Waktu memulai saya nggak ngerti apa-apa. Begitu kamera saku di dapat saya
bahkan nggak baca petunjuk manualnya.
Saya serahkan semua pada kepintaran si kamera. Biar dia sendiri yang
memilih scene apa yang baik saat saya menjepretkannya ke suatu benda. Tentu
dengan tambahan kilatan flash bawaan si kamera.
Setahu saya begitulah tukang foto bekerja. Prat-pret dengan flash menyala.
Kelihatannya gaya.
Tapi ternyata buruk hasilnya. Gambar jadi terlalu terang, over exposure
kata ahlinya (saya baru tahu istilah
tersebut baru-baru ini saja). Masalahnya ketika flash-nya saya matikan, gambar
jadi gelap. Lha terus gimana? *gigit-gigit kamera. Salah satunya contoh gambar over exposure
adalah gambar di bawah ini yang saya
ambil saat hujan deras.
Seorang teman bilang speed cahayanya cukup tinggi, keren. Satunya lagi nambahin flash-nya dimatikan saja.
Twing-twing! Saya bengong tralala. Gimana cara
ngulanginya? Saya kan asal jepret saja yak?
Ya sudahlah. Saya lupakan itu. Lalu satu hari tanpa sengaja dengan mode
intelligent auto saya mendekatkan kamera saya ke sebuah obyek. Kalau tidak
salah tetesan air. Saya terkejut karena hasilnya kok jelas? Titik-titiknya
terlihat. Lha itu tadi gimana caranya? Lagi-lagi saya tidak tahu, heheheh.
Baru setelah berulang-ulang saya paham bila ikon
bunga muncul, kita bisa melakukan makro fotografi (saya juga baru ngeh
akhir-akhir ini). Oalaaah...dung, dung pret! Jadi ini to yang bikin si
titik-titik air jadi jelas? Wah, giranglah saya. Saya mulai meraja lela dengan
pengetahuan tersebut. Rajutan, buku, buah, makanan, rumput, embun, semut, daun
jadi obyek foto makro saya. Selama itu bahwa penggunaan cahaya alami hasilnya
jauh lebih baik ketimbang menggunakan flash bawaan si kamera. Flash terlalu
terang. Gambar yang dihasilkan jadi tidak alami seperti yang saya inginkan.
Tapi sebaiknya hindari cahaya diatas jam 9 sampai jam 3, akan terlalu terang, bahkan
jika itu jatuhnya melalui jendela.
Karena saya memang tidak punya guru, saya baca
saja artikel-artikel dan e-book yang
bertebaran. Apakah saya paham? Nggak juga. Hahahah...istilah-istilahnya
memusingkan saya. Maka saya biarkan saja semua itu.
Dari membaca salah satu artikel hasil browsing
saya baru sadar kalau cara saya memegang kamera itu salah besar. Pantaslah
kalau hasil gambar saya goyang. Lha wong saya megang pakai satu tangan. Dengan
satu tangan, kamera takkan stabil. Untuk itu diperlukan bantuan tangan kiri
yang berfungsi sebagai tripod bila tangan kanan menekan shutter.
Ealaah dodolnya, hahahahaha...!
Meski begitu merubah kebiasaan itu memang
diperlukan latihan. Kebiasaan lawas memegang dengan satu tangan sulit
dihindarkan. Tapi semakin kesini saya semakin paham, kamera harus disangga
bukan dicengkeram. Seiring dengan itu
pula pengetahuan saya bertambah. Untuk memotret makro, dekatkan kamera seketat
mungkin dengan obyek. Obyeknya bisa apa
aja misalnya rumput, bunga, hewan, embun, koin, kue, makanan, dan sebagainya
asal jangan terlalu kecil ukurannya. Untuk semut atau kutu kamera saku nggak
mampu. Saya udah nyobain dan hasilnya bagus banget...blurnya maksudnya hihi.
Bila obyek goyang ex: motret bunga pas angin
nyamber, jangan dipaksa. Karena gambar akan blur alias kabur. Tunggu sampai
keadaan tenang barulah preeet!
Untuk memotret serangga sebagaiknya pahami jam
aktifnya, nokturnal (malam hari) contoh ngengat dan laron atau diurnal (siang
hari) contoh kupu, kumbang, lalat, belalang.
Karena keterbatasan sumber cahaya, saya nggak
pernah motret malam. Di saat siang pun saya juga nggak bisa sembarangan. Tahu
sendiri kan kamera poket punya
keterbatasan dalam menangkap obyek bergerak. Jadi saya pilih motret antara jam mulai 5.30-7.00 saat pagi, kalau sore di atas
jam 3.00. Kenapa? Karena saat itu serangga nokturnal tak terlalu banyak
bergerak, masih bisa diikuti dengan kamera poket. Kalaupun bergerak gak segesit
antara 8-3 sore. Jadi masih bisa diantisipasi dengan mengubah setting burst-nya
dari tunggal ke burst, sehingga bisa foto gambar secara kesinambungan. Ntar
tinggal pilih aja yang bagus.
Diatas jam itu berarti kita mencari keringat,
heheheh. Soalnya serangga sudah terlalu gesit dan gambar pun akan kabur. Kita
akan sibuk lari-larian buat ngejar si serangga. Tapi nggak pa-pa sih kalau
pengen nurunin berat badan (hahahah...piss, piss kawan).
Nah penggunaan metode memotret secara
kesinambungan atau burst juga saya lakukan untuk motret kucing. Tapi itu bukan
makro. Biasalah, untuk antisipasi blur.
Karena saya pengen belajar lebih lagi, saya pun
gabung dengan grup Kopdar Sidoarjo di fb. Waktu itu teman saya Dee yang mulai,
saya ikut setelah diceritain dia. Sekedar ingin tahu saja seperti apa sih karya
fotografer yang lebih kawakan. Mereka punya agenda rutin tiap bulan yaitu even
lomba dengan tema yang tiap bulan berbeda.
Saya juga ikutan. Ya tentu saja sesuai kemampuan. Memang nggak menang,
lha wong memang saya ikut buat ngasah mental. Hehehehe....
Ketika ada lomba food photography dan kids
photography di blogfam saya ikutan aja. Seperti di grup kopdar saya nekat
mengirimkan foto dan link blog lomba ke blogfam. Saya ikut dua-duanya tanpa
berpikir menang atau apa. Waktu foto saya dinyatakan sebagai juara 1
foodtography blogfam, saya senang luar biasa.
Tapi kemudian saya nyengir kuda. Lha sebenarnya saya juga nggak bisa
apa-apa. Kalau pun menang mungkin lucky saja. Hahahahaha, jadi kalau saya nepuk
dada rasanya nggak pantas juga.
Apalagi pas baca komentar jurinya, bahwa sebagian
besar peserta ternyata tidak memenuhi syarat lomba yaitu posisi foto yang harus
vertikal (kayaknya ini termasuk punya saya, xixixi) berhubung harus ada yang
juara maka juri berusaha mengambil keputusan.
Untuk foto diatas Mbak dan Mas Juri bilang
komposisinya agak menggantung, tapi tetap menarik bagi mata dan perut.
Saya mesam-mesem aja baca komen tersebut. Jujur
euy, saya emang nggak paham komposisi, POI, dan sebagainya itu. Ibarat saya
ironman versi 2025 (wakakakakakaka, belum produksi kan ya), saya menguasai
perangkat dengan nekat. Asal tekan tombol, tanpa tahu itu sebenarnya buat apa.
Trial and (so many) error lah kata nenek saya. Maka saya pikir bila juri
berkata demikian nggak salah. Bener malahan.
Tapi dari situ tuh saya jadi pengen belajar lebih
banyak lagi perkara komposisi dan POI. Saya mulai lagi tuh baca ebook-ebook dan
artikel simpenan, nyari tentang komposisi. Saya berusaha mempraktekkan, hanya
benar tidaknya saya nggak tahu.
Dari perjalanan belajar foto makro super dodol itu, saya belajar
bersabar. Tenang, menjaga tangan jangan sampai goyang. Karena sedikit saya
goyang gambar kabur. Bahkan bernapas pun bikin gambar goyang. Maka pas motret
makro sebisa mungkin napas ditahan.
Belum lagi, memotret dari berbagai angle itu ternyata cukup melelahkan. Meski
kameranya ringan, ternyata bisa bikin tangan pegal-pegal (maklum gak punya
tripod wekekekek). Nggak kebayang kalo pake kamera yang segede gaban itu.
Biasanya untuk motret makro saya lakukan berulang kali untuk obyek sama, hanya
sudut pengambilannya saja yang berbeda. Contohnya untuk gambar makanan diatas,
saya ngambil gambar dari sudut yang sejajar sampai 90 derajat. Sampai-sampai
perlu naik kursi segala, heheheh.
Oh iya nih, jangan selalu percaya LCD ya. Ceklah
dengan komputermu. Kadang yang kelihatannya oke di LCD, begitu dilihat di
komputer ternyata buruk.
Jangan lupa juga dengan bayangan. Sering saat
motret makro bayangan tangan atau menimpa benda. Usahakan entah gimana caranya
cari posisi yang bikin bayangan tangan nggak nimpa obyek foto kita.
Oh ya, terakhir cropping. Sering dalam foto latar
belakangnya mengganggu, jadi biar obyeknya aja yang nonjol perlu diberlakukan
cropping. Ya sesuai feeling saya aja. Soalnya
pemahaman komposisi saya emang perlu pembenahan *dilempar kamera.
Nah setelah cerita saya yang panjang lebar itu,
saya cuma mau bilang jangan dicontek deh cara saya belajar itu. Mending baca dulu
manualnya, akrab dengannya, jangan asal coba. Syukur-syukur ada gurunya jadi
nggak ngeraba-raba.
Dan jangan khawatir kalau kameramu cuma kamera
saku seiprit. Di luar sana banyak foto bagus hasil dari kamera poket.
Kata teman saya yang penting bukan apa kameranya,
tapi man behind the gun (meski lama-lama “gun” penting juga).
Lalu pertanyaan yang paling penting diatas semua
itu adalah apakah si dodol Afin sudah pinter? Belum jek, sampai tulisan ini
diturunkan saya tetap nggak ngerti-ngerti. Kemampuan saya yah gitu-gitu aja,
hasil jepretannya pun yaaah…masuk kategori gambar “gitu-gitu” juga. Hihihihi.
Baaa....Owe si Cute Owl, atas nama yang punya blog ngucapin sampai jumpa di cerita dodol lainnya
Astaga dodol sekali dirimu mbak ya qiqiqi *kabur*
BalasHapusKayak yang nggak dodol aja ya. Sama koq, saya juga dodol *balik lagi, merangkul mbak Afin, sesama dodol women*
foto makro nya bagus mbak, saya dulu juga malas sekali baca petunjuk, tapi setelah mengetahui pentingnya membaca petunjuk penggunaan, akhirnya saya tetap malas membacanya.... :p
BalasHapusmba Afiii, kamu ga sendiri kok :D.. Aku jg masih dodol bgt motretnyaa... sampe2 sebulan alu aku beli kamera slr, dan ga ngerti tombol2 ini utk apa aja ;p... tpksalah aku ambil kursus sehari demi tau kamera ini gunanya apa aja ;p
BalasHapusmemang hrs bnyk latihan sih ya... cuma ya itu, waktunya weekend, aku malah leyeh2 doang di rumah...