Aku tidak komentar banyak tentang itu, hanya ikut bahagia meski sesungguhnya dalam hati aku berbisik sedih sambil berkaca-kaca," Yah… andai dia dengan lainnya ya Allah…"
Tapi segera saja sisi hati ini menyahut ," Its not your business anyway, who are you? Saudaranya? Orang tuanya? Bukan tuh! Dia sudah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas keputusannya itu…Let it be…"
Iya sih, jawabku sendiri. Andai kejadian itu aku yang mengalami masihkah aku memakai logika sehat untuk menepisnya? Kau tahu sendirilah bagaimana jika seseorang jatuh cinta. Seringkali kita sudah tahu jawaban pertanyaan atas hal-hal yang kita risaukan tapi seringkali pula kita tak menggubrisnya karena merasa sanggup menjalani. Psst, katanya sih kalau cinta apapun bisa kita terjang. Ya kan? Karena itulah mengapa aku memilih untuk tak banyak komentar atas cerita sahabatku, aku merasa belum tentu benar jika berada dalam kondisi sepertinya. Bisa jadi saat itu pikiran muda saya akan berkata," Dia mengerti saya, dialah orang yang saya cari…Cukup bagi saya cinta yang dia punya, karena bersama ketulusannya saya yakin bisa mengarungi dunia ini hingga akhir hayat nanti."
Lalu saya ingat salah satu dialog dalam cerpen karya Danayu berjudul Dua Dara dan Pelangi, antara Tiara dan Rin, saat Tiara bermaksud pindah keyakinan demi Chris ,"……Adalah hak setiap manusia untuk mencari kebenaran hakiki sesuai yang ia yakini. Tapi jika karena Chris, aku tidak setuju, Ra. Jika nanti hubunganmu tidak lancar dengan Chris, apa kamu mau mengganti Tuhanmu lagi? Pikirkan baik-baik, Ra."
"Aku tidak mengatakan ini bukan cinta. Aku hanya bertanya padamu, layakkah mengesampingkan cinta ayah dan ibumu dengan mengatasnamakan cinta lain? Cinta Chris baru kau miliki 3 tahun ini. Berapa umurmu, Ra? 28 tahun? Cinta orang tuamu telah kau miliki selama 29 tahun? Sejak kau masih dalam kandungan, mereka telah mencintaimu. Jangan, Ra. Jangan pergi. Hati mereka akan patah. Berserakan. Lebih hancur dari yang kau rasakan sekarang," begitu ucap Rin pada Tiara saat gadis itu berniat pergi.
Karena itu aku jadi bertanya-tanya sendiri : Jika kau, Fin, jadi Tiara apa kau sanggup menerima cecaran ucapan Rin itu sementara kau sangat mencintai Chris? Sanggupkah kau gunakan segenap akal sehatmu dan bukan cuma menuruti hati yang jatuh cinta dan mengikuti saran Rin berikut ini :
" …Ia hancur. Biarkanlah, Ra. Itulah siklus hidup. Seseorang jatuh, berantakan lalu ia akan bangkit lagi. Tanpamu ia akan baik-baik saja. What doesn't kill you makes you stronger. Let him go, Ra."
Tiba-tiba cerita Ced, Cece dan Ibu tentang pernikahan beda keyakinan terbayang …
"Kedua teman ibu memegang keyakinannya dengan kuat, pada suatu saat, setelah menikah bertahun-tahun si ibu mengalah untuk mengikuti keyakinan si ayah, tapi karena keyakinan itu perkara hati, tanpa sepengetahuan ayah si ibu tetap menjalankan ibadah sesuai keyakinannya dulu," begitu cerita ibu padaku.
"Temanku bertindak ekstrem karena ayah dan ibunya bersikukuh dengan kepentingannya masing-masing. Mereka tak mau mengalah satu sama lain," kata Ce Nur suatu hari
"Kalo minggu ikut Ibu tapi kalo pas pelajaran agama yang dianut Bapakku aku juga tetap ikut," cerita Ced mengingat masa kecilnya.
Lalu kemana hilangnya cinta yang mereka agungkan dulu? Entahlah."Jika itu aku, sanggupkah aku menempatkan cinta sesuai porsinya? Benarkah semudah itu cinta bisa menjembatani perbedaan? Sanggupkah aku dan dia kelak mampu menegakkan kedemokratisan, keterbukaan serta toleransi antar keyakinan setelah sepuluh tahun berjalan?" pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku
"Egois namanya jika hanya memikirkan kebahagianmu sendiri saat menikah. Kemaslahatan pernikahan itu bukan hanya untukmu, tapi juga demi kemaslahatan bersama. Ada tanggung jawab kepada Tuhanmu, keluargamu, juga anak-anakmu kelak disana. Pikirkan ke depannya dan bukan melulu karena cinta. Bahagiakah kamu jika kamu menikah tanpa restu? Cinta apa namanya jika ia menyakiti orang-orang yang menyayanginya," begitu seseorang berkata.Pffiuuh! Auk ah lap!
"……..Berpisah denganmu seperti mendaki gunung es yang terjal. Dan dirimu seperti pondok hangat di dasarnya. Aku takkan bisa mendaki, sebab pelita yang kau nyalakan selalu membuatku manja dan berbalik lagi. Padamkan pelita itu. Izinkan aku mendaki untuk mencari pelita lain. Jika kau benar-benar menyayangiku, lepaskan aku." ucap Uda untuk Rin.
Betapa indah kalimat itu tapi mampukah kita mengucapkan dengan gagah didepan orang yang kita cinta. Waduuh! Nggak ku-ku!
Ya, aku memang punya pendapat sendiri tentang perkawinan beda keyakinan tapi aku tak ingin mengucapkannya sembarangan. Mencari cara yang tepat untuk membahas masalah sesensitif itu tanpa terkesan menggurui dengan berbagai dalil yang kau sodorkan bukan perkara gampang. Bila tidak pas penyampaiannya bisa-bisa malah terjadi salah paham, menjurus kearah SARA dan berakhir dengan 'bacokan!' ….satu istilah kasar yang sering aku dan adikku gunakan untuk perkelahian tanpa ujung pangkal. Karena itu meski jauh dalam hati jujur aku harap dia temukan 'cahaya' lainnya, tapi aku ogah mendebatnya.
"Jangan hujat orang sembarangan lantas meninggalkannya begitu saja. Petik pelajarannya, ambil saja hikmahnya," begitu ustadz berkata mengingatkan kami, santri-santrinya menyikapi persoalan di sekitar kami. Teriring sebuah doa, aku harap dia baik-baik saja…..dan semoga dia tidak nyasar, lantas membaca tulisan ini(hiks! Bisa disikat bersih saya nanti).
Thanks to Ced, Cece, Ibu, dan sahabat baikku (hiks, how I miss u)
Dua Dara dan Pelangi, oleh Danayu, Chic 28 Sept-11 Okt 2005, hal 91-93
Tapi segera saja sisi hati ini menyahut ," Its not your business anyway, who are you? Saudaranya? Orang tuanya? Bukan tuh! Dia sudah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas keputusannya itu…Let it be…"
Iya sih, jawabku sendiri. Andai kejadian itu aku yang mengalami masihkah aku memakai logika sehat untuk menepisnya? Kau tahu sendirilah bagaimana jika seseorang jatuh cinta. Seringkali kita sudah tahu jawaban pertanyaan atas hal-hal yang kita risaukan tapi seringkali pula kita tak menggubrisnya karena merasa sanggup menjalani. Psst, katanya sih kalau cinta apapun bisa kita terjang. Ya kan? Karena itulah mengapa aku memilih untuk tak banyak komentar atas cerita sahabatku, aku merasa belum tentu benar jika berada dalam kondisi sepertinya. Bisa jadi saat itu pikiran muda saya akan berkata," Dia mengerti saya, dialah orang yang saya cari…Cukup bagi saya cinta yang dia punya, karena bersama ketulusannya saya yakin bisa mengarungi dunia ini hingga akhir hayat nanti."
Lalu saya ingat salah satu dialog dalam cerpen karya Danayu berjudul Dua Dara dan Pelangi, antara Tiara dan Rin, saat Tiara bermaksud pindah keyakinan demi Chris ,"……Adalah hak setiap manusia untuk mencari kebenaran hakiki sesuai yang ia yakini. Tapi jika karena Chris, aku tidak setuju, Ra. Jika nanti hubunganmu tidak lancar dengan Chris, apa kamu mau mengganti Tuhanmu lagi? Pikirkan baik-baik, Ra."
"Aku tidak mengatakan ini bukan cinta. Aku hanya bertanya padamu, layakkah mengesampingkan cinta ayah dan ibumu dengan mengatasnamakan cinta lain? Cinta Chris baru kau miliki 3 tahun ini. Berapa umurmu, Ra? 28 tahun? Cinta orang tuamu telah kau miliki selama 29 tahun? Sejak kau masih dalam kandungan, mereka telah mencintaimu. Jangan, Ra. Jangan pergi. Hati mereka akan patah. Berserakan. Lebih hancur dari yang kau rasakan sekarang," begitu ucap Rin pada Tiara saat gadis itu berniat pergi.
Karena itu aku jadi bertanya-tanya sendiri : Jika kau, Fin, jadi Tiara apa kau sanggup menerima cecaran ucapan Rin itu sementara kau sangat mencintai Chris? Sanggupkah kau gunakan segenap akal sehatmu dan bukan cuma menuruti hati yang jatuh cinta dan mengikuti saran Rin berikut ini :
" …Ia hancur. Biarkanlah, Ra. Itulah siklus hidup. Seseorang jatuh, berantakan lalu ia akan bangkit lagi. Tanpamu ia akan baik-baik saja. What doesn't kill you makes you stronger. Let him go, Ra."
Tiba-tiba cerita Ced, Cece dan Ibu tentang pernikahan beda keyakinan terbayang …
"Kedua teman ibu memegang keyakinannya dengan kuat, pada suatu saat, setelah menikah bertahun-tahun si ibu mengalah untuk mengikuti keyakinan si ayah, tapi karena keyakinan itu perkara hati, tanpa sepengetahuan ayah si ibu tetap menjalankan ibadah sesuai keyakinannya dulu," begitu cerita ibu padaku.
"Temanku bertindak ekstrem karena ayah dan ibunya bersikukuh dengan kepentingannya masing-masing. Mereka tak mau mengalah satu sama lain," kata Ce Nur suatu hari
"Kalo minggu ikut Ibu tapi kalo pas pelajaran agama yang dianut Bapakku aku juga tetap ikut," cerita Ced mengingat masa kecilnya.
Lalu kemana hilangnya cinta yang mereka agungkan dulu? Entahlah."Jika itu aku, sanggupkah aku menempatkan cinta sesuai porsinya? Benarkah semudah itu cinta bisa menjembatani perbedaan? Sanggupkah aku dan dia kelak mampu menegakkan kedemokratisan, keterbukaan serta toleransi antar keyakinan setelah sepuluh tahun berjalan?" pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku
"Egois namanya jika hanya memikirkan kebahagianmu sendiri saat menikah. Kemaslahatan pernikahan itu bukan hanya untukmu, tapi juga demi kemaslahatan bersama. Ada tanggung jawab kepada Tuhanmu, keluargamu, juga anak-anakmu kelak disana. Pikirkan ke depannya dan bukan melulu karena cinta. Bahagiakah kamu jika kamu menikah tanpa restu? Cinta apa namanya jika ia menyakiti orang-orang yang menyayanginya," begitu seseorang berkata.Pffiuuh! Auk ah lap!
"……..Berpisah denganmu seperti mendaki gunung es yang terjal. Dan dirimu seperti pondok hangat di dasarnya. Aku takkan bisa mendaki, sebab pelita yang kau nyalakan selalu membuatku manja dan berbalik lagi. Padamkan pelita itu. Izinkan aku mendaki untuk mencari pelita lain. Jika kau benar-benar menyayangiku, lepaskan aku." ucap Uda untuk Rin.
Betapa indah kalimat itu tapi mampukah kita mengucapkan dengan gagah didepan orang yang kita cinta. Waduuh! Nggak ku-ku!
Ya, aku memang punya pendapat sendiri tentang perkawinan beda keyakinan tapi aku tak ingin mengucapkannya sembarangan. Mencari cara yang tepat untuk membahas masalah sesensitif itu tanpa terkesan menggurui dengan berbagai dalil yang kau sodorkan bukan perkara gampang. Bila tidak pas penyampaiannya bisa-bisa malah terjadi salah paham, menjurus kearah SARA dan berakhir dengan 'bacokan!' ….satu istilah kasar yang sering aku dan adikku gunakan untuk perkelahian tanpa ujung pangkal. Karena itu meski jauh dalam hati jujur aku harap dia temukan 'cahaya' lainnya, tapi aku ogah mendebatnya.
"Jangan hujat orang sembarangan lantas meninggalkannya begitu saja. Petik pelajarannya, ambil saja hikmahnya," begitu ustadz berkata mengingatkan kami, santri-santrinya menyikapi persoalan di sekitar kami. Teriring sebuah doa, aku harap dia baik-baik saja…..dan semoga dia tidak nyasar, lantas membaca tulisan ini(hiks! Bisa disikat bersih saya nanti).
Thanks to Ced, Cece, Ibu, dan sahabat baikku (hiks, how I miss u)
Dua Dara dan Pelangi, oleh Danayu, Chic 28 Sept-11 Okt 2005, hal 91-93
Jadi inget lagunya Lydya & Dian Pramana Poetra,..." Rintangan "
BalasHapusHmmm, akupun tak bisa komentar banyak tentang hal ini...
BalasHapusSemua kembali lagi kepada masing2 orang yang hendak menjalankannya...
aku 3 kali dalam posisi seperti ini.. pacaran beda agama dan berakhir karena perbedaan itu.. sakid sih tapi daripada sakid pas udah married?
BalasHapusbetoel non, lebi bae sakiet sekarang deripadah ntaran...
BalasHapuskoeaing!
Sedih memang jika menemui hal seperti ini, meski kita juga bukan siapa-siapa mereka. Tapi bagaimana jika itu terjadi pada orang-orang terdekat kita Mbak? Dan nyatanya, aku mengalaminya pada ibuku. :(
BalasHapusCuma bisa komentar ini mbak : cinta baru beberapa tahun jangan sampai mengalahkan cinta yg sudah puluhan tahun.
BalasHapuskalau tak sejiwa, suatu saat akan terpisah juga. jadi inget lidya kandau sama jamal mirdad
BalasHapus