PEJALAN JAUH PART 6

Photobucket



Selalu saja ia datang dan berkata ,” Mari bertaruh untuk memiliki Sang Pejalan Jauh.”
Dan selalu pula aku tak acuh. Membiarkannya berkelebatan bagai hantu di terik siang, tidak menakutkan hanya jeritnya memekakkan. Ah, menyebalkan. Apa yang kau mau kawan?
“ Mari bertaruh untuk memiliki Pejalan Jauh!”
Untuk apa? Biarkah aku mencinta dengan cara yang berbeda. Membiarkannya berliku dijalannya, tak hendak membelokkannya kearahku kecuali Allah menghendakinya.
“ Kau terlampau lemah, hai wanita!”
Terserah katamu, Kawan. Bagiku bertaruh bukan suatu kepentingan. Apalah artinya pertaruhan jika empat puluh hari saja ia bisa kau luluhkan, selebihnya itu cinta buyar menjadi kepingan. Tak bisa disatukan karena rasa memang tak bisa dipaksakan.
“ Kau penakut! Haha, kau tak berani bukan menerima kenyataan jika ia sang pujaan lebih memilihku ketimbang dirimu yang tak berani menyatakan perasaan.”
“ Bisa jadi kau benar. Jika cinta kau jadikan pertaruhan, apa yang tersisa di akhir kisah. Kesakitankah karena terlalu banyak pengorbanan tersiakan? Melantak di padang kesengsaraan tanpa seorang bisa mengulurkan tangan ketika kasih sudah disalut kepalsuan. Sekedar nafsu untuk bisa memekakkan kebanggaan-Pejalan Jauh sudah kutaklukkan! Kujerat ia dengan tubuh ranumku yang matang! Bibirku yang merah menantang pun elus lembut rayuku yang mengesankan!”
Jika mau jujur pernah suatu ketika aku hampir mengiyakan tantanganmu. Ingin tahu siapa yang akan jadi pemenang, tak peduli seberapa kotor caraku melakukan. Ingin kuacungkan di depan hidungmu yang bangir itu bila aku juga merampas hatinya yang kembara. Bahwa akulah yang juara!
Namun seleret kalimat bijak menyadarkan emosiku yang meninggi. “ Kemarahan adalah api yang menghanguskan, biarkan ia memadam dengan siraman air kebijakan,” bisik seseorang penuh kelembutan.
Kutoleh dan tak kulihat siapapun disana. Lalu seolah diseret memasuki cahaya aku menemukannya. Satu kisah mengharuskan tentang cinta. Cinta yang diuji untuk menemukan maknanya. Ketika tubuh sang kekasih telah kehilangan daya. Meringkuk bergelut dengan penyakit yang menggerogotinya.
Pria itu mengulurkan tangannya. Ia memandangku dengan tatapan bijak yang tak bisa kulukiskan. Mari sini, seolah itulah yang ia katakan lewat senyuman. Seorang perempuan manis duduk disebelahnya, tak bosan-bosannya mengurus keperluan suaminya. Meski kelelahan nampak jelas dimatanya. Andai saja ada kamera yang mampu menangkap aura kemesraan dan kehangatan yang terpancar di wajah keduanya, maulah aku membelinya. Dan kutunjukkan padamu betapa mengagumkan mereka yang tak putus asa meski acap dihampiri kabut coba.
Sang perempuan bercerita dengan tawa yang menyegarkan, bahwa sang suami pria yang hebat. Guru yang mengajarinya tegar bahkan ketika ia sendiri tengah kesakitan. Yang mengajarinya untuk bersyukur meskipun rasa sakit tak henti mendera, membuatnya terpasung diatas ranjang belaka, tetapi tidak jiwa dan pikirannya yang terus mengembara.
Satu hati bertanya ,” Andai saja aku adalah ia, mampukah aku terus mendampingi pujaan jiwa ketika ia kehilangan segalanya? Ketampanan, kemudaan, kekayaan, yang dulu dipuja banyak wanita? Masihkah kau mampu tegar melewati hari tanpa mengeluh dan justru mengucap syukur karena Allah telah memberikan ujian yang mengaduk-aduk batas sabarmu?”
Belum lagi pertanyaan terjawab. Tiba-tiba satu pintu lain terbuka. Menampakkan seorang pria yang tengah menyeka nanah yang keluar dari infeksi di kepala sang istri. Dengan telaten dan hati-hati ia membersihkannya tanpa banyak kata. Sejenak nanah tak lagi keluar. Tapi sepuluh menit kemudian, bahkan kurang, si nanah mengalir lagi dari luka di sisi kiri kepala sang istri. Sang suami mengelap nanah itu kembali dengan kapas ditangannya. Sama sekali tidak jijik ketika kapas ditangannya dipenuhi cairan kekuningan yang dipenuhi kuman.
Iigh! Bisa jadi itulah yang orang lain katakan melihat keadaan si istri. Membuang muka, dan berlari ke kamar mandi memuntahkan isi perut yang naik karenanya.
Aku terdiam. Meresapi dalam-dalam perwujudan cinta yang tersaji di depan mata. Subhanallah! Inilah cinta yang kuinginan, batinku ketika satu tawa membuyarkan angan. Kulihat sang pejalan jauh tengah bergandengan tangan, bukan dengan ia yang menantangku taruhan tapi dengan sosok lain yang tak kukenal. Menyedihkan, menggoreskan getir tapi bisa kutahan. Sang Penantang balik kanan tak kuat menyaksikan kenyataan.
CINTA, CINTA, CINTA…
Kubiarkan ia melarut dalam helai hujan, dan berbalik pada sang Akbar
Sepoi angin mengibaskan dedaunan, pelan-pelan ia bergoyang. Mengalun, mengikuti irama senja yang kian temaram. Pelan aku berjalan meninggalkan ia yang bersikukuh hendak bertaruh mencari cinta sang pejalan jauh, ditingkahi satu simfoni dan bait-bait puisi karya Indra Tjahyadi,
PENANTIAN
Kupilih kata-kata yang terbit
Dalam musim-musim duka
Untuk kupasung mesra
Diantara gaun-gaun indah
Sang waktu yang dungu
Lalu, aku pun semakin menunggu
Sekejap lain untuk datang padaku
Dan menyapa ,” masih ada cinta untukmu…”
Masih ada cinta untukku, batinku sendu. Ya, masih ada cinta untukmu, kali ini suara bijak dan dalam memasuki gendang telingaku. Tak kasat mata tapi bisa kurasakan betapa kebesarannya. Aku tahu siapa dia. Ia yang menungguku dan tak bosan mencintaiku. Sang Maha yang tak henti memberiku ruang meski seringkali aku enggan pulang. Sibuk menghujatnya dan lupa pada tiap jengkal kenikmatan yang ia sodorkan ketika aku terpuruk dalam kubangan kecewa. Bahkan Menolak untuk datang, tiap kali panggilannya datang. Dan justru asyik berenang dalam kolam kebahagian fana. Mengentengkan 114 emailnya yang datang, menganggapnya tak terlampau penting dengan penuh kesombongan.

A story, done May 28, 2009; 06.00
Inspired by Babe dan Bunda tercinta, Na, Mbak Tami dan Mas Pepeng ( The Thoughest Man On Earth)
Thanks to Murattal Syeikh Musya’ari Rasyid (Surah Ar-Rahman 1-78)

Komentar

Posting Komentar