Pria berkacamata itu ia selalu mendatangi Nikmah
sejak delapan tahun silam. Bukan untuk menggoda dirinya yang janda. Akan tetapi,
memesan kue-kue serta tumpeng untuk istrinya. Waktunya selalu sama, tiga hari
sebelum tanggal 6 Februari.
Sepanjang itu kue-kue yang dipesan tak pernah
berubah. Selalu lemper, kue sus, lapis Surabaya, dan pastel basah. Nikmah bukan
tak pernah menawari lainnya. Selama tiga tahun berturut-turut, ia berupaya membujuk
pria itu untuk menggantinya dengan kue-kue yang lebih kekinian. Mulai dari fudgy brownies, banana roll cake, hingga kurma
stick bars.
Namun, pria tujuh puluh tahun tersebut selalu
menolak. “Kue-kue tersebut kesukaan istri saya. Perayaan ulang tahunnya kurang
berkesan tanpa itu semua,” begitu dalihnya
Nikmah terpesona. Ia paham sekarang mengapa pria itu
selalu memesan makanan yang sama. Semua karena ia ingin menyenangkan sang
belahan jiwa lewat hal-hal kecil yang disukainya. Berbeda dengan mantan suaminya
yang lebih mementingkan diri sendiri, ketimbang ia dan ketiga buah cinta
mereka.
Sejak itu Nikmah tak pernah bertanya. Saban pria itu
datang, Nikmah langsung paham apa yang
hendak ia pesan. Bahkan sebelum mengatakan. Membuat pria itu harus sekaligus
heran bagaimana Nikmah bisa hapal, padahal begitu banyak orang yang memesan kue
atau makanan kepadanya.
“Sudah bertahun-tahun lebih Bapak kemari dengan
pesanan yang sama. Bagaimana saya bisa lupa?” terang Nikmah dibubuhi tawa.
Akan tetapi, hari ini berbeda. Pria itu justru mengetuk
pintu rumah Nikmah lebih cepat dari biasa. Bukan tiga hari, melainkan sepekan sebelum tanggal 6 Februari. Hal diluar
kebiasaan ini membuat perempuan tersebut bertanya-tanya. Akan tetapi, ia
memilih untuk menelan kembali pertanyaan yang sudah mencapai ujung lidahnya.
Jauh dalam hati perempuan tiga puluh lima tahun itu
merasa tak pantas mengucapkannya. Ia bukan siapa-siapa hingga berhak menanyakan
hal yang sifatnya pribadi. Ia hanya seseorang yang saban tahun dipercaya pria itu
untuk membuatkan kue dan tumpeng semata. Tak lebih.
Akan tetapi, mata tua itu rupanya bisa membaca.
Sembari menyunggingkan senyum tipis ia berkata ,”Saya hendak pergi, Mbak. Kalau
tidak hari ini, saya takut tak punya waktu lagi.”
Setelah itu ia berbalik dan keluar dari rumah Nikmah.
Namun, baru sepuluh langkah ia kembali lagi. Katanya ,”Kue-kue kekinian itu apa namanya?”
“Yang mana, Pak?” Nikmah mengerutkan kening.
“Yang pernah sampeyan
tawarkan dulu.”
Mbak Nikmah diam sejenak. Lalu menjentikan jari
seraya berkata ,”Oh, itu. Ada fudgy
brownies, banana roll cake, fruit pastry cake, soes buah, pie cheese fruit … Bapak mau yang mana?”
Pria berambut putih dan bermata teduh itu mendekat.
”Aku memesan semua yang kau sebut tadi.
Masing-masing empat buluh buah seperti kue-kue sebelumnya. Berapa?” tanyanya.
Nikmah mengatakan jumlahnya. Pria itu merogoh dompet
dari saku celana. Lantas mengeluarkan uang dan menyodorkannya ke hadapan Mbak
Nikmah seraya bertanya ,”Apa pesanan saya bisa selesai sebelum pukul 17.00?”
“Oh, bisa Pak. Kalau Bapak mau mengambil pukul 15.00
seperti biasa juga bisa.”
“Ah, kalau begitu pukul 15.00 saja,” jawabnya tanpa
pikir panjang.
“Bila saya telat lebih dari tiga puluh menit, bisakah
Mbak antarkan ke alamat ini?”
Mbak Nikmah mengangguk seraya menerima kartu nama pria bernama asli
Hasan Ruhiyan dengan sopan.
Tanggal 6 Februari, pukul 15.00. Seluruh pesanan kue
dan tumpeng Pak Hasan sudah selesai semua. Tinggal menunggu beliau mengambilnya.
Namun, dua puluh menit berlalu beliau tak kunjung tiba. Padahal seingat Nikmah
pria itu selalu tepat waktu. Tak pernah ingkar barang semenit jua.
Ada apa ya? Nikmah bertanya-tanya. Keterlambatan Pak
Hasan kali ini menggelisahkannya. Lebih menggelisahkan ketimbang bertemu mantan
suami yang menatapnya penuh cela. Namun, Nikmah segera menepis kecemasan itu. Ia
memilih menyibukkan diri dengan membalas
chat dari orang-orang yang membutuhkan jasanya.
Pukul 15.39. Pak Hasan belum juga datang. Nikmah
segera memesan taksi online untuk
mengantarkan kue-kue dan tumpeng ke rumahnya. Tak lama kemudian, taksi itu tiba.
Lantas berlalu bersama Nikmah dan makanan buatannya ke Jalan Kepodang nomor 73.
Sepuluh menit kemudian, Nikmah tiba. Ia melihat di samping rumah itu beberapa
perempuan berkumpul. Sebagian memasak, yang lainnya membantu mengupas sayuran
atau meracik bumbu. Seperti halnya jika
ada hajatan atau sejenisnya. Tetapi, hajatan siapa? Bukankah pria itu bilang ia
anak-anaknya sudah menikah semua?
Di tengah kebingungan itu seorang pria muda
menyambutnya. Dari matanya yang melebar, Nikmah bisa tahu kehadirannya
mengherankan.
“Mohon maaf Mas, apa Pak Hasan ada? Saya membawa
kue-kue dan tumpeng pesanannya?”
“Kue-kue? Tumpeng? Pesanan Pak Hasan?” Pria muda
tersebut nampak tak percaya.
“Iya, Mas. Sepekan silam beliau menghubungi saya dan
meminta mengirimkannya di alamat ini,” yakin Nikmah.
Pria muda itu mengangguk-angguk, lalu memintanya
menunggu sementara ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia kembali dengan perempuan
yang lebih tua darinya. Perempuan tersebut lantas mengajak Nikmah masuk ke
dalam sebelum bertanya dengan hati-hati apa benar ayahnya memesan semua kue
yang dibawanya.
“Benar, Bu. Beliau bilang untuk perayaan ulang tahun
istrinya.”
Perempuan berusia pertengahan empat puluh tersebut
menghela napas panjang. “Begitulah Bapak saya, tidak pernah melupakan hari
ulang tahun ibu meskipun beliau telah tiada.”
“Oh, ibu sudah meninggal dunia?”
Perempuan tersebut mengangguk.
“Iya. Delapan tahun lalu beliau pergi meninggalkan
kami semua tepat di hari ulang tahunnya. Tetapi, Bapak saya tak pernah
menangisinya. Setiap tahun beliau justru merayakan kehilangannya dengan
mengirimkan tumpeng dan kue-kue ke panti asuhan kecil dekat sini. Katanya,
kepergian ibu tak untuk ditangisi. Menurut beliau ibu pasti bahagia, karena
sudah menyelesaikan perjalanannya dan kembali kampung halaman.”
“Kampung halaman?”
“Akhirat, tapi Bapak mengistilahkannya sebagai
kampung halaman.”
Nikmah tercenung. Baru kali ini ia mendengar orang mengenang
kepergian kekasih hatinya dengan perayaan mengesankan, mengirim makanan ke
panti asuhan. Bukan dengan tangis yang dilamuri kedukaan mendalam. Mampukah ia
jika itu dirinya? Pertanyaan itu bergulung-gulung di kepala, sebelum putri Pak
Hasan tadi bertanya ,”Oh, iya. Apakah Bapak saya sudah membayar semua
pesanannya?”
Pertanyaan tersebut menarik Nikmah dari lamunannya.
Sembari mengangkat kepala, Nikmah mengiyakan. Tak disangka jawaban sederhana
itu justru membangkitkan tangis wanita dihadapannya.
“Bapak benar-benar pergi tanpa meninggalkan hutang.
Persis seperti yang dia inginkan,” gumamnya sendiri.
“Pergi?” Nikmah mengerutkan keningnya. “Maksud Mbak,
Bapak ….”
Perempuan itu mengangguk dalam menanggapi ucapan
Nikmah yang menggantung di udara. Raut mukanya nampak sedih sewaktu menceritakan
jika Pak Hasan telah tiada dan hari ini tepat tujuh harinya.
“Sepekan silam, sebuah truk menabrak sewaktu Bapak
hendak menyeberang jalan dengan motornya. Beliau meninggal tak lama setelahnya,
kurang lebih pukul 14.30,” jelasnya.
Nikmah ternganga. Kini ia paham apa maksud Pak Hasan
sewaktu berkata ,”Saya hendak pergi, Mbak. Kalau tidak hari ini, saya takut tak
punya waktu lagi,”
Rupanya hari itu ia hendak mengisyaratkan
kepulangannya ke kampung halaman, menyusul sang istri yang telah berangkat
duluan.
Dua hari berlalu, Nikmah menerima sepotong pesan.
Dari Putri Pak Hasan Ruhiyan. Ia mengabarkan tumpeng dan kue-kue yang dipesan oleh
sang ayah telah dikirimkan ke panti asuhan setelah Nikmah pergi dari rumahnya.
Nikmah berurai air mata. Seutas kepedihan merayapi hatinya. Akan tetapi, ia
segera menghapusnya.
Seperti Pak Hasan, ia tak ingin merayakan kehilangan
itu dengan air mata. Ia bergegas mengucap Al Fatihah khusus untuk pria baik
itu, sebelum menyedekahkan beberapa kotak makanan kepada tetangga sekitar.
Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel.
Mbak ternyata gak cuma jago akting ya, tapi jago bikin cerita fiksi juga. Suka dengan cerpennya ini. Pesannya dalem banget.
BalasHapusWalah, matur nuwun Mbak Siska. Masih jauh dari jago 😁
HapusYa Allah ceritanya mengharukan bgt mbak
BalasHapusTerima kasih banyak, Mbak Enny.
HapusSosok suami dan ayah yang setia dengan keluarganya. Cerita yang mengharukan
BalasHapusTerims kasih banyak mbak yustrini.
HapusKeren ceritanya Mbak, menginspirasi. Dari Pak Hasan kita bisa belajar untuk memaknai kehilangan dengan cara yang berbeda.
BalasHapusIya, Pak Hasan justru merayakan dengan berbagi.
HapusBagus cerpennya menceritakan sosok pria sejati yang menjadi pemimpin keluarga yang baik
BalasHapusTerima kasih banyak, Mas Vicky.
HapusSebagai penulis, saya takjub pada potensi Mbak Afin dalam menuliskan kisah fiksi yang runut dan trstrukrur tetapi dengan bahasa yang enak dan mengalun.
BalasHapusKisahnya menyentuh. Saya menikmati alurnya, dari awal sampai akhir tiada hal mubazir dalam penulisan fiksi.
Ini tarraf sastra.
Semoga menang. Aamiin.
Mbak matur nuwun sanget. Wah, ini terlalu memuji.
HapusKisah yang mengharukan, sungguh pasangan yang luar biasa. Tak pernah lewat dari hari penting pasangannya.
BalasHapusCeritanya menyentuh sekali kak. Boleh nih untuk belajar bikin cerpen
Ahaha matur nuwun Kang Ugi. Wah, saya saja masih belajar sampai kini.
HapusBagus ceritanya.... Mbak terbiasa nulis fiksi ya kayaknya.
BalasHapusSemangat selalu untuk berkarya :)
Sedikit-sedikit Mbak Fie. Masih belajar.
HapusYa Allah .. sampai merinding saya membacanya. Bagus sekali ceritanya. Kisah tentang cinta dan ketulusan. Tapi kematian selalu saja memilukan. Bahkan baca fiksi saja rasanya teriris.
BalasHapusAh iya, Mbak. Sesiap apapun kita, ditinggalkan itu bukan hal mudah.
HapusKok aku ikutan mbrebes Mili bacanyaaa :(. Sedihnya dapet banget mba. Terharu loh, apalagi pas tahu bapaknya sudah pergi seminggu yg lalu :(. Trus kue2nya sudah dibayar penuh tanpa hrs ngerepotin anak2nya :(. Kebawa sedih jadinya mba...
BalasHapusAduh, matur nuwun Mbak Fanny.
HapusSempat hampir nyerah pas nulis ini, karena nggak dapat feel sampai hari H.
mantap, nice ceritanya
BalasHapusTerima kasih, Mbak Tira sudah baca.
HapusNangis bacanyaa itu tumpeng terakhir yang dipesan Pak Hasan 😭😭
BalasHapusOrang baik kadang firasatnya benar-benar kejadian, seperti yang Pak Hasan bilang sama Nikmah. Jika tidak sekarang, takut gak ada waktu lagi.
Hapus