NTT dari udara |
Setelah mengalami perjalanan yang penuh drama, akhirnya saya berangkat juga ke Kupang dengan pesawat Batik Air. Sekitar
pukul satu pesawat yang saya tumpangi itu akhirnya landing di Bandara El Tari.
Saya tidak sendiri disana. Ada teman-teman dari tim dari Gramedia dan Elex
Media (Mas Bagus, Mbak Retno, Listi), Save The Children (Mas Ruly, Mbak Maitra,
Mas Frandy, Fandy, Jeppery, Franky, Maymunah, Tora, Hana, dan Nadia) juga dua
pemenang Gramedia Blogger Competition lainnya (Huud Alam dan Ursula) bersama
saya. Itu hal yang luar biasa. Bertemu orang-orang baru yang ramah dan menyenangkan
sejak mula. Dari bandara kami segera bergerak menuju markas Save The Children
di Kupang menggunakan mobil sewaan. Mobil itu serupa bis kecil yang mampu diisi
hingga 20 orang. Disana kami bertemu dengan jurnalis dair kompas teve, Astried
dan Kalix. Usai ngobrol sejenak kami melanjutkan perjalanan. Tetapi, rasa lapar
akhirnya membawa rombongan kami menuju KFC dan menikmati makanan disana. Di
tempat itu pula kami bertemu dengan jurnalis dari Media Indonesia, sekaligus
yang menggawangi portal Lintas NTT, Om Palce (maaf Om kalau penulisan namanya
salah).
makan di KFC bersama tim dari Kompas Gramedia, Elex Media, dan Jurnalis |
Usai makan perjalanan dilanjutkan.
Astrid (di foto atas itu berbaju merah) wanti-wanti agar kami bersiap sedia. Jalanan yang hendak kami lalui
berkelok-kelok dan menanjak. Tikungannya pun tajam. Bagi mereka yang mudah
muntah mending duduk di depan. Saya pikir tidak lebih panjang dari Gumitir di Jember,
daerah pegunungan yang memiliki kondisi jalan serupa. Ternyata saya salah duga,
ini lebih panjang dan lama. Sepanjang 6 jam jalanan yang kami lalui ternyata memiliki
banyak kelokan tajam. Mobil kerap bergoyang kiri-kanan untuk mengimbangi
kondisi jalanan. Tak ubahnya ada di atas sampan kala terombang-ambing di
lautan. Syukurlah saya tidak apa-apa. Mungkin terbawa perasaan senang, jadi
saya tak mengalami mual. Malah santai-santai saja selama perjalanan.
di kamera saya tertera jam 16.19, di NTT berarti 1 jam lebih cepat, tapi mataharinya.... |
Separuh perjalanan, setelah melewati
hutan-hutan, kami berhenti. Saya tak tahu dimana. Yang jelas kami segera
berlari dan membawa kamera kami masing-masing. Ada yang sibuk memotret
ilalangnya, selfie, atau bahkan ber-wefie ria. Sementara matahari senja yang panas menatapi
kami yang sedang gila dengan kamera.
Perjalanan kami lanjutkan. Di kanan-kiri
saya perhatikan, seolah hutannya tidak habis-habis. Beberapa saat bertemu
rumah, tetapi selebihnya hutan lagi. Rumah pun jaraknya berjauhan. Tidak
sedekat rumah-rumah di Jawa. Sempat setibanya di daerah Soe, kami berhenti
untuk buang air kecil. Di daerah itu kami saya sempat menyeberang jalan dan
memotret orang-orang yang jualan di pinggir jalan. Ada sirih pinang, jeruk soe
yang menggiurkan, ketela rambat, juga makanan kecil seperti keripik atau
kacang.
jeruk Soe yang menggoda, sayang mahal harganya |
Sempat saya tanya berapa harga
jeruk-nya. Tapi astaga, mahal sekali kakak! Rp 50.000,00 untuk tiga tumpuk,
kalau tidak salah dengar isi 15 buah. Duh, di Jawa sekilo isi 8-10 harganya
paling mahal Rp 12.000,00. Batallah saya beli jeruk itu dan kembali ke atas
mobil dengan tangan hampa.
Senja mulai mulai merayap menjadi malam saat
kami menjauhi So’e. Jalanan teramat sepi, hampir-hampir tak ada motor atau
mobil berpapasan dengan kami. Perkampungan yang kami lewati tak kalah sepi. Tak
ada lampu penerangan di jalan. Lampu yang menyala hanya terdapat di dalam
rumah saja. Di depan rumah pun jarang. Manusia-manusia pun tak nampak
berseliweran di luar rumah seperti di Jawa. Sedikit heran saya melihat jam,
masih pukul 18.00. Kemana orang-orang itu? Didalam-kah? Atau dimana? Satu atau
dua tempat yang buka hanya rumah yang memiliki toko saja. Selebihnya tak ada. Mobil
terus melaju menembus jalanan gelap yang semakin lengang. Sementara saya mulai
merasakan pantat saya kebas karena duduk terlampau lama. Maklum duduk di
pesawat kurang lebih tiga jam, perjalanan darat sekitar 6 jam. Wah, semoga
tidak lama lagi, batin saya. Kalau lama, bisa tipis ini pantat saya.
wajah-wajah capai yang baru turun dari kendaraan di halaman kantor Save The Children |
Sekitar pukul delapan lewat kami tiba di
Atambua. Percayalah, jalanan disana pada jam itu sepi sekali. Hanya beberapa
orang saja berseliweran. Kontras dengan pemandangan di kota kecil saya,
Genteng, yang notabene hanya kota kecamatan. Kami langsung menuju kantor Save
The Children di daerah Tini dan bertemu dengan para pengurusnya yang ramah. Tak
lengkap pertemuan tanpa salam-salaman dan itulah yang kami lakukan. Dan tentu
saja tak lupa, menunaikan hal penting yang kami simpan selama perjalanan. Apa
itu? Buang air kecil euy!
Usai itu kami berpamitan dan beranjak
mencari tempat makan untuk memenuhi perut yang bergolak kelaparan. Pilihan aman
adalah rumah makan padang yang terletak di sebuah persimpangan jalan. Rumah
Makan Salero namanya. Dari logat pemiliknya, saya tidak yakin kalau beliau
berasal dari Padang. Saya malah menduga ia orang Jawa. Tetapi, para
pramusajinya berbeda. Menilik dari muka dan logat jelas mereka penduduk asli
Atambua.
Porsi nasi di warung Salero bukan
main-main! Tapi, karena lapar nasi sebanyak itu masuk ke dalam perut semua.
Mungkin efek lelah sepanjang jalan turut berpengaruh pada keganasan porsi
makan. Sampai-sampai tak ada yang disisakan di piring kecuali tulang-tulang
ayam.
Dari rumah makan Salero, kami langsung
menuju penginapan. Satu menuju hotel Matahari, satunya lagi menuju hotel
Kingstar. Saya kebetulan termasuk dalam rombongan hotel Matahari, sekamar
dengan Listi, marcom gramedia.
Setibanya di kamar yang kami lakukan
adalah bongkar bawaan, mandi, dan meluruskan punggung yang terasa hampir patah
sekaligus mengistirahatkan pantat yang sudah kebas. Aih, nikmat nian bisa
bertemu kasur empuk malam itu. Sedikitnya terbayar perjalanan panjang yang
bikin pantat saya terasa tipis itu.
Salam.
Mbaa ino cerita masih bersambung pasti yaaa..lanjoot kutunggu.kisah pjakanan gini mbuat rindu
BalasHapusiya mbak, ada sambungannya ini. InsyaAllah sabtu post otomatis
HapusSeru banget...aku ngiler sama jeruknya
BalasHapusharganya itu yang bikin kita balik kanan, hahaha. Lima puluh ribu euy!
HapusMahaaal banget ya jeruknya, tapi mgkn kalo seafood murah ya.
BalasHapuswah itu dia, waktu kesana nggak sempet beli seafood Mbak Nining
HapusDuh mbak, pengalamannya itu lho, aku belom usaha maksimal nih kayaknya, makanya belom dikasih kesempatan buat ngerasain hal kayak gini :D
BalasHapusSalam,
Senya