Love Letter To My Self: Berhentilah Membandingkan Diri Dengan Orang Lain

(Sumber: Bing)

Ramadhan sudah separuh jalan, tak lama lagi lebaran. Apa yang kamu rasakan? Resah? Pasti bukan soal baju lebaran atau berat badan yang stag padahal sudah dua pekan puasa Ramadhan? Pun perubahan pola makan dan tidur yang berubah selama Ramadhan? Atau malah perkara kue-kue lebaran yang menggoda iman dan dompet kan? Ya, ya … aku paham. Yang kau resahkan diam-diam adalah soal pencapaian.

Setiap kali membuka beranda dan melihat pencapaian orang lain, mendadak kau jadi kecil hati. Kau mulai berhitung betapa banyak yang mereka raih dan betapa kecil yang bisa kau gapai. Kemana saja selama ini? Mereka sudah beranjak jauh dan kau masih juga di sini. Ya ampun!

Stop, stop, stop! Berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Tahu tidak? Setiap manusia di dunia punya jalan hidup sendiri-sendiri. Tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. Jika ini terus kau lakukan yang ada kau tidak akan bahagia. Karena kau menjadikan hidup orang lain sebagai standar. Pada akhirnya kau frustrasi pada diri sendiri karena merasa "tidak cukup baik". 

Kamu lupa, di dunia ini setiap orang menempati lajurnya masing-masing. Setiap lajur memiliki tantangan dan alur yang berbeda. Jadi tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. Jadi tidak tepat jika membandingkan dirimu dengan orang lain. Percayalah! Jika kau terus-terusan melakukannya, kau akan selalu merasa kurang. Dari “merasa kurang” kau akan menjadi sosok yang tidak percaya diri. 

Perlahan kau menjadi iri hati. Memanas setiap kali melihat pencapaian orang lain. Ujungnya kau mudah sakit hati dan tersinggung bila ada kawanmu mengunggah apa yang sudah diraihnya hari itu. Bahkan jika yang ditunjukkannya hanya keberhasilan membuat kolak biji salak seperti resep aslinya. 

Sudah ya? 

Sekarang mari kita lihat dirimu ke belakang. Kau dulu orang yang mudah marah. Segala hal didebat, tanpa terkecuali. Namun sekarang kau jauh lebih tenang. Lebih bisa mengontrol emosi. Jika ada yang tidak berkenan, kau akan diam. Tidak langsung bereaksi. Bahkan kau lebih senang menghindari perdebatan meskipun kau mampu. Bukankah itu pencapaian? 

Kau juga lebih bisa memahami perasaan orang lain ketika ada di titik terendah dengan bersikap biasa. Tidak berupaya menasehati atau lebih buruk lagi mencelanya. Karena kau sudah pernah ada di sana. Coba bandingkan dengan sepuluh tahun silam? Dirimu yang sekarang jauh lebih baik, kawan. Dan itu juga prestasi yang hebat!

Dirimu yang kini juga lebih mampu menerima kekalahan ketimbang sepuluh tahun silam. Kecewa pasti ada, tetapi tidak lagi disikapi dengan kemarahan yang menyala. Kau paham, menang kalah itu biasa. Dan itu pencapaian yang keren juga!

Ah, bukan itu saja! Dibandingkan dirimu yang dulu, kau sudah lebih pandai bersikap “abai” untuk omongan-omongan negatif yang mampir ke telingamu. Kau tahu tidak semua hal perlu dimasukkan hati. Cukup hal positif saja yang masuk ke sana. Yang negatif dan berpotensi menjadi sampah, buang ke tempat semestinya. Dengan begitu hatimu akan lapang. See? Bukankah ini prestasi?

Sekarang senyumlah yang lebar! Berikan apresiasi untuk dirimu sendiri alih-alih membandingkan diri dengan orang lain. Ketimbang melakukan itu, lebih baik fokuslah untuk memperbaiki diri. Teruslah melangkah mencapai impianmu meski jalannya seperti siput. Lambat sekali. 

Kau tahu? Ini jauh lebih baik ketimbang berdiam diri dan tak melakukan apa-apa hanya karena kau takut duluan. Iya kan? Ah, satu lagi! Jangan lupa mensyukuri apa yang kamu capai selama ini. Aku senang karena kau bisa bertahan sejauh ini. 


Komentar