Setelah merasakan perjalanan lama yangbikin pantas saya kebas, kini saatnya saya menceritakan ketika saya diam-diam
bertanya : Inikah Indonesia?
duh, sayang gambarnya blur |
Ya, itulah pertanyaan yang muncul di
kepala saya melihat rumah-rumah beratap daun lontar kering, berdinding bebak, tanpa
ventilasi, dan berlantai tanah di tepi jalan. Beberapa nampak modern dengan
sentuhan atap seng, jendela kayu, dan lantai semen. Lainnya, seperti yang saya
ceritakan. Beberapa dari rumah-rumah itu sudah miring. Jika angin kencang
menerpa bisa jadi rumah itu roboh seketika. Ditilik dari segi kesehatan jelas
rumah gewang tanpa jendela dan berlantai tanah sangat kurang. Tanpa ventilasi
berarti aliran udara dari dalam dan luar tidak berjalan lancar. Dengan demikian
bisa meningkatkan penularan penyakit di dalam rumah, contohnya penyakit infeksi
pernapasan. Tanpa ventilasi berarti rumah juga kurang mendapat cahaya alami.
Membuat rumah lembab dan rentan terhadap bibit penyakit. Lantai tanah juga
berpotensi tidak bagi bagi kesehatan. Jika kering berdebu, sebaliknya jika
musim hujan becek. Kondisi ini akan menyebabkan penghuninya mudah terserang
penyakit terutama kala hujan.
Soal infrastruktur jalan sama saja.
Masih banyak daerah yang susah akses jalannya. Menurut cerita Kalix masih
banyak di NTT daerah yang jalanannya tidak bagus. Seperti yang saya temui di
Fulur, kecamatan Lamaknen. Jalan menuju area itu semula memang bisa ditempuh
dengan aspal. Hanya saja tanpa motor atau jenis kendaraan pribadi lainnya,
susah untuk pulang pergi dari dan ke Fulur. Mendekati daerah Fulur, jalanan
beraspal menghilang berganti dengan jalan berbatu yang menyulitkan siapapun
yang mengendarai kendaraan. Tikungan yang kerap curam dan tajam menghiasi
sepanjang jalan. Percayalah, kalau sopirnya tak berpengalaman mobil yang kami
tumpangi alamat tak sampai tujuan. Belum lagi berdebu dan panas yang ampuun!
Kalau saja AC tak menyala bisa dipastikan kami akan mandi keringat.
Beberapa kali jalanan yang berat membuat
kami terlontar-lontar. Saya sampai berdiri dan berpegangan pada pipa memanjang
yang terdapat di kiri kanan jendela, karena kalau duduk goncangannya lebih
terasa. Beberapa kali terdengar seruan bersama-sama. Semua dipicu oleh kondisi
jalan yang luar biasa. Berbatu, miring, berbelok tajam dengan ketinggian yang
curam. Fuuh! Huud Alam, pemenang dua Gramedia Blogger Competition itu mengakui
jalan ke Fulur luar biasa. Membuatnya mual dan pusing kepala. Hahaha, memang
begitulah kenyataannya. Terlebih jika sebelumnya tidak terlatih melewati
jalanan seburuk itu.
hanya 1 jam 13 menit, tapi kondisi jalan yang buruk membuat perjalanan lebih lama (source : google map) |
Kata Om Ambo, dari Save The Children
Atambua, inilah yang harus dihadapinya tiap kali pergi ke Fulur. Waduh,
mendengar itu saya langsung nyengir kuda. Mana sanggup saya terlontar-lontar
diatas kendaraan begitu rupa. Bisa-bisa muntahlah isi perut ini! Gara-gara itu
kami bercanda, jika pergi ke Fulur jangan banyak makan. Kondisi jalanannya
mempercepat makanan untuk balik keluar. Wahahahaha!
Ibu Ovy dan anak-anak muridnya yang belajar di Reading Camp sore itu |
Tiba di Fulur, mobil yang kami tumpangi
sempat kerepotan mencari tempat parkir. Jalanan di desa itu tidak datar, tapi
naik tajam. Kalau parkir sembarangan bisa-bisa si mobil meluncur turun. Setelah
menemukan tempat parkir baru kami turun menuju reading camp, salah satu
kegiatan yang diadakan Save The Children Atambua untuk anak-anak Belu. Di tempat
itu anak-anak berkumpul di bawah pohon beralaskan terpal biru dengan seorang
fasilitator yang mengajari anak-anak membaca dan berhitung. Cara mengajarnya
menarik, diselingi dengan lagu dan permainan yang bikin anak-anak betah
belajar. Ibu Ovy (kalau tidak salah begitu namanya), berdiri di tengah
mengisahkan sebuah cerita lalu memberikan umpan balik yang mendorong anak-anak
untuk menjawabnya. It was fun!
Menurut para fasilitator lain yang
sempat saya tanya, reading camp ini memberikan manfaat banyak untuk anak-anak
mereka. Yang semula susah jadi lancar membaca dan berhitung. Sebelumnya,
anak-anak seumuran mereka (duduk di kelas 1-3), kesulitan membaca. Berdasarkan
cuitan Save The Children tanggal 22 Juli, 61% siswa di Belu tidak mampu membaca
dan menjawab pertanyaan sederhana. Temuan semacam ini membuat saya merasa
tercengang.
Lagi-lagi saya bertanya inikah
Indonesia? Negeri yang sebentar lagi merayakan hari kemerdekaan ke-71?
Indonesia yang terlihat baik-baik saja di mata saya karena selama ini yang saya
lihat hanya sebatas Jawa. Dimana pembangunan begitu masif, tak seperti yang
saya lihat di Belu.
Soal pendidikan? Oh jangan ditanya! Betapa
jauh perbedaan pendidikan di Jawa dengan area yang berbatasan dengan wilayah
Timor Leste ini. Tak hanya hanya jauh, tapi njomplang se-jomplang-jomplangnya. Di
Jawa anak usia tujuh tahun sudah mengerti baca dan hitung. Keadaan yang saya
lihat di Belu adalah gambaran Jawa empat puluh tahun lalu, dimana masih banyak
anak yang belum bisa membaca hingga kelas dua atau tiga.
Pantas adik ipar saya yang bekerja
sebagai guru di Kalimantan pernah berseloroh, kalau 70 tahun Indonesia merdeka
yang merdeka baru Jawa. Tempat lain masih banyak yang terengah-engah
mengejarnya. Terutama soal infrastruktur dan pendidikan. Perjalanan itu membuka
mata saya, betapa pembangunan di Indonesia masih belum merata. Saya jadi merasa
betapa saya beruntung lahir dan besar di Jawa. Dimana infrastruktur dan
pendidikannya sudah lebih baik dari daerah lainnya. Bahkan juara. Saya jadi
sedikit malu karena selama ini saya terlampau banyak mengeluh. Apa yang saya bilang
sulit ternyata tak sebanding dengan kenyataan yang saya lihat di Belu.
Salam.
pemerintah harus lebih memerhatikan sekolah2 yang ada di pelosok... mereka pun juga butuh ilmu dan perhatian dari pemerintah
BalasHapusmemang tidak bisa mengandalkan mereka saja. Semua pihak harus bekerja sama, sebab kalo ngandelin pemerintah duh bisa-bisa gak jalan. Nah,kegiatan macam reading disana itu justru yang ngadain LSM.
HapusPengalaman saya di beberapa daerah pedalaman di papua, masih banyaaaaaaakkk sekali infrastruktur, baik jalan sampai bangunan sekolah yang tidak memadai, bahkan jauh dari kata layak. Tapi tak hanya pemerintah pusat yang bertanggung jawab akan hal ini, pemerintah daerah juga sebenarnya memiliki andil yang sangat besar sebagai perpanjangan tangan pusat. :( miris memang, jangankan di daerah2 pedalaman, bahkan di pelosok pulau jawa saja masih ada sekolah yg mau roboh.
BalasHapusiya benar itu mas Usmar Ismali, di jawa yang notabene dekat dengan istana masih banyak yang ya..begitulah
HapusIya, banyak tempat di Papua pun miris. Sulungku dua bulan ini KKN di sana, cerita2nya mencengangkan
BalasHapusha bener mbak Evylia, itu yang saya lihat di NTT juga. Pendidikan masih kalah dengan jawa
HapusSemangatnya Ibu Ovy patut dicontoh ya.. ^_^
BalasHapusAda lagi yang lebih keren, saya lupa namanya. Dia cuma lulusan SD tapi mau jadi relawan untuk ngajarin baca anak-anak disana
HapusSepertinya di wilayah Indonesia bagian Timur perkembangan dunia pendidikan masih jauh tertinggal yaa...mba buat laporan ke Menteri Pendidikan pas nih
BalasHapusiya mbak Muti, sangat. Memang butuh kerjasama semua pihak, nggak cuma pemerintah aja. SEbab ngandalin pemerintah bisa-bisa lama. Cuma yang mandegani itu siapa?
HapusPengin someday bisa ke atambua
BalasHapusamin, Mas Agung. Semoga bisa kesana dalam waktu dekat
Hapusmantap nian mbak.. perjuangannya. dulu saya pernah dinas ke Kupang. saya nginep di jalan sudirman. konon jalan sudirman di ibukota provinsi itu biasanya paling yes lah infrastrukturnya. tapi ternyata masi seperti wilayah bekasi.. -maaf buat anak bekasi-.. malah bekasi lebih hebring.. -tuh saya puji-..
BalasHapuspemerataan ekonomi emang penting. tapi beyond that, pemerataan akses pendidikan berkualitas itu juauh lebih penting. salut buat mbak yang jadi volunteer ke atambua..
Iya memang benar, mbak. Kupang itu tak ubahnya kota kecamatan. Sepi bener disana. Jalanan lengang, enak banget buat jalan. Cuma ya itu puanasnyaaaaa!
HapusSaya setuju soal pendidikan berkualitas itu, suwer kaget saya lihat kondisi disana
Kita harus ngakuin kalo masih banyak sedih yang tersimpan di pelosok negeri ya mbak? Hmm
BalasHapusSalam,
Senya