dong dijaga!".

Oleh karena itu saya berusaha untuk mengurangi setidaknya beberapa kilo lemak di badan. Upaya yang saya lakukan waktu itu adalah lari. Lumayan, dulu itu saya bisa lari kurang lebih 1 km, meski thimik-thimik (pelan sekali). Aih, dasar apes. Saat getol-getolnya lari pagi seseorang bilang "Kok tetep gendut sih, padahal rajin lari."
Dongkol?
Lha iyalah. Saya tahu badan saya masih gendut. Nggak dibilangin juga saya sadar diri.

Terus apa yang saya lakukan?
Saya sewot luar dalam meski tidak memperlihatkan. Saya jadi merasa kalau usaha saya lari nggak ada manfaatnya. Lha nyatanya saya tetap gendut, nggak berubah juga. Akhirnya saya berhenti lari. Karena merasa hanya dapat capeknya tapi nggak kurus-kurus juga, hahahaha ...
Padahal kalau dipikir-pikir tidak juga. Saya tetap dapat manfaatnya. Saya memang tidak langsing gara-gara lari itu, tetapi saya sehat. Tidak gampang sakit dan merasa kalau mood selalu terjaga.


Jujur saja tak ada satu pun orang yang akan termotivasi untuk menguruskan badan, menjaga makanan, atau malah berolahraga seperti yang disarankan dengan body shaming. Yang ada justru runtuh secara psikologis. Mungkin tidak nampak secara fisik, tetapi di dalam sana perasaan teriris-iris. Sudah itu ditaburi pula dengan kalimat semanis jeruk nipis, hadew ... diri ini jadi kian meringis. Atiit, Kakak.

Lebih jauh body shaming juga bisa berdampak serius. Apa tuh? Eating disorder dan bulimia contohnya. Bahkan kerapuhan menghadapi tekanan sosial bisa membuat mereka nekat mengakhiri hidupnya. Akan tetapi, apakah mereka menyadarinya? Enggak. Ketika ketika mengungkapkan kesedihan kita justru dianggap baper. Masa gitu aja merana, ih dasar lebay jaya!

Tahun berlalu, saya belajar bahwa body shaming itu bisa menimpa siapa saja. Bahkan jika dia terlihat sempurna. Ketika kau kurus kau akan ditanya “Kurus amat? Jangan-jangan lagi susah ya?”. Ketika kau cantik, langsing, berkulit putih,  bahkan berprestasi seperti Rossa atau Tasya Kamila orang masih saja berkata “Elah, pendeknya.” Saat kau semampai dan berbody aduhai, namun kakimu besar pasti akan ada saja orang yang bilang “Ya ampun, kakimu kok kaya kaki kesebelasan?”. Yang kakinya langsing kaya belalang diolok-olok kaya ranting pohon.



]Belakangan saya jadi tahu cara jitu mengabaikan mereka yang doyan body shaming itu. Mengabaikannya. Toh, nyata-nyata tidak ada efek baiknya buat saya, selain memperlebar kejengkelan dan motivasi untuk membalasnya dengan kalimat yang lebih kejam agar dia tahu rasanya dapat komentar tidak menyenangkan. Misalnya sewaktu dia bilang “Ih, kamu gendut banget deh”, saya akan berbalik dan mengatakan “Lha, kamu kok kurusan? Nggak pernah dikasih makan? Miskin? Deih, kasihan ....”

Tetapi, saya tidak ingin melakukannya. Sudah cukup saya jadi korban body shaming, saya tak perlu melakukan hal yang sama demi membalas rasa sakit hati. Jika begini apa bedanya saya dengan mereka?

Maka setiap kali ada yang bilang ,"Gendutnya kamu!" dan sejenisnya saya akan membalas dengan "Iya. Orang sukses ya gini ini", "Hooh, tanda kemakmuran", atau lainnya dengan jenaka. Lalu melupakannya dan tidak memperpanjang lagi.

Kok bisa sesantai itu? Apakah urat marah saya sudah putus?
Tidak, saya tetap punya rasa marah seperti yang lain. Akan tetapi, saya memutuskan untuk tidak memberi peluang hal seperti ini untuk menyakiti saya. Hati saya terlalu berharga disesaki dengan hal-hal semacam ini. Ketimbang fokus dengan kemarahan, saya lebih senang menggunakan energi yang ada untuk melakukan lainnya. Nulis buku, blog, olahraga, berkegiatan sosial, atau lainnya.

Jika mereka keterlaluan melakukan body shaming bagaimana? Bila itu yang terjadi, jangan ragu melakukan pembelaan. Peringatkan bahwa kata-katanya itu tidak menyenangkan. Ingatkan bagaimana rasanya jika seseorang melakukan hal yang sama dengannya. Jika dia tetap bersikukuh bahwa yang ia lakukan sebagai candaan, maka yang harus dilakukan adalah tinggalkan. Mendekatlah pada orang-orang yang jauh lebih positif, yang mampu menghargai orang apa adanya. Tidak sekedar tampilan luar saja.

Jadi, abaikan orang-orang yang demen body shaming, sebaik apapun dirimu mereka tetap akan menemukan hal untuk memperolokmu.

pic : http://pixabay.com

Komentar

  1. kadang g kugubris sih. kudiamin, biar ngerasa kalimat unsur body shamingnya bisa nyakitin hati orang :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, iya betul itu. Didiamkan itu nggak ngenakin. Pasti yang ngerasa bakal kelicutan sendiru.

      Hapus
  2. Daku juga sering dapat komentar gitu, tapi sekarang bodo amat lah.
    Dan ku berusaha nggak mau komentarin hal sama ke teman-temanku atau orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju Mbak Indah Juli, whatever orang mau bilang apa. Dan pengalaman itu pun akhirnya bikin saya mengambil sikap sama dengan Mbak, berusaha kerasnggak ngomentarin kaya gitu ke teman lainnya.

      Hapus
  3. Cuek is the best hehehe

    Sebenarnya kadang orang2 gak sadar kalau omongannya itu menyakiti hati orang.
    Cuman karena udah terbiasa basa basi yang kebasian hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hwahaha betul, mereka mikir "Ah, cuma bercanda kok, masa gitu aja marah". Laah, piyee ...

      Hapus
    2. Hwahaha betul, mereka mikir "Ah, cuma bercanda kok, masa gitu aja marah". Laah, piyee ...

      Hapus
  4. Aku pernah ngerasain diejek menyangkut fisik. Mulai dr kulit yg gelap, rambut kritinglah, pendek dll :p. Ngerti banget sakitnya seperti apa. Krn itu aku ga mau lakuin yg sama. Lbh bgs diem kalo ga bisa ngucapin hal yg manis. Gpp deh di cap pendiem dan membosankan, asalkan mulut kita ga ngeluarin kata2 nyakitin

    BalasHapus
  5. Setuju Mbak Fanny, biar saja dianggap membosankan. Allah lebih paham kita luar dalam.

    BalasHapus

Posting Komentar