Kiprah Fiya Mendorong Tumbuhnya Budaya Literasi di Lingkungan Sutri



“Bukan tugas guru atau pemerintah saja yang harus menyebarkan virus-virus literasi, tetapi juga kita. Kalau bukan kita, dari masyarakat dan pemudanya yang membantu, kapan literasi di Indonesia akan maju?”

Begitu kata Fiya ketika ditanya mengapa ia rela bersusah-payah membuka rumah baca. Ia paham jika langkah yang diambilnya takkan mudah, tetapi gadis kelahiran tahun 1995 itu  bergeming. Kunjungan ke beberapa rumah baca bersama rekan-rekan Rumah Literasi Indonesia (red. dulu Rumah Literasi Banyuwangi/RLB) telah memicu Fiya untuk melakukan hal yang sama, turut menyebarkan dan membudayakan virus literasi di sekitarnya dengan mendirikan rumah baca. Ia berharap rumah baca ini kelak bisa menjadi wadah bagi anak-anak bermain, berkumpul bersama, dan berinteraksi (srawung) dengan masyarakat sekitarnya, selain menebarkan kegemaran membaca sebagai goal akhirnya.

Mengenalkan literasi lewat anak-anak pintu masuk pengenalan literasi ke masyarakat.

Menyadari bahwa masyarakat di sekitarnya kurang memahami apa itu literasi, Fiya memilih berstrategi dengan mengenalkan lewat anak-anaknya terlebih dahulu. Bukan dengan cara yang rumit, melainkan dengan  cara sederhana, yaitu mengajak main anak-anak tetangga yang dimulai sejak tahun 2017 hingga awal 2018.

Upaya tersebut terkesan tak serius jika disandingkan dengan tujuan membudayakan literasi yang  ingin dicapainya. Apa yang bagus dari kegiatan main-main macam itu? Tak ada. Harusnya jika ingin mengajak anak gemar membaca bukan begitu caranya. Beri buku lalu baca, baca, baca!

Dengan mindset umum semacam ini tidak heran jika upayanya sempat diragukan. Namun, Fiya teguh pendirian. Ia sadar betul jika mengambil jalan konvensional  seperti yang dipikirkan orang harapan agar anak-anak di lingkungannya gemar membaca akan sulit terlaksana.

“Soalnya membaca itu identik dengan kebosanan ‘kan? Makanya kalau mengajak mereka langsung suka baca itu ‘kan nggak mungkin banget langsung suka baca. Pasti mereka membaca empat atau lima lembar itu udah ditaruh. Nah, gimana caranya kita tetap nyaman berada di tempat itu? Ya caranya dengan bermain-main itu tadi,” tuturnya.

Menggambar mengasah motorik halus anak.

Akan tetapi, bukan main sembarang main. Kegiatan bermain yang dilakoninya bersama anak-anak memiliki muatan edukasi. Setiap kali bermain, secara tidak langsung anak-anak diajak belajar bersabar, fokus, tertib menunggu giliran, menghargai pendapat orang, hingga sopan ketika berbicara dengan kawan. 

Permainan yang dimaksud Fiya bukan permainan canggih dengan harga berjuta-juta. Akan tetapi permainan sederhana seperti menggambar, melipat, bermain dakon, petak umpet, dan permainan lain yang acap dimainkan kanak-kanak di lingkungannya kala senggang.

Tidak hanya itu saja yang diusahakan Fiya. Dengan cara “main-main” tersebut ia berupaya anak-anak agar terbiasa berinteraksi dan nyaman dengan buku-buku. Lalu timbul rasa senang dan pada akhirnya merasa rindu jika lama tak bertemu buku. Jika ini sudah berhasil ditanamkan maka kecintaan membaca akan datang dengan sendirinya, tanpa paksaan.

Delapan bulan berjuang, upaya Fiya membawa perubahan. Anak-anak yang dulu  lebih asyik dengan ponselnya, belakangan lebih senang senang kumpul-kumpul dan bermain bersama. Mulai mengakrabi buku yang disediakan Fiya di rumahnya. Tidak hanya itu saja, cara mereka berinteraksi dengan kawan pun jadi lebih menyenangkan. Suara teriakan yang dulu sering terdengar kala ngobrol dengan kawan, perlahan berganti dengan kalimat yang lebih sopan.   

Hal inilah yang membuka mata semua orang bahwa yang diusahakannya selama ini berdampak positif bagi lingkungan. Tak heran jika sokongan pun mengalir padanya. Tiap kali Fiya membuka “lapak main-main”-nya, orang tua mendukung anaknya untuk datang. Sebegitu mendukungnya bahkan ada yang mau bersusah payah antar-jemput sang anak untuk mengikuti kegiatan tersebut. Seiring dengan itu lampu hijau juga datang dari orang tuanya. Mereka yang semula kurang berkenan, mengijinkan Fiya mendirikan rumah baca.

Bermodal buku seadanya Fiya membuka rumah baca.

Februari 2018, Fiya membuka Rumah Baca Aksara dengan modal buku seadanya. Hanya lima puluh saja, akunya ketika ditanya berapa jumlah buku yang dipunya. Akan tetapi, terbatasnya buku bukan halangan baginya untuk terus melebarkan gerakan. Bersama lima belas orang relawan, ia menggelar lapak baca di akhir pekan.

Melalui kegiatan tersebut beragam materi edukasi disampaikan. Mulai dari cara membuang sampah hingga literasi keuangan seperti manfaat uang atau tabungan. Namanya juga bersinggungan dengan anak-anak, proses penyampaiannya haruslah fun dan menyenangkan. Bahasanya pun lebih ringan dan sederhana, sehingga mudah dipahami oleh mereka.

Tampak dari luar, gaya semacam itu tak serius. Cenderung main-main. Ah, tapi jangan salah. Justru yang mereka lakoni disesuaikan dengan fitrah anak-anak yaitu bermain. Jadi bisa dikatakan dengan cara tersebut, Fiya dan rekan-rekannya bisa memasukkan hal positif tanpa terkesan menggurui. 


Mengenai tempat, Fiya berujar bisa di mana saja. Tak harus di Taman Sritanjung dan Taman Blambangan, tetapi di lorong kampung lingkungan Sutri pun jadilah. Fiya bahkan berujar jika yang dipentingkan justru lingkungannya dulu, Lingkungan Sutri. Bukan lainnya. Tidak mengherankan jika ia dan kawan-kawannya lebih sering menggelar lapak baca di seputaran area tersebut, semisal di RTH atau di RT/RW yang berbeda dengan home base Rumah Baca Aksara. Terdengar eksklusif memang, namun sejatinya tidak demikian. Hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan misi awal, yaitu membawa perubahan di lingkungan sendiri sebelum keluar.  

Tentu saja, perjalanan Fiya dan rekan-rekannya melakukan perubahan masih panjang. Budaya literasi yang mulai bertunas di Lingkungan Sutri harus terus dirawat agar tumbuh besar dan menghasilkan cabang yang banyak. Cabang-cabang yang kelak mengenalkan budaya literasi dan menumbuhkannya di lingkungannya sendiri-sendiri. Jika hal ini terus berlangsung, kedepannya  yang kita baca dan dengar bukan lagi rendahnya minat baca rakyat Indonesia. Akan tetapi, cerita bahwa 10 ribu anak Indonesia, hanya satu yang tak suka membaca. Selebihnya menggemari buku sebagaimana fans KPOP mencintai idolanya.






Komentar