Semua orang berkata Bundaku jelita. Dan aku hanya bisa menahan kesal tiap kali mereka berkata ,” Kamu tak secantik bundamu.”
Apa yang harus kulakukan untuk bisa secantik Bunda? Dan bagaimana ia bisa secantik itu? Tanyaku penasaran. Tapi aku tak juga menemukan jawaban hingga bertahun-tahun kemudian, saat masa kanak-kanak telah jadi kenangan dan masa dewasaku datang.
Pertama, untuk jadi secantik Bunda harus cerewet dan bisa mencubit sampai membekas. Bukan cerewet dan cubitan biasa yang hanya menimbulkan kebencian dan rasa sakit setelahnya. Tapi kecerewetan dan cubitan sayang yang disertai nasehat panjang lebar berisi kebaikan tiap kali kau melakukan kesalahan. Tak pernah bosan untuk mengulang meski balasannya gerutuan kesal yang berbunyi ,”Bunda jahat! Bunda jelek! Bunda nggak sayang aku!”
Kedua, kau juga harus bisa menjewer telinga sampai panas. Tentu saja tak sekedar jeweran yang memerahkan telinga, tapi ada ajaran penting yang ia tiupkan kedalamnya. Seperti kalimat-kalimat-Kau tak boleh malas, harus rajin belajar supaya pintar. Kalau kau pintar kaulah yang akan mengambil manfaatnya, bukan Bunda. Mungkin kau tak bisa merasakannya sekarang, tapi kelak saat kau dewasa kau akan mengetahuinya dan bla…bla…bla…”-yang tak pernah lekang diucapkan meski aku sering berkata ,” Duh, Bunda…kenapa sih berdengung terus seperti lebah mencari mangsa?”
Ketiga, jadi Bunda harus bisa menjalani profesi apa saja. Mulai dari perawat, dokter, koki terhebat, guru matematika, guru bahasa, penata gaya , dan berbagai profesi lainnya yang jika dikerjakan oleh seorang professional selangit harganya! Sementara Bundaku hanya meminta bayaran terima kasih atau senyuman dari anak-anaknya tersayang, yang jujur saja jarang kami ungkapkan.
Keempat, jadi Bunda juga harus bisa menjadi Psikolog kapanpun diperlukan. Mendengarkan keluhan klien-klien kecilnya yang menyebalkan, lalu memberi dorongan, agar mereka bisa tegak berjalan. Bahkan pelukan yang menenangkan di saat mereka membutuhkan. Padahal ia sering kali tak mendapatkan porsi yang sama di saat ia sendiri di tengah kegalauan.
Kelima, jadi Bunda berarti sekolah besar bagi anak-anaknya. Dimana ia meletakkan dasar-dasar pendidikan sebelum masa sekolah tiba dan ada guru-guru yang akan melanjutkan pendidikannya mereka. Bila saat itu tiba, ia akan berpindah dari posisi depan kelas ke samping anak-anaknya. Tak pernah lepas perhatian, selalu mengikuti perkembangan belajarnya, sambil terus mengajarkan pengetahuan yang ia ketahuinya meski sering dicemooh sebagai guru yang kaku dan terlalu kuno oleh anak-anaknya. “ Tak apa kau jika menurutmu demikian, tapi percayalah pelajaran dari orang yang menurut kalian kuno ini akan terpakai juga pada masanya,” bisik Bunda sembari menaikkan selimut anak-anaknya.
Keenam, jadi Bunda juga harus jago mengelola keuangan. Seolah penjaga gawang, bunda harus handal melakukan tugasnya agar tak kebobolan. Dipusingkan dengan setumpuk rekening yang harus dibayar dan berbagai kebutuhan ia harus bijak memutar otak, memastikan keuangan mereka akan aman dari awal bulan hingga penghabisan. Jika tidak, bisa-bisa pada tengah bulan kau hanya akan menemukan sambal dan kerupuk untukmu makan. Atau yang terburuk kau tak bisa bersekolah setinggi awan, sebab tak ada dana untuk membiayai pendidikanmu yang kian hari kian membesar.
Ketujuh, jadi Bunda ternyata harus tangguh. Kau pernah dengar bukan bila dulu Tuhan menciptakan kaum hawa dari tulang rusuk pria, tapi pada kenyataannya aku telah melihatnya bermetamorfosis menjadi tulang punggung yang menegakkan dengan tampil dan maju ke depan demi keluarganya yang tersayang. Bekerja membanting tulang, membantu ayah disaat beliau kesulitan.
Ke delapan, jadi Bunda juga harus selalu cantik. Meski pun tanpa polesan make up mahal serta perhiasan emas, intan dan berlian di badan. Lalu dengan apa? Dengan senyuman yang ia sunggingkan di tiap kesempatan. Senyuman yang bermakna aku mencintaimu pada satu waktu, aku mendukungmu di jam berikutnya, aku mengerti apa maksudmu di saat lainnya, atau aku turut bahagia saat kami berteriak gembira tatkala bisa meraih sesuatu dengan tangan kami sendiri.
Ke sembilan, jadi Bunda itu tak boleh cengeng. Seperti apapun kesedihannya, Bunda mengajari kami untuk kuat menghadapi pasang surut kehidupan di dunia. Saat bahagia ia menunjukkan pada kami untuk bersiaga, saat sedih ia mengajari kami untuk tertawa.
Ke sepuluh, jadi Bunda ternyata harus tahan dengan kerepotan. Sebab meski anak-anak sudah besar, dipandang bisa mandiri dalam mengarungi samudera kehidupan tak berarti Bunda bisa melepas mereka tanpa pengawasan. Ada saja hal-hal yang terjadi dan mereka harus pulang demi mendengar nasehat-nasehat berharganya agar bisa membaca peta kehidupan yang kadang tak mudah untuk diterjemahkan.
Sekarang aku tahu kenapa Bunda bisa sedemikian jelita. Gabungan antara kecantikan alami dan kebijakan itulah yang membuat kejelitaannya sulit kutandingi. Apalagi jika hanya berbekal make up, baju bagus pembungkus raga, atau bahkan gelar sarjana. Untuk bisa sepertinya, aku harus membuktikan diri dulu bertahun-tahun lamanya dengan sejumlah besar cinta dan pengorbanan untuk keluarga. Bisakah aku menirunya? Kurasa dengan tugas sebesar itu aku membutuhkan bantuannya.
Terima kasih Bunda. Kurasa masih banyak alasan yang bisa menggambarkan kenapa Bunda sangat jelita. Maafkan aku jika hanya menulis sepuluh diantaranya. Peluk cium dari kami semua, Afin, Wendy, Raka.
Untuk Bunda…
Komentar
Posting Komentar