Sekelumit Kisah Dari Kelas Inspirasi 6 Di Kaliglagah




Perjalanan Menuju MI Al Khairat, Kaliglagah

Saya sedang tak enak badan ketika berangkat ke Jember, Jumat (5 Oktober 2018), pukul 14.51. Hidung masih mampet, batuk masih tersisa, dan meriang masih tak mau lepas dari badan saya meski  sudah mengalami hal ini sepekan sebelumnya. Saya berbaik sangka saja, insyaallah ketika sampai di tempat hal-hal tersebut tak jadi kendala. Satu setengah jam perjalanan, saya sampai di Jember. Yova, relawan fasilitator yang menjemput  saya, sudah standby di samping masjid yang tepat di sisi kiri stasiun Jember. Saya langsung mengenalinya karena baju batik bermotif burung merak yang dipakainya. Kok tahu? Iya, sebelumnya Yova memang menyebutkan pakaian yang dia kenakan via WhatsApp. Biar saya mudah mencari dia.  

Dari stasiun, Yova mengajak saya ke rumah relawan lain, Riza Rastri. Di jalan Yova sempat bilang, kemungkinan besar saya mengenal Riza. Saya sempat mengerutkan kening, tapi begitu ketemu saya langsung paham. Saya sudah ketemu dia di Pelatihan Menulis yang Diadakan Bekraf 2016 silam. Bersama Tyas juga yang kali ini jadi relawan Videografer untuk Rombel 11, MI Al Khairat, Kaliglagah. Jadi hari itu tak ubahnya reuni saja. Saya tidak sadar selama ini yang muncul di WhatsApp Rombel Al Khairat itu mereka berdua. Wahahaha, dodolnya!

Kami berangkat setengah jam setelahnya dengan motor. Sampai  Sumberbaru hari sudah gelap. Dan yang bikin saya melongo adalah jalannya! Rupanya untuk menuju desa Kaliglagah harus melewati turunan dan tanjakan yang curam, disusul jembatan cor yang tak ada pengamannya selain bambu-bambu ringkih setinggi lutut saja. Bila tak hati-hati bisa terjun bebas ke sungai di bawah jembatan tadi. Dari jembatan ini perjalanan menembus hutan karet dimulai. Berbekal penerangan dari lampu motor kami berempat menembus jalan setapak di kebun karet yang hanya lega dilewati satu motor saja. Jika ada dua motor salipan, salah satu harus minggir untuk memberi yang lain jalan. Sempat hampir salah jalan, karena Yova lupa belokannya. Mungkin karena hari sudah malam rasa-rasanya semua jalan sama saja.

Beberapa saat berlalu, kami menemukan cahaya selain lampu motor kami.  Cahaya yang berasal dari satu-satunya rumah di antara rimbun karet yang kami lalui. Tetangga lain di mana? Ada, hanya letaknya lumayan jauh juga. Sempat mikir kok berani orang itu tinggal sendirian di sini. Terus gimana kalau ada apa-apa malam hari. Hwahaha, benar-benar pemikiran khas orang yang tinggal di kawasan ramai penduduk ‘kan? Yang rumah satu dengan lainnya hanya di batasi halaman sempit dan tembok saja.

Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah perkampungan. Sampai di sini jalanan masih gampang. Jalannya masih datar, sedikit batu, dan tidak berkelok tajam. Disusul jalanan cor yang kira-kira panjangnya mencapai sepertiga desa. Selepas itu jangan ditanya. Saya sampai terlempar-lempar di boncengan belakang Yova. Apa pasalnya? Jalanan buruk sekali. Terdiri dari batu-batu yang tak beraturan dan tajam. Tak ada jalan yang bisa dipilih, keadaannya sama semua dan itu berlangsung hingga kami sampai di tempat tujuan. Percayalah, tak cuma pengendara motor  yang harus prima, motor pun harus prima agar selamat sampai tujuan. Terlebih berkendara malam-malam, bagi orang luar perkampungan yang kurang paham kondisi jalan. 
Bercengkrama dengan Bu Ija dan ibu-ibu lain di depan MI Al Khairat


Aduh, lega rasanya sewaktu sampai di MI Al Khairat, tempat KIJ6 dilaksanakan. Pantat yang kebas dan punggung yang pegal akibat perjalanan yang panjang itu pun bisa diistirahatkan di. Arin dan Lia, relawan fasilitator untuk Rombel 11, datang menyambut kami. Begitu juga Bu Ija Wati, salah satu guru MI yang rumahnya hanya sepelemparan batu dari MI Al Khairat. Kalau lagu, kira-kira yang pantas menggambarkan ya Pacar Lima Langkahlah. 

Setelah istirahat sambil ngobrol ngalor-ngidul, lapar mulai datang. Tadinya hendak menunggu Massa Ira dan Fitria yang masih di jemput oleh Yova serta salah satu bapak guru madrasah, tetapi karena lapar sudah tidak bisa diajak kompromi, akhirnya kami makan duluan. Deretan nasi dan lauk pauk—sambal, sayur kubis, telur dadar, serta ikan tongkol yang dihaluskan dan dicampur tepung—yang kami angkut di piring tandas seketika. Bahkan masih nambah lagi karena enaknya. Iya, meski sederhana masakan Bu Ija itu memang lezat. Cocok di lidah kami.

Usai makan dan leyeh-leyeh sebentar di ruang PAUD Al Khairat yang dijadikan tempat menginap bagi relawan KI6, kami pergi ke kamar mandi. Tidak tanggung-tanggung empat orang masuk barengan untuk cuci muka, wudu’, dan buang air kecil. Bukan karena takut, tetapi suasana kamar mandi yang gelap, tak memungkinkan jika sendiri. Perlu kawan untuk berdiri dan mengacungkan senter dari ponsel untuk bisa menerangi. Kamar mandinya unik, terletak di antara kelas-kelas dan berbentuk persegi panjang. Lebarnya hanya 1 m dan panjangnya mengikuti kelas, mungkin ada 2-3 meter. Bukan segi empat seperti pada umumnya. 

Sekitar pukul 23.00, Massa Ira dan Fitria datang. Begitu melihat mereka, Lia iseng-iseng mengatakan kalau saya adalah Kepsek di sana. Tak disangka, Ira langsung salim dan cium tangan. Semua langsung ngakak melihat kejadian seperti ini ini. Saya apalagi, tak mengira jika Ira menganggap candaan Lia itu betulan. Sumpah, malam itu kami ngakak sejadi-jadinya, bahkan sampai pagi pun masih dibahas juga.

Hari H, Saatnya Kelas Inspirasi Tiba

Bersiap-siap sebelum acara Kelas Inspirasi dimulai.

Pagi-pagi Yova sudah berangkat menjemput relawan lain yang tiba Sabtu itu. Kami, yang tinggal, santai seraya bersiap menunggu waktunya tiba. Ketika semua relawan (pengajar, fasilitator, fotografer, dan videografer) genap, kami langsung digiring ke rumah Bu Ija. Bukan mau briefing, tapi sarapan pagi. Sederhana saja, hanya pecel, telur dadar, tongkol campur tepung yang digoreng, serta lodeh labu siam.
 
Makan bersama dengan menu sederhana, pecel dan kawan-kawannya.
Usai sarapan, kami tak langsung memulai Kelas Inspirasi. Kami santai-santai dulu, seraya menunggu anak-anak kelas enam melakukan shalat dhuha. Beberapa orang fotografer memutuskan untuk memotret situasi. Saya tak mau kalah. Demi dokumentasi pribadi sesekali saya mengarahkan kamera ponsel ke beberapa area. Begitu anak-anak yang shalat dhuha selesai, semua murid dan guru berkumpul di tengah. Zai, memimpin untuk acara senam Gemu Famire dan Kewer-Kewer. Nggak tanggung-tanggung, masing-masing diulang dua kali. Waduh, lumayan badan jadi panas setelah senam pagi. Ditambah sinar matahari musim kemarau, bertambah pula keringat yang mengucur dari kulit.
 
Zai, instruktur senam Gemu Famire dan Kewer-kewer.

Selesai senam, acara berikutnya adalah perkenalan. Masing-masing relawan maju dan mengenalkan diri, sebelum semua murid masuk kelas dan Kelas KI pun dimulai. Saya kebagian masuk kelas gabungan (kelas 5 dan 6). Saya bercerita apa yang saya kerjakan selaku penulis, baik blogger maupun penulis cerita. Saya menggunakan media gambar untuk menjelaskan profesi saya. Sebelum sesi saya diakhiri, saya sempat mengajak mereka menulis tentang diri mereka sendiri dalam paragraf singkat.

Selanjutnya pindah ke kelas 1. Wah, di sini saya merasa perubahan suara. Tubuh yang tidak fit, ditambah batuk yang belum usai, plus dipaksakan bersuara lantang sejak awal, bikin suara berubah. Nggak nanggung-nanggung, suara saya yang merdu itu berubah serupa nenek-nenek di film horor—berat dan serak. Beberapa teman berinisiatif membawakan minuman, tapi suara saya tak berubah. Padahal di sisi lain anak-anak kelas satu ini lebih sulit diatur dibanding kakak-kakaknya di kelas enam. Gawaat! Pikir saya sambil nyengir kuda. Meski waktunya hanya tiga puluh menit, dalam kondisi begini ternyata merepotkan juga. Terlebih terjadi roaming nasional. Hahahaha, anak-anak kelas satu ini acap menggunakan bahasa ibu mereka, bahasa Madura. Sementara saya kurang paham, meski pernah kuliah di Jember lama. 

Terakhir saya masuk kelas IV. Meski tak seribet kelas satu, tetapi saya sudah terlanjur kepayahan. Suara saya sudah berat untuk diajak berteriak lantang. Wah, gila! Materi yang saya sampaikan rasanya tak tersaji dengan baik karena kondisi tubuh yang tak memungkinkan juga. Meriangnya kumat. Deuh! Rasanya menunggu tiga puluh menit usai itu lamaaa sekali! Hahahaha ...


Acara terakhir adalah menyematkan cita-cita di pohon harapan. Anak-anak bergantian menaruhnya diantara ranting-ranting pohon kopi yang diambil dari dekat sekolah. Usai itu, masih ada kejutan bagi kami yaitu tampilnya Drumband MI Al Khairat dengan tiga mayoret dan tiga gitapati. Baru kali ini selama jadi relawan pengajar atau inspirator, saya disuguhi hal semacam ini. Wah, jadilah siang yang panas itu kami disuguhi atraksi drumband yang asyik sekali.

Pukul 11.20 acara KI6 Jember di MI Al Khairat selesai. Kami berkumpul di rumah Bu Ija untuk makan siang. Seperti pagi dan kemarin sore, masakan yang tampil adalah masakan rumahan. Sederhana tapi nendang. Kali itu menunya adalah tempe penyet, pindang suwir tepung, dan lodeh manisah. Saya yang doyan banget sama sambal tak menyiakan kesempatan ini. Saya menikmati masakan Bu Ija dengan lahap. Sayang Massa Ira tak bisa mengikuti acara makan siang terakhir di Kaliglagah ini. Dia kurang enak badan dan memilih tinggal di ruangan untuk beristirahat.

Selesai makan siang kami siap-siap pulang. Bu Ija tiba-tiba muncul dan bertanya siapa yang bisa menaiki pohon petai. Rupanya pertanyaan itu ada maksudnya. Beliau hendak memberi kami petai. Katanya ini oleh-oleh buat kami semua, siapa tahu nggak ketemu lagi di lain waktu. Waduh, jelas semua orang gembira. Pulang-pulang dapat keris (baca : sepapan petai). Lumayan lah, dapat tiga atau empat keris berisi kapsul ijo yang sakti, bikin hati jadi ceria. 

Sekitar pukul satu atau setengah dua—Bastomy, Pristy, Shandika, Dienisa—turun duluan. Disusul oleh Lia dan Massa Ira, yang ternyata mendapat hadiah berupa ban bocor di tengah jalan. Beruntung sudah lepas dari wilayah desa Kaliglagah dan sudah masuk jalan raya, jadi bisa lebih mudah menemukan tukang tambal ban. Fitria yang sedianya ikut acara refleksi di perkebunan teh Gunung Gambir, terpaksa dititipkan Rombel lain karena keterbatasan sepeda motor. Yovalah yang mengantarnya, baru kemudian kembali ke MI Al Khairat dan turun bersama kelima kawan lainnya (saya, Tyas, Ica, Zai, dan Arin) menuju Gunung Gambir.

Seperti awal, perjalanan yang penuh tantangan dimulai. Sudah jalannya aduhai, di tengah jalan berpapasan pula dengan truk. Sapi yang panik di tengah jalan, sempat bikin kami yang menepi jadi terkesiap. Dada kami berdebar ketika si sapi membelot ke arah kami, enggan menuruti helaan tali pemiliknya. Haduh, kami sudah tegang ketika sang pemilik bisa mengarahkan sapinya sesuai keinginan. Begitu sapi dan truk pergi, kami terbahak-bahak seraya meneruskan perjalanan. Menertawakan diri sendiri yang ketakutan karena sapi panik tadi.

Mendekati jembatan, klakson dibunyikan. Tujuannya agar terdengar hingga kejuahan, sebagai penanda bahwa ada yang akan lewat di jalanan yang sempit dan curam itu. Jangan tanya gimana rasanya melewati jalanan semacam itu. Saya tinggalkan rasa khawatir dan memilih percaya pada Yova yang membonceng saya. Daripada nanti rasa takut itu merepotkannya. Lha gimana nggak merepotkan, orang takut itu bisa bertindak diluar dugaan, yang justru menggoyahkan kawannya yang sedang mengemudi. Di babak akhir, ketika menaiki tanjakan, ban motor depan Yova bahkan terangkat, mungkin karena berat di bagian belakang. Hahaha ... Untunglah semua lancar, jadi kami bisa sampai di tepi jalan dengan aman dan nyaman. Baru kemudian melaju menuju Gunung Gambir, bertemu relawan lain dan ternyata malah bolos ikut refleksi karena kondisi badan yang ajrut-ajrutan dihajar medan Kaliglagah dan Gunung Gambir yang aduhai.

Apa yang saya dapati dari acara ini?

Sumber gambar dari sini


Jika ditanya “Apa yang didapat dari acara ini?”, tentu jawabnya bukan materi. Tetapi, sederet hal baik.
Datang sebagai relawan pengajar (inspirator) justru saya merasa mendapat banyak pelajaran sepulang dari KIJ6. Saya belajar bagaimana masyarakat desa ini menyikapi situasi yang tidak mudah. Bayangkan saja jalanan menuju Kaliglagah itu berat, tetapi tidak ada yang merepotkannya. Konon jalanan yang dicor sewaktu menuju desa ini adalah swadaya masyarakat. Tidak menadahkan tangan meminta bantuan. Semua bergotong royong, menyumbang uang untuk mengecor jalan, meski kemudian akhirnya sebagian tergerus oleh masa. Pecah-pecah dan tidak semulus sebelumnya. Bahkan hilang cor-corannya.

Mereka bahkan tertawa waktu menceritakan bagaimana sulitnya jadi ibu hamil di desa mereka. Mau periksa ke puskesmas jauh, mau melahirkan pun demikian. Karena tak ada kendaraan ibu-ibu yang hamil tua dibonceng naik motor oleh suaminya ke puskesmas terdekat melewati jalan terjal dan berliku begitu. Tak jarang si anak tak sabar menungu, keluar duluan di tengah jalan dengan atau tanpa bantuan dukun. Whaaat? Kita langsung berseru mendengar cerita itu dan mendadak menjadi ngilu sendiri membayangkannya.

Mendengar cerita mereka, saya jadi melirik diri sendiri. Acap saya mengeluh untuk hal-hal sepele. Sementara orang-orang di hadapan saya justru sebaliknya. Alih-alih mengeluh, penduduk Kaliglagah memilih berdamai dengan keadaan dan menyikapi segala sesuatunya dengan ringan.
Salam.

Komentar