Adalah Cut Mad, lelaki jadi obyek
tulisan Mbak Liza Fathia untuk memperingati World Down Syndrome Day 21 Maret
setahun silam. Tidak seperti lelaki seusianya, tingkah Cut Mad tidak bisa
dikatakan dewasa. Ia kerap bertingkah laku serupa kanak-kanak meski usianya
lewat dua puluh tahun. Penyebabnya adalah kelainan genetik pada kromosom 21
yang berdampak pada keterbelakangan mental dan motorik Cut Mad.
Lalu bagaimana cara mengetahui apakah seseorang terkena sindrowm down atau
tidak?
Secara gamblang, penderita sindrom
down seperti Cut Mad memiliki ciri yang khas. Kepala mengecil (microcephaly),
hidung datar menyerupai orang Mongoloid, mulut kecil dan lidah yang menonjol, serta
tubuh yang relatif pendek.
Persepsi
Orang Terhadap Penyandang Sindrom Down
Seperti yang dikatakan Mbak Liza,
persepsi masyarakat terhadap penyandang down
syndrome masih buruk. Orang-orang seperti Cut Mad kerap dipinggirkan.
Sering jadi bahan olokan dengan menyebut mereka bodoh atau idiot, baik secara
sembunyi atau terang-terangan.
Tak hanya di kalangan masyarakat
sekitar tetapi juga orang tua penyandang sindrom down sendiri. Tak jarang
orang-orang yang dikarunia putra seistimewa ini menunjukkan sikap pasrah. Dalam
artian menganggap si anak tak bisa apa-apa. Akibatnya si anak sulit berkembang
karena tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menjalani kehidupannya di
masa depan.
Penyandang
Sindrom Down Bisa Mandiri, Kreatif, dan Berprestasi
Seperti yang diceritakan oleh Mbak
Liza dalam tulisannya yang berjudul “Cut Mad, Penderita Sindrom Down yang
Kreatif”, anak-anak sindrom down sesungguhnya bukan anak-anak yang tak bisa
apa-apa sama sekali.
Cut Mad yang diceritakan dalam dalam tulisan itu pandai sekali meniru perilaku orang-orang yang dilihatnya. Satu waktu ia bisa menjelma menjadi tukang roti yang dilihatnya saban hari. Lain hari ia berdiri di perempatan jalan sambil menengadahkan kardus mie instan untuk meminta sedekah pada pengguna jalan, hasil mencontoh perilaku seorang pria kala meminta sumbangan. Kala-kala ia menjelma menjadi petugas PLN yang untuk mencatat pemakaian listrik di rumah-rumah warga. Kadang kala ia juga mengumpulkan barang bekas untuk dijualnya kembali.
Juga bukan kreatif apa nama yang tepat untuk perilaku semacam ini?
Hanya saja memang harus diarahkan. Tak hanya untuk menyalurkan kreatifitasnya tetapi juga mendidiknya menjadi manusia mandiri. Dilansir dari www.ibudanmama.com, ada tiga tips yang bisa dilakukan agar anak penyandang sindrom down bisa mandiri yaitu :
1. Bebaskan anak melakukan sesuatu dengan pengawasan
2. Latih melakukan rutinitas mandiri secara bertahap
3. Kenalkan dengan keterampilan
Akan tetapi harus
diakui butuh proses panjang, disertai konsistensi dan kesabaran. Seperti hal
nya yang dilakukan oleh Ibunda Stephanie Handojo yang berhasil
mengantar putrinya mencatatkan namanya di tingkat nasional maupun internasional
di bidang renang. Tak hanya renang, gadis 24 tahun tersebut juga mampu
membuktikan diri bisa merah rekor MURI sebagai penyandang sindrom down pertama
yang bisa memainkan 22 lagu tanpa henti menggunakan piano. Seperti yang dikatakannya
di harian Kompas anak-anak seperti
Stephanie perlu latihan terus menerus agar bisa melakukan hal-hal kecil dan
rutin sekalipun.
Bukan Mereka
yang “Kurang”, Kita yang Gemar Merendahkan
Berkaca dari tulisan Mbak Liza,
terpikir oleh saya ,”Jangan-jangan bukan mereka yang kurang, tetapi kita yang
gemar merendahkan.”
Suka sekali memandang orang lewat
kacamata yang buram, enggan melongok lewat sisi lain yang lebih terang.
Sepertinya kepala kita yang perlu
dibuka, dibersihkan isinya, dan dikembalikan setelah dicuci bersih dengan
deterjen khusus yang membuat pikiran kita terbuka. Tidak lagi memandang sebelah
mata dan justru memberikan dukungan kepada mereka berikut para orang tua yang
diberi anugerah Tuhan berupa putra berkebutuhan khusus seperti mereka.
Bukan tidak mungkin lingkungan yang
positif justru mendorong anak-anak penyandang sindrom down berkembang dan
memiliki peranan penting di masyarakat.
So, kenapa tidak mengubah pandangan
kita? Ketimbang terus-terusan mencela anak-anak istimewa yang dihadirkan Tuhan
di dunia.
And after all, I
agree what Mbak Liza Fathia said in the end ,
”Don’t count their chromosomes, but see their
abilities.”
referensi :
Terima kasih atas ulasannya mbak
BalasHapussama-sama Mbak Liza
Hapus