My 2018 Best Moment : Menjadi Relawan Sekaligus Menyaksikan Orang-Orang Berduyun-Duyun Datang Ke Alas Malang Demi Kemanusiaan



Saya sudah duduk cukup lama di komputer, sudah pula menemukan foto-foto yang menunjukkan momen-moment terbaik dalam hidup saya. Sesuatu yang siap diceritakan pada dunia. Tetapi, sebelum mulai menulis kisahnya, mata saya terpancang pada  folder bernama "Banjir Bandang Alas Malang".

Saya ingat hari itu tanggal 22 Juni 2016, saya sedang ngobrol di kafe bareng teman-teman SMA ketika berita tentang banjir bandang di Alas Malang itu datang. Diikuti sederetan video yang menunjukkan betapa dahsyat banjir yang melanda desa tersebut. Bukan kali pertama Alas Malang diterjang banjir. Bulan sebelumnya, Alas Malang dibanjiri lumpur  luapan Kali Badeng. Tidak disangka, baru saja sisa-sisa banjirnya dibereskan, banjir yang lebih besar tiba. Kurang lebih 300 rumah terdampak karenanya. 


Briefing sebelum berangkat ke area yang terdampak banjir bandang.

 Sabtu pagi, saya tiba di Posko Penangan Banjir Alas Malang, mengikuti himbauan untuk ikut kerja bakti bersih-bersih sisa banjir bandang yang saya baca di dinding Mbak Ira, salah satu wartawan Kompas yang terjun jadi relawan juga di sana. Seharusnya saya membawa pacul atau sekop, tetapi saya tidak punya. Jadi saya datang membawa badan saja. Setiba di sana saya kebingungan karena ternyata kebanyakan para relawan datang berombongan. Pihak BPBD pun berujar, agar tidak masuk ke area bencana sendirian. Harus berkelompok dan ada yang memimpin, agar memudahkan koordinasi di lapangan. Beruntung saya bertemu rekan-rekan dari Kabat, seperti Siska, Widhi, dan lain-lainnya. Bersama kelompok mereka saya mendaftar jadi relawan di Alas Malang.

Usai briefing, saya dan delapan rekan dari Kabat berangkat ke area yang terkena banjir bandang. Sepanjang jalan kami disuguhi dahsyatnya akibat banjir bandang. Rumah-rumah di tepi jalan dilamuri lumpur tebal. Tidak ada yang kalis, semuanya terkena. Di beberapa sudut rumah, sofa-sofa mentereng teronggok kehilangan cahaya. Tertutup lumpur tebal yang menimpa rumah pemiliknya. Di jalanan bekas-bekas material banjir menggunung, terdiri dari campuran pasir, ranting, pohon tumbang, kasur, dan apapun yang bisa dihanyutkan air.

Di samping jembatan, sebuah toko rusak parah. Hampir semua dindingnya hanyut terbawa banjir. Disebelahnya, toko lain masih berdiri. Namun tidak lagi sempurna. Dibalik pintu rolling door yang terbuka, tidak ada apapun benda yang tersisa. Semua hanyut di bawa banjir yang melanda sehari sebelumnya. Masjid Ar-Royan dipenuh pasir setinggi pinggang saya. Setidaknya sepertiga halaman sudah dibersihkan sewaktu saya tiba. Tak tahu seperti apa bagian dalamnya, tetapi menilik berita yang seliweran di timeline, butuh banyak orang untuk mengembalikan kondisi masjid seperti semula.

Masyarakat dan relawan bahu membahu membersihkan sisa banjir bandang.
 Bagaimana jalan menuju ke sana? Tidak bisa dilewati. Jalanan dari dan menuju Alas Malang ditutup di kedua sisi. Untuk menuju kemari para relawan harus lewat jalur yang memutar, entah lewat Singojuruh atau lewat Rogojampi. Sementara dari posko ke lokasi bencana pun semua orang harus berjalan kaki. Jaraknya memang dekat, tetapi lumpur tebal yang menyelimuti semua area memang menyulitkan untuk berjalan. Di beberapa tempat bahkan bahkan ketinggian lumpur mencapai lutut saya atau kurang lebih 40 cm. Itu membuat perjalanan jadi lebih lama dari perkiraan. Sampai di Garit, salah satu dusun yang terdampak banjir, kami menyebar. Sebagian membantu orang-orang mengangkuti lumpur, sebagian lain membantu membersihkan perabotan rumah seperti kursi atau lainnya.
Kami tidak lama di sana, tetapi rasanya badan sudah remuk semua. Sungguh, mengangkuti lumpur bercampur air dan harus melewati gang-gang yang dipenuhi lumpur pula itu berat. Padahal jaraknya tidak jauh. Dari rumah yang kami bantu ke jalan kampung, tempat menumpuk lumpur sementara sebelum dibersihkan alat berat, hanya 20-30 m saja. Akan tetapi, baru sekali-dua kali jalan rasa kaki sudah tak karuan. Saya pikir saya saja yang merasakan, ternyata semua pun mengatakan hal yang sama. Apalagi mereka yang terdampak bencana? Yang tidak hanya kurang tidur, tetapi juga kelelahan karena bekerja keras mengeluarkan semua sampah dan lumpur dari rumahnya. 

Karang Taruna Singojuruh mendata anak-anak korban banjir yang masih berusia sekolah.
 Tanggal 24 Juni, saya tergabung dengan rekan-rekan Karang Taruna Singojuruh untuk mendata anak-anak korban banjir yang masih usia sekolah. Kami terbagi menjadi dua, satu ke arah Bangunrejo dan lainnya ke arah Garit. Jika berjalan ke arah Garit sudah sulit, ke arah Bangunrejo lebih lagi. Lumpur lebih tebal dan tumpukan pasir lebih tinggi dari yang saya lihat di Garit. Sempat saya berpapasan dengan segolongan orang yang membawa pacul dan sekop kemari. Mereka diarahkan oleh seorang pria, entah dari SAR atau BPBD. Saya tak terlampau perhatian, karena sibuk mengikuti kawan-kawan tadi agar tak tertinggal. Kali ini tugasnya tidak berat, hanya berjalan dari rumah ke rumah, menanyakan adakah anaknya yang masih sekolah. Baik TK, SD, SMP, atau SMA. Kadang-kadang orang yang kami datangi tidak ada, mungkin mengungsi atau sibuk membantu mengangkut lumpur di rumah tetangga. Beruntung tetangga yang lain bisa membantu, sehingga tugas mendata itu selesai dengan cepat. 


Diantara relawan ini mungkin ada yang tidak pulang berhari-hari.
Pulang dari sana, badan saya meriang. Saya sakit karena kelelahan padahal apa yang saya lakukan tidak ada seujung kuku orang-orang yang sempat saya temui di sana. Ada yang tidak pulang, terus-menerus di lokasi siang dan malam. Tidur dan makan seadanya, demi membantu mereka yang kesusahan. Tidak peduli tempat, asal bisa menyelonjorkan badan, sudah cukup bagi mereka. Ada yang bergantian datang membawa tenaga, menggunakan sekop dan paculnya untuk membersihkan pasir serta lumpur yang merendam Alas Malang. Rela tidak bekerja sehari untuk membantu orang-orang yang terkena dampak banjir bandang tanpa diminta. Ada pula mengirimkan dana, meski tidak seberapa karena simpati pada saudaranya yang tengah kesusahan.

Nasi bungkus dari donatur yang datang ke posko penanggulangan banjir bandang.
 Lainnya tak eman datang membawa berkantung-kantung nasi bungkus ke lokasi bencana. Repot memasak sejak pagi karena dorongan semangat membantu sesama. Tidak hanya nasi, bahkan beberapa donatur rela mengirimkan tangki berisi air bersih ke lokasi bencana. Ada pula yang menggalang bantuan berupa sandang atau lainnya, untuk kawan-kawan di Alas Malang.
Siapa yang menggerakan mereka semua? Saya rasa Allah yang menggerakkan hati mereka, membuat mereka berduyun-duyun datang ke Alas Malang demi kemanusian. Saya bersyukur bisa menyaksikan hal-hal sehebat itu dan mengabadikannya lewat kamera smartphone saya.  Saya pikir inilah momen terbaik bagi saya di tahu 2018. Melebihi momen ketika film “Punk Masuk Desa”, film indie di mana saya ikut berperan meski sekilas lintas, ditonton serempak di 16 kota. Melebihi rasa haru ketika saya  menjadi salah satu pemenang Lomba Menulis Artikel Populer Wastra Nusantara 2018 beberapa pekan silam. Mengingat ini, diam-diam saya bersyukur hidup di era sekarang, di mana kamera smartphone sangat bisa diandalkan. Tidak perlu repot membawa kamera segede gaban. Tinggal rogoh dari kantong tas,  lalu ... jepret! Jadilah.
Aih, seandainya ada yang bertanya “Seperti apa sih smartphone impian kamu di  2018?”, pasti saya akan menjawab  :
1. Desainnya yang keren
Yang elegan, dengan lapisan kaca menyelimuti bagian belakang ponsel dan menghasilkan gradasi warna iris purple yang keren.
2. Memiliki kamera yang diperkuat AI
Dengan teknologi semacam ini kamera bisa menghasilkan gambar yang lebih optimal karena bisa mengenali lebih dari 200 skenario pemotretan. Plus punya selfie algoritma AI untuk fitur beautification. Dan kalau bisa kameranya tuh dibekali kamera dengan konfigurasi 24MP dan 2MP di bagian depan, serta serta 16MP dan 2MP untuk kamera belakang. Biar saya bisa menyalurkan hobi jepret sana-sini, kawan.
3. Storage 128 GB,  paling besar di kelas smartphone mid-end saat ini.
Duh, dengan storage segede ini, saya nggak ribet mindahin semua foto-foto baik hasil jepretan atau foto buku-buku jualan online yang banyak itu saya setiap saat. Selama ini itulah yang saya lakukan, biar ruang penyimpanan smartphone tidak terlampau penuh.
4. Diperkuat dengan GPU Turbo untuk kemampuan gaming
Adanya fitur ini tuh bikin tampilan grafisnya keren, tetapi tidak bikin boros data alias lebih hemat. Siapa tahu saya butuh hiburan diantara kesibukan nulis, jualan buku online atau ngeblog, bisa deh disambi main game.
Nah, ternyata setelah browsing sana-sini semua kriteria itu ada pada Huawei Nova 3i. Duh, semoga harapan saya memiliki smartphone kece ini terkabul ya. Supaya bisa menunjang kerjaan saya.
Eh, kalau kamu gimana? Apa ponsel impian kamu? Wah, jangan-jangan sama ya? Yak, tos dulu kita!




Komentar

  1. Inilah very best momen. Bisa berbagi dan menghibur yang sedang berduka

    BalasHapus
  2. Bahkan bonusnya lebih besar Mbak, kita diingatkan kalau ada niatan baik segerakan. siapa tahu kita tak punya waktu melakukan.

    BalasHapus
  3. Turut bangga ya mba bisa ikut membantu ke TKP.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih ke haru lihat orang2 berdatangan ke lokasi bencana, diingatkan bahwa di dunia ini masih banyak orang yang peduli.

      Hapus
  4. subhanallah, berbahagialah bisa menjadi relawan

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Mbak Agustina, nampaknya dengan jadi terjun jadi relawan kita menolong orang lain, padahal jauh di dalam sana kita menolong diri sendiri. Menjadi relawan apapun itu membuat kita jadi lebih berarti.

      Hapus
  5. Best Moment-nya berharga sekali, terjun langsung menjadi relawan bencana adalah pembelajaran yang sangat berharga. Semoga suatu saat berkesempatan juga seperti ini. Sekaligus bisa mengabadikan momen-momen penting saat bencana terjadi. Dengan Huawei hasilnya pasti lebih ciamik, sehingga juga bisa dimanfaatkan untuk dokumentasi negeri ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak Damar Aisyah, jadi relawan bencana itu sesuatu yang berharga. Kita jadi belajar banyak dari orang-orang yang hadir di sana, terutama soal keikhlasan membantu sesama.

      Hapus
  6. Masya Allah Mbaak.. keren ya bisa punya pengalaman begitu. Salut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mbak April, justru banyak yang lebih hebat dari saya.

      Hapus

Posting Komentar