Mudik Nggak Mudik Kami Tetap Sayang

 


Sebagai Kakak yang adiknya tinggal jauh di Kalimantan, saua tahu seperti apa perjuangannya untuk pulang. Dari Estate tempatnya bertugas, butuh setengah hari lebih untuk tiba di Balikpapan dengan biaya kurang lebih 2 jutaan.

Dari Balikpapan ia akan bermalam, sebelum terbang keesokan harinya. Tiba di Juanda, ia dan keluarganya harus menempuh perjalanan enam jam untuk tiba di rumah. Sungguh perjalanan yang melelahkan. Beruntung, sekarang ada tol Probolinggo-Surabaya yang mempersingkat waktu perjalanan. Jadi bisa lebih cepat sampai di rumah.

Namun sebelum itu mereka akan disibukan perkara hunting tiket pesawat. Taruhlah satu orang satu juta, kalau empat orang berarti empat juta

Beruntung dana untuk ini dibiayai perusahaan, jadi uang untuk pembelian tiket bisa dialokasikan untuk lainnya. Sangu lebaran misalnya. 

Sangu lebaran yang meliputi yang uang jajan, angpao untuk anak-anak, bensin kendaraan, dan sebagainya jika dihitung-hitung besar juga. Ditotal-total bisa belasan juta bahkan lebih bea pulang dan pergi.

Mahall ya?

Karena itu saya tak terlalu risau jika adik saya tak bisa pulang. Ketidakpulangannya untuk mudik di hari lebaran bukan ukuran sayang atau tidak sayang.

Saya paham riwehnya pulang kampung buat mereka yang tinggal di pulau seberang. Syukur jika hidupnya dimudahkan dan lancar sehingga berkesempatan pulang setidaknya dua tahun sekali.

Namun bagi mereka yang kondisinya kebalikan, mudik seringkali harus dipikirkan matang-matang agar tidak berutang. 

"Ah, kalau niat pasti ada saja jalan. Eman-eman kalau lebaran tak pulang. Ini momen untuk bersilaturahmi dengan orang tua dan saudara-saudara."

Mungkin saja ada yang berkata demikian. Dan pendapat itu sah adanya. Namun, tidak untuk semua orang. Kok begitu? Iya, karena kondisi masing-masing orang berbeda. 

Ada yang dimudahkan dalam mencari rejeki di perantauan, sehingga acara mudik lancar tanpa ada kesulitan. Dananya cukup, tak perlu berutang. Mau mudik setahun empat kali pun bakal keturutan.

Sebaliknya bagi mereka yang hanya buruh kecil, urusan mudik itu butuh perencanaan yang jauh lebih matang. Berapa dana yang harus disisihan tiap bulan agar dapat membiayai perjalanan empat orang, pulang dan pergi.

Sampai di tempat mana bisa berpangku tangan, sekadar nebeng tidur dan makan pada ortu atau saudara tempatnya bermalam. Agar tak merepotkan tuan rumah pasti ada dana khusus yang disiapkan untuk makan. Anggaplah mereka akan tinggal sepekan. Jika sehari seratus ribu, berati dana yang dibutuhkan 700 ribu.

Itu belum uang jajan. Tidak mungkin juga selama mudik nggak jajan. Setidaknya satu-dua mangkuk bakso dijajal berikut es. 

Di desa uang seratus ribu sudah bisa digunakan untuk membayar empat mangkuk bakso yang endes dan minumannya sekalian. Jika jajan bakso sebanyak dua kali, berarti dua ratus ribu dana yang keluar. 

Karena itu saya bisa paham jika orang memilih tak mudik karena alasan pendanaan. Ketimbang mudik dengan utangan, lebih baik tinggal tetapi bebas utang.

Kadang saya berpikir momen mudik lebaran ini sejatinya mengajarkan kita perkara keikhlasan. Ikhlas jika anak atau saudara tak bisa sering-sering pulang. Dengan demikian tak ada lagi amarah atau iri yang tersembul bila melihat anak dari keluarga lain bisa mudik dengan gampang. Ikhlas itu pula yang membuat kita berpikir gampang bahwa mudik atau tidak bukan ukuran sayang.

Eniwei "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H/2022". Mohon maaf lahir dan batin.


















Komentar