1.044.570
0
0
0
0
“Mau nunggu apa kamu itu? Mau
sampai karatan?” celetuk seorang teman
Lainnya menyahut dengan tenang
,”Kau ini pria atau bukan?”
Mereka meragukan kejantananku
kurasa. Tapi aku hanya tersenyum seperti biasa. Tak perlu menjawab. Untuk apa? Jawaban
hanya akan membawa mereka menggiringku menjawab pertanyaan lainnya. Dan aku
malas menjawabnya.
Sebenarnya jauh dalam hati aku juga
iri. Dengan kebahagiaan yang mereka miliki
Anak, isteri, rumah…hmm, nyaman
kurasa memilikinya. Terbayang betapa nikmat kala penat meruyak istri menyajikan
secangkir kopi hangat. Ditingkahi celoteh khas kanak-kanak yang bening murni
tanpa beban. Dinaungi rumah mungil berhalaman luas dengan rumput hijau
menghampar
Tapi siapa?
Menemukan seseorang yang menerimaku
seperti apa adanya. Menerima masa laluku dan segala konsekwensinya. Tak semudah
membalik telapak tangan
“Menginginkan perempuan dengan A
(akhlak) yang baik juga perlu usaha, Buddy,”
kata seorang kawan lama.
“Menginginkan perempuan semacam ini tidak
seperti menjolok jambu atau mangga didepan rumah. Butuh usaha. Setelah kau
kirim proposalmu pada-Nya, kau harus membuktikan bahwa dirimu layak mendapatkannya.
Layak dalam artian kau bisa jadi pemimpinnya, qawwam-nya— wanita yang kau pinta. Lengkapi dirimu dengan A
(akhlak) yang baik pula. Apa itu? Kurasa kau sudah memahaminya. Jangan lupa persenjatai dengan
doa. Lalu presentasikan dirimu padanya. Tunjukkan
bahwa kau pria yang bisa melindunginya. Dan bukannya tiran yang akan merantai
kakinya.
Maka “belilah ia” dengan akad yang
baik, bayarlah dengan mahar yang halal,” katanya sambil menatapku penuh arti.
“Kenapa? Kelihatannya kau tak yakin
begitu?” ia tertawa, aku tertohok karenanya.
Kau benar kawan, aku tak yakin bisa
melakukannya.
Aku ini siapa?
Kau tau bukan bagaimana aku di masa
silam? Aku bukan pria “baik-baik” itu, kawan. Cap jelek sudah menempel erat
padaku. Sulit aku lepaskan itu meski aku sudah berubah. Ingat kan, waktu aku
cerita ada seorang ibu yang terbiri-birit dan berteriak memakiku saat aku
hendak menolongnya hanya karena tato di tubuhku?
“Tuhan itu sesuai persangkaanmu, Buddy. Maka berpikirlah positif. Pinta
saja pada-Nya perempuan yang A-nya baik itu? Memang secara harfiah, calon
mertua mana pun bakalan ogah mempercayakan anaknya sama kamu. Wong bagi mereka labelmu “Berbahaya” gitu. Casing-mu
itu bikin calon mertua mana saja langsung pasang tanda “RED ALERT”. Tapi itu
nurut logika manusia. Tuhan lain, jek. Tuhan raja manusia. Tak ada yang tak
mungkin baginya. Jika ia menginginkan sesuatu jadilah maka jadilah! Kun fayakuun,
sob!” Ia menepuk bahuku.
“Memang susah prosedur mendapat
perempuan dengan A-baik. Tapi perempuan semacam ini harganya memang mahal.
Tuhan kalau mau ngasih gak sembarangan. Wajar to kalau Dia memberikannya itu
pilih-pilih? Iya nggak?” katanya lagi.
Aku tertawa. “Iya,” sahutku
diantara derai tawa.
“Ngomong-ngomong “dia” sudah ada?”
“Siapa?”
“Inceranmu.”
Aku diam, tertawa keras lalu
berkata ,”Belum.”
“Ealaaah… belum to?”
“Belum,” aku tersipu.
Temanku tertawa. Kami tergelak
berdua.
251011, 05:36
Pic taken from : kateblogsworth.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar