Kejadiannya sudah lama, mungkin 2
atau tiga hari raya silam. Hari itu saya dan teman saya merasa bosan, jadi kami
pergi jalan-jalan hingga ke pelosok desa untuk melihat sawah dan pohon-pohon
yang menghijau segar. Ya saya dan teman saya memang punya hobi sama, suka
sekali melihat sawah dan segala sesuatu yang hijau warnanya ketimbang nongkrong
di mall, netesin liur melihat barang-barang yang mahil.
Dan sepertinya sudah bisa ditebak
bagaimana akhir cerita. Kami akan mengagumi keindahan desa yang kami lewati,
lalu pulang dengan senang hati. Dan kisah saya pun berakhir disini.
Ups, wait! Tunggu...tunggu!
Kisahnya ternyata tidak berakhir
sedatar itu ketika tiba-tiba teman saya meminta saya untuk menepi dan berbalik
menuju warung yang kami lewati. Teman saya merasa melihat seseorang yang pernah
tinggal dekat rumahnya. Benar saja, perempuang yang dilihatnya di warung rujak
itu adalah mantan tetangganya.
Layaknya orang yang sudah kenal
maka mereka pun ngobrol ngalor ngidul mengenang berbagai hal lama, sementara
saya lebih banyak diam memperhatikan keduanya. Tak hanya itu kami juga ditawari
makan rujak bareng dia. Teman saya menolaknya, tapi karena tak enak hati
mendengar si mbak yang terus memaksa akhirnya diterima juga. Saya sendiri tak
ikut memakannya, saya puasa hari itu jadi hanya teman saya saja yang
menikmatinya. Hanya saja ada yang aneh selama kami ada di warung itu. Selama
kami disana, orang-orang menatap kami dengan tatapan aneh, seolah-olah kami
adalah alien kesasar saja. Saya tidak tahu apa maksudnya, yang jelas tatapan
itu membuat saya tidak nyaman. Namun saya menepiskannya, saya pikir mungkin
karena kami memang asing bagi mereka. Jadi kalau mereka menatap semacam itu
nggak aneh juga. Tapi sampai acara makan rujak selesai perasaan tidak nyaman
saya tak kunjung henti. Tak tahu kenapa.
Selesai makan rujak si mbak
menyuruh kami mampir ke rumahnya yang tak jauh dari warung tersebut. Karena
masih hari raya, jadi kami berpikir apa salahnya mampi sejenak ke rumahnya—silaturahmi
dengan ia dan keluarganya. Seperti di warung tadi, kami ngobrol kembali. Lebih
tepatnya teman saya dan si mbak yang ngobrol, karena saya lebih banyak jadi
pendengar. Maklum saya ndak “ngeh” apa yang mereka bincangkan. Mana kenal saya
dengan Pak Anu, Bulik Anu, Bu Anu, dan orang –orang lain yang mereka sebut
sepanjang percakapan mereka. Sekitar setengah jam kemudian saya dan teman saya
pamitan.
Nah, dalam perjalanan pulang
itulah tiba-tiba teman saya menyerukan sesuatu. Intinya ia menyesal telah menerima
makanan dari mbak itu.
“Emang kenapa?” Saya keheranan.
“Yaelah, Fin. Aku tuh lupa, si
mbak itu pelacur di daerah X. Dia kerja gituan sejak ditinggalkan pergi
suaminya bertahun-tahun silam.”
“Hah, yang bener dia pelacur? Tapi dandanannya
biasa aja. Nggak kayak bayanganku. Itu tuh yang seksi, pakai rok mini, dadanya
meluap kemana-mana...”
“He-eh, beneran.”
Deg! Saya jadi teringat tatapan
orang-orang di warung tadi. Apa jangan-jangan mereka mengira kami juga dari
“jenis” yang sama. Ha siapa tahu sih ya? Hari gini loh ya...jilbab tak bisa
jadi ukuran kebaikan akhlak seseorang, teman. Cara mereka menatap seolah kami...(krik,
krik, krik...hening). Ketika saya
utarakan cerita itu pada teman saya, dia melongo saja.
“Masa sih tadi mereka lihat kita
seperti itu?” tanyanya tak percaya
“Iya, kamu kan sibuk ngobrol sama
mbak itu. Jadi nggak perhatian sama lainnya.”
“Wah, jangan-jangan mereka kira
kita ‘temannya’? Wahaha, ngerii...”
“Itu juga sih yang kupikirkan.
Ah, tapi sudahlah. Nggak usah dipikirin. Siapa tahu aku aja yang terlalu
sensi.”
“Iya ya...Ah, tapi aku masih
nyesel soal makanannya. Tahu kan kalau nerima makanan dari pelacur itu hukumnya
haram? Ck, bodohnya aku! Kenapa baru ingat sekarang?”
“Ah, kamu tuh! Berbaik sangka
sajalah, kali dari sekian banyak harta haramnya ada sepercik harta halalnya.
Siapa tahu sepercik harta itu yang tadi kau makan?”
“Tapi, Fin...setahu aku, kalau
kerjanya kayak gitu siapapun yang nerima makanan, harta, atau apapun darinya
itu haram.”
“Tapi, Na...bla...bla...bla...”
Percakapan kami jadi panjang kali
lebar. Kami jadi sedikit berbeda
pendapat perkara masalah barusan. Saya
kekeuh tentang berbaik sangka, teman saya kekeuh mengharamkannya. Dari hasil bertanya
dari guru saya dan google memang menyatakan bahwa hukum uang yang dihasilkan
dari pelacuran itu haram. Karena didapatkan dari perzinahan yang jelas
merupakan dosa besar. Konsekuensinya jika kita bertransaksi dengannya baik
berupa jual beli, hutang piutang, pemberian, hibah, hadiah atau yang lainnya
adalah haram. Lha padahal rujak cingur dari si mbak tadi tergolong hadiah, kan?
Jadi hukumnya termasuk haram.
Tapi bagaimana jika apa yang saya
katakan benar. Bahwa dalam setitik hartanya ada yang halal? Ada ulama
menyatakan bila dalam harta tercampur
harta halam dan haram, maka hukumnya haram. Ada juga yang menyatakan kalau hartanya
haramnya lebih banyak dan halalnya lebih sedikit maka haramlah hartanya. Ada
pula yang menyatakan bila harta haramnya lebih dari 1/3, maka haram-lah hartanya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana
dengan harta saya ya? Oke saya memang bukan pelacur atau menjual diri seperti
mbak itu tadi, tapi apa iya semua sudah halal? Jangan-jangan saya pernah makan
atau menerima hadiah hasil korupsi seseorang. Jangan-jangan saya pernah curang
dalam bekerja, meski sebenarnya itu dilakukan atas perintah bos saya.
Jangan-jangan....
Beragam deretan pertanyaan yang
diawali jangan-jangan itu gemelontang di kepala saya. Pada akhirnya saya
berpikir terkadang bahkan kita sendiri tidak sadar halal-haramnya harta kita.
Sebenarnya bukan tidak sadar, sadar...tapi kita kerap menyangkal. Apalagi
dimasa sekarang, dimana mencari harta haram saja sulitnya bukan buatan. Ngapain
mikir segitu dalam, apakah halal atau haram harta yang kita makan.
Bagaimana dengan kalian?
kalo ada harta kita yg haram sedikit2 bisakah dibersihkan dengan sedekah?
BalasHapusnasib"
BalasHapusInsya Allah tidak haram, Mba, bahkan Rasulullah menerima makanan dari orang Yahudi.
BalasHapusBismillah gak apa2 ya
BalasHapusalhamdulillah masih banyak orang yg ingin mencari yg halal
BalasHapus