KEA
Dua hari yang lalu….
Hari berhujan ketika aku datang ke Pengadilan Agama. Kulihat di depan ruang sidang Lea datang diantar oleh ayah dan adiknya, mengenakan baju hitam berenda kesayangannya. Kerudung hitam berenda ia sampirkan, sementara matanya ditutupi kacamata hitam lebar. Sekilas kami berpandangan, bibirnya membuka seolah hendak berkata tetapi aku justru memalingkan pandang kearah lantai warna terakota di bawah sepatuku.
Sejurus kemudian kami memasuki ruang sidang. Dengan segala bla-bla-bla dan kebosanan aku berharap sidang cepat diakhirkan. Lalu detik-detik menentukan pun datang. Ketukan palu Hakim terdengar, satu tanda bahwa aku dan Lea telah syah berpisah di tengah jalan, satu hal yang tak pernah kuimpikan sejak awal pernikahan.
Semua berawal di bulan keenam pernikahan kami sewaktu selentingan tengan perselingkuhannya mula kudengar. Rasa marah yang menggelegak akibat berita itu benar-benar menyiksa perasaan. Tetapi logika sehatku masih berjalan. Aku harus punya buktinya dulu sebelum menuduh seseorang melakukan kesalahan, sebab jika tidak berarti kau telah termakan omongan tak benar dan mempertaruhkan pernikahanku yang selama ini tenang. Entah bagaimana bukti itu datang dengan sendirinya tanpa aku harus bersusah-susah mematai-matainya. aku ingat hari itu aku pulang lebih cepat dari jadwal tugasku di Banyuwangi hanya untuk memberikan surprise di ulang tahunnya yang ke-26. Jam 12 tepat, saat orang-orang kantoran istirahat aku tiba di bank tempat istriku bekerja untuk menjemput dan mengajaknya makan siang. Sayang kata satpam Bu Lea sudah keluar lima menit sebelumnya.
Maka dengan sedikit kecewa akhirnya aku melesat ke kantor subdist Jember. Berbincang sebentar dengan Arika, adminku, tentang beberapa hal yang berkenaan dengan program serbu pasar yang minggu depan akan dilaksanakan. Dari sana aku lalu meluncur ke Mentari supermarket, setelah sebelumnya aku mengontak Risma, SPG-ku. Tepat saat itulah mataku menangkap sosok Lea bersama seorang pria di escalator menuju lantai dua. Melihat keduanya aku urungkan niatku menemui Risma dan justru mengikuti mereka. Di Food Court mereka berhenti. Kulihat dari mimik dan gayanya bicaranya kurasa istriku cukup akrab dengannya. Hai, kata itu hampir saja terlontar dari mulutku sebelum mataku menangkap pria itu meremas lembut tangan istriku. Tubuhku meremang, perasaanku tak karuan terlebih ketika istriku malah membiarkannya dan bukan menepiskan.
“ Hallo?” aku berusaha tetap tenang saat menelfon Lea, walau pun badai tengah bergolak di dada. “ Lagi istirahat, Cantik?”
“ Hallo? Eh, iya Mas.”
“ Makan siang dimana?”
Ia sebutkan satu tempat di dekat kantornya. Aku menggeleng pelan. Kau tak disana. Kau sedang di Food Court dengan seorang pria yang mengelus pipimu dengan mata penuh cinta, geramku. Malam itu setelah seharian berusaha menenangkan perasaan aku mengajak Lea ke restoran Terapung. Berbicara kesana kemari sambil menikmati hidangan lezat tanpa ia tahu kecamuk amarah di dalam. Ia terlihat gembira saat aku mengeluarkan cincin berlian yang ia idam-didamkan. Sampai di rumah percakapan menyenangkan itu terus berlangsung, sebelum akhirnya aku bertanya siapa pria yang kulihat bersamanya saat makan siang.
Wajah Lea memucat. Tapi sebentar kemudian ia telah menguasai keadaan. “ ah, Papa ini ada aja ngelindur. Aku tadi kan enggak kemana-mana. Cuma makan siang dekat kantor saja. Persis seperti yang kukatakan waktu tadi Papa telefon.”
“ Benarkah? Karena aku tadi di belakangmu waktu kamu makan siang di Food Court-nya Mentari Supermarket.”
Mendengar itu ia membeku. Tak bisa mengelak. Tak bisa berkata. Ia memohon maaf karena telah melakukannya. Ia berkata semua itu dilakukannya karena ia kesepian. Ia butuh teman, sedangkan aku lebih sibuk dengan pekerjaanku bahkan saat kami tengah berdua di rumah. Lalu pria itu datang, asyik diajak berbincang tentang apa saja dan pendengar yang baik pula. Tak seperti diriku yang terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Ia juga berkata hubungannya hanya sebatas bicara, tak berselingkuh secara seksual.
Sepanjang malam itu kami berpisah. Ia tidur di kamar utama dan aku di kamar satunya. Menghabiskan waktu mengutak-atik kerjaan yang sebenarnya tak perlu kukerjakan sekarang. Sepanjang malam itu aku merenung, apa yang semestinya kulakukan. Sambil menangis kuceritakan semua pada Tuhan segala kegundahan. Dan jawaban itu dikirimkan tuhan melalui artikel yang kubaca di salah satu situs yang kubaca selepas sholat malam. Maafkan dan lakukan perubahan! Perhatikan istrimu dan jadilah teman, jangan biarkan ia temukan orang lain sebagai tempatnya bersandar.
Maka sejak itu hubungan kami pun membaik. Tak seperti dulu aku jadi lebih sering menelfonnya, mengajak makan siang jika aku tengah pulang ke kota Jember. Mengajaknya jalan-jalan di akhir pekan dan sering memberinya surprise yang membuatnya terlonjak senang. Tak pernah kupikirkan lagi kesalahan yang ia lakukan, sampai suatu hari sesoerang menelfonnya di sabtu siang swaktu ia berbelanja ke warung sebelah dan akulah yang berada di rumah. Ia mengucapkan segala kata rindu dan cinta sebelum aku sebelum mengucap hallo padanya. Mendengar itu aku gemetar, aku oleng di sisi meja makan. Kututup tanda end untuk mengakhiri pembicaraan, lalu dengan sengaja menyusurin inbox di ponsel istriku untuk mengetahui sms-smsnya. Hatiku semakin saat mengetahui berpuluh-puluh dikirimkan dari nomer yang sama dengan segala gombal dan rayuannya.
Aku merasa bodoh sekali saat itu. Kenapa aku tidak bisa seperti Kris, Hendra atau Didon yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk bersenang-senang dengan banyak perempuan. Bukankah aku sendiri punya banyak kesempatan? Selama ini banyak sekali perempuan yang mengirimiku sinyal ketertarikan, bahkan mau saja kalau sekedar diajak ‘bobo-bobo siang’ tanpa kelanjutan. Lihat sekarang! Kesetianmu tak dihargai oleh istrimu yang telah bersumpah setia dan berjanji untuk tak mengulangi kesalahannya yang lalu.
Mengingatnya kebencianku pada Lea menaiki derajat tertinggi di kepala. Kali itu aku tak memberinya ampun. Ucapan maaf dan bahkan ajakan bercinta yang selama ini selalu bisa meredakan amarahku padanya tak kugubris. Keputusan berat kupaparkan, bahwa aku ingin berpisah saja sekarang. Lea terdiam dengan air mata yang menetes pelan. Sebulan kemudian setelah bolak-balik berpikir baik dan buruknya, akhirnya aku menyerahkan Lea kembali pada orang tuanya. Menyatakan bahwa aku tak sanggup lagi menjadi imam bagi putrinya setelah dua kali ia berselingkuh di belakangku. Mata ayah Lea nampak berkaca-kaca, terlihat marah tetapi tak bisa berbuat apa-apa.
Setelah itu aku melayangkan gugatan cerai. Di sidang pertama, yang isinya mediasi, Lea berkata tak ingin berpisah denganku. Ia masih cinta dan sayang padaku. Damn! Bisa-bisanya kau katakan itu! Seharusnya kau memikirkan itu sebelum menduakan hatimu dengan orang lain. Sidang berjalan tak semulus yang kukira, sebab Lea tak bergeming dengan keinginannya untuk tak berpisah denganku sementara aku sudah jelas ingin berpisah.
Dan sekarang inilah aku…Dua hari menjelang hari kasih sayang aku bukan lagi suami dari seseorang, aku kembali lajang. Dan ketukan palu tadi yang mensyahkan. Seharusnya aku senang, karena sidang perceraian yang menyedihkan telah berakhir sekarang. Tetapi kenapa rasanya tetap menyakitkan, remuk redam seperti dilindas truk jeruk yang lewat disebelahku barusan. Sialan! Umpatku tak tahan tepat ketika Kotak mengalunkan lagunya lewar radio mobilku,
Lepaskanlah ikatanmu dengan aku
Biar kamu senang
Bila berat melupakan aku
Pelan-pelan saja…
(Kotak: Pelan-Pelan Saja)
Inspired by the people said ,” selingkuh itu sial (an)!”
Thanks to : Kotak (Aku masih Cinta, Pelan-pelan saja)
pic : taken from http://thesiriusnetwork.org/
Komentar
Posting Komentar