OLEH OLEH DARI ATAMBUA 2 : SERASA TIPIS PANTAT SAYA



NTT dari udara


Setelah mengalami perjalanan yang penuh drama, akhirnya saya berangkat juga ke Kupang dengan pesawat Batik Air. Sekitar pukul satu pesawat yang saya tumpangi itu akhirnya landing di Bandara El Tari. Saya tidak sendiri disana. Ada teman-teman dari tim dari Gramedia dan Elex Media (Mas Bagus, Mbak Retno, Listi), Save The Children (Mas Ruly, Mbak Maitra, Mas Frandy, Fandy, Jeppery, Franky, Maymunah, Tora, Hana, dan Nadia) juga dua pemenang Gramedia Blogger Competition lainnya (Huud Alam dan Ursula) bersama saya. Itu hal yang luar biasa. Bertemu orang-orang baru yang ramah dan menyenangkan sejak mula. Dari bandara kami segera bergerak menuju markas Save The Children di Kupang menggunakan mobil sewaan. Mobil itu serupa bis kecil yang mampu diisi hingga 20 orang. Disana kami bertemu dengan jurnalis dair kompas teve, Astried dan Kalix. Usai ngobrol sejenak kami melanjutkan perjalanan. Tetapi, rasa lapar akhirnya membawa rombongan kami menuju KFC dan menikmati makanan disana. Di tempat itu pula kami bertemu dengan jurnalis dari Media Indonesia, sekaligus yang menggawangi portal Lintas NTT, Om Palce (maaf Om kalau penulisan namanya salah).

makan di KFC bersama tim dari Kompas Gramedia, Elex Media, dan Jurnalis

 Usai makan perjalanan dilanjutkan. Astrid (di foto atas itu berbaju merah) wanti-wanti agar kami bersiap sedia. Jalanan yang hendak kami lalui berkelok-kelok dan menanjak. Tikungannya pun tajam. Bagi mereka yang mudah muntah mending duduk di depan. Saya pikir tidak lebih panjang dari Gumitir di Jember, daerah pegunungan yang memiliki kondisi jalan serupa. Ternyata saya salah duga, ini lebih panjang dan lama. Sepanjang 6 jam  jalanan yang kami lalui ternyata memiliki banyak kelokan tajam. Mobil kerap bergoyang kiri-kanan untuk mengimbangi kondisi jalanan. Tak ubahnya ada di atas sampan kala terombang-ambing di lautan. Syukurlah saya tidak apa-apa. Mungkin terbawa perasaan senang, jadi saya tak mengalami mual. Malah santai-santai saja selama perjalanan.

di kamera saya tertera jam 16.19, di NTT berarti 1 jam lebih cepat, tapi mataharinya....
Separuh perjalanan, setelah melewati hutan-hutan, kami berhenti. Saya tak tahu dimana. Yang jelas kami segera berlari dan membawa kamera kami masing-masing. Ada yang sibuk memotret ilalangnya, selfie, atau bahkan ber-wefie ria. Sementara matahari senja yang panas menatapi kami yang sedang gila dengan kamera. 
Perjalanan kami lanjutkan. Di kanan-kiri saya perhatikan, seolah hutannya tidak habis-habis. Beberapa saat bertemu rumah, tetapi selebihnya hutan lagi. Rumah pun jaraknya berjauhan. Tidak sedekat rumah-rumah di Jawa. Sempat setibanya di daerah Soe, kami berhenti untuk buang air kecil. Di daerah itu kami saya sempat menyeberang jalan dan memotret orang-orang yang jualan di pinggir jalan. Ada sirih pinang, jeruk soe yang menggiurkan, ketela rambat, juga makanan kecil seperti keripik atau kacang.

jeruk Soe yang menggoda, sayang mahal harganya
Sempat saya tanya berapa harga jeruk-nya. Tapi astaga, mahal sekali kakak! Rp 50.000,00 untuk tiga tumpuk, kalau tidak salah dengar isi 15 buah. Duh, di Jawa sekilo isi 8-10 harganya paling mahal Rp 12.000,00. Batallah saya beli jeruk itu dan kembali ke atas mobil dengan tangan hampa.

Senja mulai mulai merayap menjadi malam saat kami menjauhi So’e. Jalanan teramat sepi, hampir-hampir tak ada motor atau mobil berpapasan dengan kami. Perkampungan yang kami lewati tak kalah sepi. Tak ada lampu penerangan di jalan. Lampu yang menyala hanya terdapat di dalam rumah saja. Di depan rumah pun jarang. Manusia-manusia pun tak nampak berseliweran di luar rumah seperti di Jawa. Sedikit heran saya melihat jam, masih pukul 18.00. Kemana orang-orang itu? Didalam-kah? Atau dimana? Satu atau dua tempat yang buka hanya rumah yang memiliki toko saja. Selebihnya tak ada. Mobil terus melaju menembus jalanan gelap yang semakin lengang. Sementara saya mulai merasakan pantat saya kebas karena duduk terlampau lama. Maklum duduk di pesawat kurang lebih tiga jam, perjalanan darat sekitar 6 jam. Wah, semoga tidak lama lagi, batin saya. Kalau lama, bisa tipis ini pantat saya. 

wajah-wajah capai yang baru turun dari kendaraan di halaman kantor Save The Children
 Sekitar pukul delapan lewat kami tiba di Atambua. Percayalah, jalanan disana pada jam itu sepi sekali. Hanya beberapa orang saja berseliweran. Kontras dengan pemandangan di kota kecil saya, Genteng, yang notabene hanya kota kecamatan. Kami langsung menuju kantor Save The Children di daerah Tini dan bertemu dengan para pengurusnya yang ramah. Tak lengkap pertemuan tanpa salam-salaman dan itulah yang kami lakukan. Dan tentu saja tak lupa, menunaikan hal penting yang kami simpan selama perjalanan. Apa itu? Buang air kecil euy!

Usai itu kami berpamitan dan beranjak mencari tempat makan untuk memenuhi perut yang bergolak kelaparan. Pilihan aman adalah rumah makan padang yang terletak di sebuah persimpangan jalan. Rumah Makan Salero namanya. Dari logat pemiliknya, saya tidak yakin kalau beliau berasal dari Padang. Saya malah menduga ia orang Jawa. Tetapi, para pramusajinya berbeda. Menilik dari muka dan logat jelas mereka penduduk asli Atambua. 

Porsi nasi di warung Salero bukan main-main! Tapi, karena lapar nasi sebanyak itu masuk ke dalam perut semua. Mungkin efek lelah sepanjang jalan turut berpengaruh pada keganasan porsi makan. Sampai-sampai tak ada yang disisakan di piring kecuali tulang-tulang ayam.
Dari rumah makan Salero, kami langsung menuju penginapan. Satu menuju hotel Matahari, satunya lagi menuju hotel Kingstar. Saya kebetulan termasuk dalam rombongan hotel Matahari, sekamar dengan Listi, marcom gramedia.

Setibanya di kamar yang kami lakukan adalah bongkar bawaan, mandi, dan meluruskan punggung yang terasa hampir patah sekaligus mengistirahatkan pantat yang sudah kebas. Aih, nikmat nian bisa bertemu kasur empuk malam itu. Sedikitnya terbayar perjalanan panjang yang bikin pantat saya terasa tipis itu.



Salam.




Komentar

  1. Mbaa ino cerita masih bersambung pasti yaaa..lanjoot kutunggu.kisah pjakanan gini mbuat rindu

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, ada sambungannya ini. InsyaAllah sabtu post otomatis

      Hapus
  2. Seru banget...aku ngiler sama jeruknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. harganya itu yang bikin kita balik kanan, hahaha. Lima puluh ribu euy!

      Hapus
  3. Mahaaal banget ya jeruknya, tapi mgkn kalo seafood murah ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah itu dia, waktu kesana nggak sempet beli seafood Mbak Nining

      Hapus
  4. Duh mbak, pengalamannya itu lho, aku belom usaha maksimal nih kayaknya, makanya belom dikasih kesempatan buat ngerasain hal kayak gini :D

    Salam,
    Senya

    BalasHapus

Posting Komentar