Photo by Ahmed Aqtai from Pexels |
Semua
bermula ketika ramadan tiba. Saya pikir
setelah itu kondisi sosial media akan lebih tenang. Ternyata tidak juga.
Malah semakin panas adanya. Ujung pangkalnya memang Pilpres yang dilaksanakan
17 April silam, kecurangan. Soal itu masing-masing pihak, baik pendukung 01
maupun 02, merasa paling benar. Tak
jarang jadi adu komentar. Yang mulanya ringan, jadi tambah ngegas. Kemudian berakhir
dengan saling ejek dan olok demi
mempertahankan pendapat masing-masing.
Sedikit
banyak kondisi ini mempengaruhi saya. Ada semacam perasaan jengkel pada diri
saya melihat keadaan seperti ini. Heran betul kenapa masing-masing orang seolah
tidak sedih menyakiti satu sama lain. Ingin sekali saya mengatakan kepada
keduanya (sambil menggetok kepala masing-masing) agar berhenti dan menyudahi
semua perdebatan itu. Tak baik, apalagi jika ujung-ujungnya membubarkan silaturahmi
atau pertemanan.
Eh, tapi di
musim begini menasehati siapapun tak ubahnya menebar bara api. Bisa-bisa kita
yang malah terbakar sendiri. Lha bagaimana tidak terbakar jika kemudian nasehat
itu dianggap sebagai bentuk pembelaan pada kubu yang berseberangan dengannya.
Laah, ini siih malah cari gara-gara ujungnya!
Photo by Wilson Vitorino from Pexels |
Lama-lama
saya pikir kenapa saya yang harus menasehati orang lain? Kenapa tidak memulai
dari diri sendiri? Bukankah C. Joybell C. berkata :
“Don’t try to change the world, just change yourself”.
Kenapa?
Karena
kondisi tiap orang itu beda. Yang hatinya lapang bisa jadi ringan menanggapi
berita yang kita bagikan. Yang kadung diliputi sentimen golongan, bisa jadi
malah komentar macam-macam yang memicu kejengkelan. Baik saya selaku orang yang
menyebarkan berita atau justru orang lain yang gerah membaca komentarnya.
Akhirnya malah runyam kalau begini.
Begitu juga
saat berkomentar. Sekiranya status kawan-kawan terlampau pedas atau panas,
cukup disembunyikan. Tidak perlu dibaca atau dipikirkan. Jika masih keterlaluan
cukup snooze selama tiga puluh hari. Baru unfollow bila dirasa meresahkan,
mengumbar negativisme tanpa peduli validitas sumbernya. Jadi unggahan semacam
itu tidak tampil di beranda saya. Aman 'kan?
Tidak perlu
dikomentari. Karena sepengalaman saya bermedia sosial, satu komen yang menurut
kita biasa bisa memicu kejengkelan pada empunya status. Ini mendorongnya untuk
menjawab dengan cara yang lebih keras dan tajam. Akhirnya bukan pemahaman yang
didapatkan, tetapi permasalahan baru yaitu pertengkaran. Jika masing-masing
tipe orang yang enggan memperpanjang persoalan, hal semacam ini mungkin takkan
terbawa di dunia nyata. Bila sebaliknya? Percayalah, hubungan baik yang kita
bina akan bubar. Baik oleh salah satu atau
dua pihak yang merasa dibikin kesal.
See? Repot
'kan?
Karena itu
pula saya jadi lebih berhati-hati dalam menyikapi berita heboh di media sosial,
terlebih yang terkait dengan politik sekarang. Meski sebagian besar yang
dihebohkan teman itu saya tahu, biasanya saya diamkan. Cukuplah diri
sendiri yang tahu. Lalu diambil hikmahnya. Tidak perlu ikut latah membagikannya
hanya demi terlihat up to date dan kekinian.
Jika orang
lain yang melakukan?
Ha, yo
biarkan. Yang penting saya tidak. Biarlah timeline saya dingin di tengah
suasana memanas. Agar kawan-kawan saya yang lain, yang merasa tidak nyaman
dengan debat pendukung kedua kubu, punya alternatif bacaan. Tidak itu-itu saja,
yang berpotensi melelahkan hati dan pikiran.
Bagaimana
denganmu kawan? Apakah kau mengalami situasi yang sama? Katakan, apa yang kau
lakukan? Apa kau melakukan hal yang sama denganku? Berhati-hati kala hendak share berita atau berkomentar? Ai, kalau
begitu kita samaan (toos!).
So berkah
ramadan apa yang kau rasakan tahun ini kawan? Mari ceritakan agar dunia
mendengar!
Salam dari
kejauhan.
Setujuh banget Mbak. Terkadang sampai males buka medsos, tetapi harus buka medsos untuk urusan kerja. So, aku fokus kerja aja. Nggak mau ngurusin keributan di sana 😄
BalasHapusHa iya, Ning. Bener itu. Toxic banget je efeknya. Biarlah mereka panas, kita tetap adem
Hapussama saya pun juga begitu. sekiranya ganggu udah main hapus komennya aja. bukan pertemanannya. atau anggap angin lalu kecuali dia komeeen terus gak berhenti2 wah jelas blokir ajalah karena ganggu dong udah gitu bikin kesel hp bunyi terus isinya cuma pemberutahuan si orang itu yg komen melulu.
BalasHapusBwetul mbak, daripada ribet. Bukan karena kita jahat tapi kalau dibiarin terus, jadinya toxic
Hapus