Kalia
Begitu saja. Ia datang tanpa tanda dan melompat kepadaku via Yahoo Messenger dengan pertanyaan aneh yang berbunyi ,”Apa kamu ODHA?”
ODHA? Aku? Kurang ajar nih orang, pikirku. Siapa sih dia? Berani-beraninya dia memberi pertanyaan seperti itu pada orang asing yang tak dikenalnya. Harusnya dia belajar sopan santun dulu sebelum bertanya.
“ Enggak! Siapa yang ODHA?” semburku kesal.
“ Aku baca tulisanmu tentang bagaimana seorang pengidap HIV menjalani hari-harinya di blogmu. Dari caramu menulis aku mengira kalau itu kisahmu.”
“ Yang mana?”
“ Aku lupa judulnya, tapi kayaknya ditulis pas hari AIDS sedunia.”
Kemarahanku mencair. “ Oalah…itu cerpen. Aku dapat ide nulis itu setelah dengar cerita temanku tentang pengidap HIV yang ditangani suaminya. Itu saja.”
“ Ups! I thought…”
“ Nevermind, its ok.”
“ So sorry…Kau sendiri seberapa jauh kamu mengenal HIV?”
“ Ah hanya sekedar, berdasarkan apa yang bisa aku dapatkan via internet, teve, buku atau cerita teman.”
“ Oh, kupikir kamu tahu banyak.”
“ …Kenapa kamu tanya-tanya soal ODHA segala? Jangan-jangan kamu yang ODHA?” tanyaku asal.
Sesaat tak ada jawaban, lalu ,“ Jika ya, bagaimana? Apa kamu tetap mau ngobrol denganku?”
Bercanda dia, kurasa ia tak sungguh-sungguh, batinku dengn tawa.“ Lha memangnya kenapa? Apa susahnya bicara denganmu?” begitu balasku sembarangan.
“ Sungguh? Meski tujuh puluh lima persen aku ini ODHA?”
Aku tercengang. Aduh, batinku enggan, sementara sebelah lainnya merasa tertantang dan berkata ,” kok segitu takutnya? Andai benar ia ODHA, memangnya kamu bisa tertular olehnya dari sebuah obrolan dunia maya? Bodoh!”
“ Kenapa? Kaget?”
“ Banget. Tapi, masa sih?”
“ …”
“ Kok kamu bisa menduga kamu kena? Kenapa? Apa jangan-jangan kamu…”
“ Free sex maksudnya? …”
Shit! Pikiranku terbaca olehnya.
“ Bukan, bukan begitu ,” aku berbohong, meski sejujurnya memang itu yang ingin kukatakan.
“ Aku ex-user…”
“ Oh...” Aku tercenung, dengan setengah tak enak aku bertanya ,”boleh aku tanya sesuatu? Tapi jika kamu tak mau menjawab juga nggak pa-pa.”
“ Tanya aja.”
“ Keluargamu, apa mereka sudah tahu?”
Di luar dugaan ia menjawab ,“ Belum, kecuali ibuku….”
What would I do if I am his mom? Aku geleng-geleng kepala sendirian.
“ Apa ibumu nggak pa-pa?”
“ …Aku rasa nggak mudah bagi orang tua manapun mendengar pengakuan anaknya kalo kemungkinan ia besar mengidap HIV. Begitu juga dengan ibuku, beliau kaget, tapi kemudian bisa menerimannya…”
What a great mom he has! I wish your mom is mine. Tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca. Kamu harus bersyukur kawan, bisikku sendirian sambil membayangkan jika mamaku yang menerima berita itu. Aku yakin beliau akan menghadiahiku dengan seribu hujatan lalu menendangku keluar.
“ Jika dengan keluargamu saja kamu tak berterus terang, kenapa kamu bisa seterus terang ini padaku?” kejarku
Sepi. Beberapa saat lamanya kesunyian menguasai.
“ Mungkin karena kamu orang asing, lebih mudah bagiku bicara ketika aku tak mengenalmu sama sekali, ketika aku tak harus menatapmu saat mengatakan kemungkinan aku ini pengidap HIV.”
“ Maksudmu, kamu akan lebih bisa menghadapi penolakan seseorang karena kamu nggak pernah kenal dan nggak pernah ketemu muka dengannya?”
“ Kira-kira begitu.”
“ Tapi ODHA pun baru dugaan kan...Bagaimana kamu tahu kalo kamu mengidap HIV kalau kamu tak pernah melakukan tes.”
“ Kamu tahu nggak? Sembilan puluh lima persen orang terkena HIV karena penggunaan suntikan secara bersama-sama sementara yang lewat hubungan seks itu hanya lima persen, dan aku adalah pengguna napza suntik alias IDUs, jadi kemungkinan besar aku juga kena.”
“ IDUs?”
“ Injection Drug Users.”
“ Well, okelah. Dengan persentase tertular yang sedemikian besar kemungkinanmu untuk terkena HIV juga besar. Tapi tetap saja kamu takkan positif tidaknya kan?”
Hening datang kembali. Beberapa saat lamanya pria asing itu diam tanpa jawaban pertanyaanku, lalu ,
“ Kamu benar, tapi ada ketakutan tersendiri untuk melakukannya.”
“ Takut kalau-kalau dugaanmu benar?”
“ Iya, aku rasa aku belum siap mental menerima kenyataan itu. “
Kembali sepi melayang diantara kami, untuk yang ketiga kalinya. Diam-diam aku merasa terlalu memaksanya dengan seluruh rasa penasaranku.
“ Maafkan aku, kurasa aku terlalu lancang bertanya-tanya begitu.”
“ It’s ok.”
“ Andai saja waktu bisa diputar kembali…”
“ Andai waktu bisa diputar kembali, aku akan meminta untuk tak pernah bersentuhan dengan narkoba. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, semua sudah terjadi saat kusadari.”
Deg! Aku merasa tertohok dengan kalimat terakhirnya. Penyesalan selalu datang belakangan dan semua sudah terjadi saat kusadari, ulangku dalam hati.
Tiba-tiba bayangan Nanda dengan seringai tajamnya melintas. Rasa benci dan sekaligus takut menyerbu menjadi satu, mengulik kembali rasa sakit dihatiku.
“ Kalia?”
“ Kalia?”
“ Hai, Kalia…kamu kemana?”
Mataku kembali fokus ke layar. Kususut airmata yang sempat turun.
“ Hai, ada apa?”
“ Aku off dulu.”
“ He-eh. Aku juga mo off.”
“ Ok.”
“ Cu.”
“ Cu 2.”
Percakapan terhenti. Pria asing itu pergi berbarengan dengan masuknya sms Nanda.
Jemput aku di Barong’s. Sekarang!
Sender : Nanda
+628136679xxx
Sent
23:04:26
02-01-2006
Hujan semakin deras di luar, membawa hawa dingin masuk ke sela-sela jendela. Dengan sinis ku buang sms itu ke tong sampah. Kemana mobil mewah kebanggaanmu? Mogok? Kehabisan bensin? Maaf, aku bukan sopirmu yang bisa kau suruh-suruh seenaknya apalagi di saat cuaca seperti ini. Kurasa kau bisa naik taksi.
Rayyan
Dia terlalu ingin tahu ingin tahu, batinku ketika blogger bernama Kalia Mirza itu telah pergi. Aku pikir ia akan berlalu seusai mengetahui pernyataanku bahwa kemungkinan besar aku mengidap HIV, ternyata tidak. Dengan lancar dan terus terang ia malah menyodorkan berbagai pertanyaan yang bisaanya takkan dilakukan oleh orang yang baru kenal kepadaku. Tapi bukankah tadi aku juga begitu? Tanpa tedeng aling-aling langsung saja aku menanyakan apakah dia ODHA.
“…Kenapa kamu tanya-tanya soal ODHA segala? Jangan-jangan kamu yang ODHA?”
Kalimat tanya yang terlontar asal itu membuatku gelagapan. Aku harus berhenti sejenak untuk menimbang seperti apa jawaban yang akan aku suguhkan padanya.
“ Lha memangnya kenapa? Apa susahnya bicara denganmu?”
Hanya satu tanyaku atasnya ,” Masihkah ia mampu mengatakan hal yang sama jika pernyataan ‘ tujuh puluh lima persen aku adalah ODHA’ kukatakan di dunia nyata dimana aku dan dia bertemu muka?”
Kurasa hanya ada dua jawaban yang sama-sama buruknya: satu, ia akan pura-pura tak apa-apa walau di belakang meludah, dan dua, ia segera melesat tanpa menoleh ke belakang.
Kalia…Aku ingin tahu kamu golongan mana. Let’s see, then…
next, to be continued to part 2 " TITIK BALIK"
thanks to LuF, a friend who came and help me t answer a lot of question of mine.
Afin's@copyrights
Begitu saja. Ia datang tanpa tanda dan melompat kepadaku via Yahoo Messenger dengan pertanyaan aneh yang berbunyi ,”Apa kamu ODHA?”
ODHA? Aku? Kurang ajar nih orang, pikirku. Siapa sih dia? Berani-beraninya dia memberi pertanyaan seperti itu pada orang asing yang tak dikenalnya. Harusnya dia belajar sopan santun dulu sebelum bertanya.
“ Enggak! Siapa yang ODHA?” semburku kesal.
“ Aku baca tulisanmu tentang bagaimana seorang pengidap HIV menjalani hari-harinya di blogmu. Dari caramu menulis aku mengira kalau itu kisahmu.”
“ Yang mana?”
“ Aku lupa judulnya, tapi kayaknya ditulis pas hari AIDS sedunia.”
Kemarahanku mencair. “ Oalah…itu cerpen. Aku dapat ide nulis itu setelah dengar cerita temanku tentang pengidap HIV yang ditangani suaminya. Itu saja.”
“ Ups! I thought…”
“ Nevermind, its ok.”
“ So sorry…Kau sendiri seberapa jauh kamu mengenal HIV?”
“ Ah hanya sekedar, berdasarkan apa yang bisa aku dapatkan via internet, teve, buku atau cerita teman.”
“ Oh, kupikir kamu tahu banyak.”
“ …Kenapa kamu tanya-tanya soal ODHA segala? Jangan-jangan kamu yang ODHA?” tanyaku asal.
Sesaat tak ada jawaban, lalu ,“ Jika ya, bagaimana? Apa kamu tetap mau ngobrol denganku?”
Bercanda dia, kurasa ia tak sungguh-sungguh, batinku dengn tawa.“ Lha memangnya kenapa? Apa susahnya bicara denganmu?” begitu balasku sembarangan.
“ Sungguh? Meski tujuh puluh lima persen aku ini ODHA?”
Aku tercengang. Aduh, batinku enggan, sementara sebelah lainnya merasa tertantang dan berkata ,” kok segitu takutnya? Andai benar ia ODHA, memangnya kamu bisa tertular olehnya dari sebuah obrolan dunia maya? Bodoh!”
“ Kenapa? Kaget?”
“ Banget. Tapi, masa sih?”
“ …”
“ Kok kamu bisa menduga kamu kena? Kenapa? Apa jangan-jangan kamu…”
“ Free sex maksudnya? …”
Shit! Pikiranku terbaca olehnya.
“ Bukan, bukan begitu ,” aku berbohong, meski sejujurnya memang itu yang ingin kukatakan.
“ Aku ex-user…”
“ Oh...” Aku tercenung, dengan setengah tak enak aku bertanya ,”boleh aku tanya sesuatu? Tapi jika kamu tak mau menjawab juga nggak pa-pa.”
“ Tanya aja.”
“ Keluargamu, apa mereka sudah tahu?”
Di luar dugaan ia menjawab ,“ Belum, kecuali ibuku….”
What would I do if I am his mom? Aku geleng-geleng kepala sendirian.
“ Apa ibumu nggak pa-pa?”
“ …Aku rasa nggak mudah bagi orang tua manapun mendengar pengakuan anaknya kalo kemungkinan ia besar mengidap HIV. Begitu juga dengan ibuku, beliau kaget, tapi kemudian bisa menerimannya…”
What a great mom he has! I wish your mom is mine. Tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca. Kamu harus bersyukur kawan, bisikku sendirian sambil membayangkan jika mamaku yang menerima berita itu. Aku yakin beliau akan menghadiahiku dengan seribu hujatan lalu menendangku keluar.
“ Jika dengan keluargamu saja kamu tak berterus terang, kenapa kamu bisa seterus terang ini padaku?” kejarku
Sepi. Beberapa saat lamanya kesunyian menguasai.
“ Mungkin karena kamu orang asing, lebih mudah bagiku bicara ketika aku tak mengenalmu sama sekali, ketika aku tak harus menatapmu saat mengatakan kemungkinan aku ini pengidap HIV.”
“ Maksudmu, kamu akan lebih bisa menghadapi penolakan seseorang karena kamu nggak pernah kenal dan nggak pernah ketemu muka dengannya?”
“ Kira-kira begitu.”
“ Tapi ODHA pun baru dugaan kan...Bagaimana kamu tahu kalo kamu mengidap HIV kalau kamu tak pernah melakukan tes.”
“ Kamu tahu nggak? Sembilan puluh lima persen orang terkena HIV karena penggunaan suntikan secara bersama-sama sementara yang lewat hubungan seks itu hanya lima persen, dan aku adalah pengguna napza suntik alias IDUs, jadi kemungkinan besar aku juga kena.”
“ IDUs?”
“ Injection Drug Users.”
“ Well, okelah. Dengan persentase tertular yang sedemikian besar kemungkinanmu untuk terkena HIV juga besar. Tapi tetap saja kamu takkan positif tidaknya kan?”
Hening datang kembali. Beberapa saat lamanya pria asing itu diam tanpa jawaban pertanyaanku, lalu ,
“ Kamu benar, tapi ada ketakutan tersendiri untuk melakukannya.”
“ Takut kalau-kalau dugaanmu benar?”
“ Iya, aku rasa aku belum siap mental menerima kenyataan itu. “
Kembali sepi melayang diantara kami, untuk yang ketiga kalinya. Diam-diam aku merasa terlalu memaksanya dengan seluruh rasa penasaranku.
“ Maafkan aku, kurasa aku terlalu lancang bertanya-tanya begitu.”
“ It’s ok.”
“ Andai saja waktu bisa diputar kembali…”
“ Andai waktu bisa diputar kembali, aku akan meminta untuk tak pernah bersentuhan dengan narkoba. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, semua sudah terjadi saat kusadari.”
Deg! Aku merasa tertohok dengan kalimat terakhirnya. Penyesalan selalu datang belakangan dan semua sudah terjadi saat kusadari, ulangku dalam hati.
Tiba-tiba bayangan Nanda dengan seringai tajamnya melintas. Rasa benci dan sekaligus takut menyerbu menjadi satu, mengulik kembali rasa sakit dihatiku.
“ Kalia?”
“ Kalia?”
“ Hai, Kalia…kamu kemana?”
Mataku kembali fokus ke layar. Kususut airmata yang sempat turun.
“ Hai, ada apa?”
“ Aku off dulu.”
“ He-eh. Aku juga mo off.”
“ Ok.”
“ Cu.”
“ Cu 2.”
Percakapan terhenti. Pria asing itu pergi berbarengan dengan masuknya sms Nanda.
Jemput aku di Barong’s. Sekarang!
Sender : Nanda
+628136679xxx
Sent
23:04:26
02-01-2006
Hujan semakin deras di luar, membawa hawa dingin masuk ke sela-sela jendela. Dengan sinis ku buang sms itu ke tong sampah. Kemana mobil mewah kebanggaanmu? Mogok? Kehabisan bensin? Maaf, aku bukan sopirmu yang bisa kau suruh-suruh seenaknya apalagi di saat cuaca seperti ini. Kurasa kau bisa naik taksi.
Rayyan
Dia terlalu ingin tahu ingin tahu, batinku ketika blogger bernama Kalia Mirza itu telah pergi. Aku pikir ia akan berlalu seusai mengetahui pernyataanku bahwa kemungkinan besar aku mengidap HIV, ternyata tidak. Dengan lancar dan terus terang ia malah menyodorkan berbagai pertanyaan yang bisaanya takkan dilakukan oleh orang yang baru kenal kepadaku. Tapi bukankah tadi aku juga begitu? Tanpa tedeng aling-aling langsung saja aku menanyakan apakah dia ODHA.
“…Kenapa kamu tanya-tanya soal ODHA segala? Jangan-jangan kamu yang ODHA?”
Kalimat tanya yang terlontar asal itu membuatku gelagapan. Aku harus berhenti sejenak untuk menimbang seperti apa jawaban yang akan aku suguhkan padanya.
“ Lha memangnya kenapa? Apa susahnya bicara denganmu?”
Hanya satu tanyaku atasnya ,” Masihkah ia mampu mengatakan hal yang sama jika pernyataan ‘ tujuh puluh lima persen aku adalah ODHA’ kukatakan di dunia nyata dimana aku dan dia bertemu muka?”
Kurasa hanya ada dua jawaban yang sama-sama buruknya: satu, ia akan pura-pura tak apa-apa walau di belakang meludah, dan dua, ia segera melesat tanpa menoleh ke belakang.
Kalia…Aku ingin tahu kamu golongan mana. Let’s see, then…
next, to be continued to part 2 " TITIK BALIK"
thanks to LuF, a friend who came and help me t answer a lot of question of mine.
Afin's@copyrights
waah! makasih ya mbak udah mampir ke blogku.. di blogroll pula :D aku blogroll balik ya! makasih :)
BalasHapusnice story..!!!
BalasHapus*panjang bgt*
Barong yang di Malang? ^^
BalasHapusIni bukan cerpen kan???
BalasHapusbtw darimana kamu tahu kalo Kalia itu cowo Fin?