Belum bisa membaca dan menulis waktu orang tuaku mengenalkan Jaya Baya. Aku tidak mengerti apa isinya, pokoknya seru saja melihat gambarnya. Saat aku mulai lancar membaca majalah berbahasa Jawa itu menjadi salah satu favoritku. Aku akan berebutan dengan orang tuaku untuk membacanya. Aku kadang kesal kalau keduluan. Berarti akan lebih lama bagiku untuk bisa membaca rubrik kesukaanku, Taman Putra. Isinya cerita kanak-kanak.
Kadang karena tidak sabar aku jadi mengganggu mereka, bertanya bolak-balik kapan selesai bacanya. Tentu saja orang tuaku jadi kesal, karena keributan yang kulakukan. Hahaha, lucu ya. Tapi begitulah aku, jika sudah menyangkut bacaan selalu egois. Aku jadi yang paling duluan membacanya.
Berawal dari membaca aku jadi bercita-cita ingin menulis cerita juga. Aku mencobanya. Tapi setiap kali mencoba, aku menghapusnya. Jelek banget kata-katanya. Siapa juga yang mau membaca? Pikirku.
Lalu masa kanak-kanak berganti begitu cepat. Aku menjadi remaja, yang lebih sibuk dengan teman-temannya. Les ini, les itu. Ribut belajar untuk mengejar nilaiku. Aku bukan anak yang terlalu pintar, tetapi dikatakan bodoh juga tidak. Sudah pernah mencicipi posisi dua puluh besar sampai lima besar. Tetapi aku pembosan, jika tidak senang satu pelajaran punya kecenderungan mengabaikan. Mau tahu apa yang kulakukan saat itu. Tentu saja membaca. Sesekali memperhatikan guru bicara, dan menunduk dengan setia. Seolah mencatat, padahal yang kulakukan adalah membolak-balik halaman.
Di masa itu impian untuk melihat tulisanku nampang di Jaya Baya terlupakan. Sampai aku lulus kuliah pun impian itu terkubur dalam. Tetapi semangat itu muncul kembali setelah aku terperosok ke dunia tulis-menulis beberapa tahun silam, tepatnya setelah ketemu teman-teman dunia maya yang keranjingan nulis tahun 2009.
Setelah berpengalaman kalah di berbagai lomba nulis (hahaha, bangga banget aku nulisnya ya) aku memberanikan diri menulis cerita ke Jaya Baya. Mula-mula cerpen anak. Mantan guruku SMA, Pak Armanoe-lah yang mengedit awalnya. Memberi masukan dan sebagainya. Cerita itu dimuat dan aku bangga. Cerita kanak-kanak kedua nggak ada balasan. Justru cerkak aka cerita cekak (red. cerita pendek) yang lebih sering lolos disana. Ini justru diluar dugaanku. Sebab aku merasa tidak pintar menulis cerita semacam itu.
Moral cerita ini sederhana. Impian itu kadang lama sekali terwujudnya. Sampai kau sendiri sudah melupakannya. Jadi kenapa berhenti memimpikannya. You do what you have to do! Pasang mimpimu, mumpung mimpi tidak bayar.
Kamu nggak akan tahu kapan terjadinya. Tapi tetap kibarkan saja. Mungkin proses panjang penantian itu cara Tuhan untuk membuatmu bersabar (dan kenyataannya orang-orang macam saya ini susah sekali bersabar). Belajar banyak-banyak sebelum akhirnya kesempatan datang.
Yang paling berat dalam meraih mimpi memang bagian bersabar. Sabar untuk usaha, meski bolak-balik gagal. Sabar meski mendapati kenyataan bahwa impianmu belum terwujud sementara uang sudah banyak kau habiskan. Sabar meski dicemooh orang, dibilang muluk-muluk atau kurang kerjaan. Sabar untuk nggak ngeluh (dimanapun, di twitter, di facebook, dimanapun) meski kamu merasa sakit saat mewujudkan impian.
Pokoknya S-E-M-A-N-G-A-T kawan!
Hebat maks.. Semoga kita semua lebih sabar menggapai mimpi-mimpi yg belum terwujud.. Salam kenal :)
BalasHapusHaha iya mbak helma, salam kenal juga. Makasih udah mampir ya
BalasHapus