Aku yakin masih lebih banyak ibu yang
hebat di dunia ini ketimbang ibuku. Tetapi
ibu-ibu paling hebat itu bukan ibuku. Kukatakan padamu, ibuku wanita biasa, terlahir dari keluarga kelas pekerja. Ia-lah yang
meletakkan seluruh dasar-dasar dalam hidupku sejak aku lahir dan kemudian
beranjak menjadi besar setiap tahunnya.
Semua dimulai di hari ketika aku
dilahirkan di bulan Juli bertahun-tahun lalu.
Kata ibuku aku lahir menjelang pagi, tentu setelah berjam-jam membuat
ibuku sakit karena aku terus mendesak untuk menghirup udara bebas setelah
sembilan bulan sepuluh hari aku berada di perutnya.
Seperti ibu-ibu lain, ibuku mengalami
masa-masa sulit menjadi ibu baru. Tak punya pengalaman, kesulitan menyusui di
awal, kurang tidur malam, dan masih ditambah lagi dengan kenyataan bahwa esok
pagi ada rutinitas yang menunggu untuk dilaksanakan. Apalagi jika bukan bekerja
sebagai sukwan di sebuah rumas sakit di daerah tempatku tinggal.
Ibuku tak pernah lalai mengurusku dalam
hari-hari sibuknya. Pernah terbersit olehnya untuk keluar saja dari pekerjaan
itu. Selain gajinya sangat kecil, aku juga masih terlalu kecil untuk ditinggal.
Tapi Ayahku melarangnya, bukan karena apa-apa. Secara finansial Ayahku di masa
itu sedang berjaya. Sebagai penjahit ayahku tergolong yang laris di jamannya. Kalaupun
ibu tidak bekerja takkan jadi beban baginya. Namun Ayah tahu Ibu membutuhkan
ruang untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Menjadi bangga bisa menunjukkan
kemampuannya, seorang anak tukang delman yang dianggap orang tak mungkin
menjadi sesuatu selepas masa sekolahnya.
Dan pada akhirnya Ibu tak melepaskan
pekerjaan itu. Diantara kerepotannya menjadi ibu dan pekerja, ia berada di
dalam asuhannya. Ia mengajari mengucap kata pertama, ia mengajariku bernyanyi
dalam suara sumbangnya. Ia memberikan aku buku untuk pertama kalinya. Buku yang
hanya kucoret-coreti karena aku belum mampu membaca. Tapi justru karena itu
tanpa sadar ia telah menegakkan sesuatu di dalam diriku—kegemaran membaca apapun
bukunya.
Ibuku pula yang mengajariku tentang arti
sebuah usaha. Dari usia kanak-kanak aku sudah tahu kalau aku ingin sesuatu aku
harus berusaha dulu. Aku ingat waktu aku duduk di TK, demi sebuah boneka yang
bisa menangis aku harus menabung hingga beberapa waktu. Ketika uang terkumpul
jumlahnya tidak mencukupi. Kalau pun dipaksa pasti aku hanya mendapat setengah
boneka. Dan ibulah yang menyokong kekurangannya hingga akhirnya boneka itu ada
di tanganku jua.
Ibuku yang mengajari aku bagaimana berlaku
bijak dengan uang. Sejak kecil kami—aku dan adik-adikku—tak dibiasakan jajan
atau makan di luar. Meski ada uang jajan
pun jauh sekali dari anak-anak kebanyakan. Saat anak lain sudah lima ribu, kami
masih seribu rupiah.
“Ibu bisa saja memberi kalian masing-masing
lima ribu seorang (jaman itu uang lima ribu sungguh nominal yang banyak!),”
katanya ,”Tetapi apakah kalian tahu betapa berarti tambahan uang sebanyak 4
ribu bagi kita?”
Ibu lalu menjelaskan pada kami secara
gamblang bagaimana uang Rp 4000,00 dikali 3 itu jika dibelanjakan sudah jadi
masakan yang bisa dinikmati orang satu rumah. Seandainya ditabung uang sebanyak
itu bisa menjamin pendidikan kami di masa depan. Kami bisa sekolah sampai
sarjana, melebihi pendidikan orang tua kami berdua.
Dan memang itulah yang ibu lakukan. Ibu
menyimpan uang-uang itu untuk pendidikan kami, bukan semata pelit seperti yang
pernah seorang saudara kami katakan.
Ibu pula yang setiap hari membisikkan
betapa pentingnya pendidikan. Mungkin ilmu tidak akan membuat kami kaya, tetapi
jelas memperluas cakrawala kami. Karenanya saat orang lain memilih membeli
mobil dan perhiasan dengan uangnya, ibu lebih senang berinvestasi bagi
pendidikan anak-anaknya. Tak jarang orang-orang bertanya bagaimana keluarga sederhana
seperti kami bisa mengantarkan anak-anaknya lulus perguruan tinggi. Apa
resepnya? Ibu tidak punya resep apa-apa, selain tekad kuat untuk menyekolahkan
kami bertiga.
Ibu juga yang mengajari kami untuk
bangga pada apa yang kami punya. Tidak perlu iri melihat apa yang dipunyai
orang lain, rasa iri hanya akan mendorong kami gelap mata. Saat orang gelap
mata kejahatan jadi halal adanya. Pertama kau mulai berhutang untuk bisa
memiliki barang yang kau inginkan, jika hutang sudah menumpuk kau mulai menipu
orang lain dan berkelit menghindar. Jika hal itu sudah tidak bisa dilakukan
lagi kemungkinannya hanya satu, kau mungkin terpikir untuk melakukan
pembunuhan. Bila begitu tak ada jalan lain selain hotel prodeo bukan?
Dan untuk semua hal hebat yang
ditanamkan pada kami itu Ibu tak pernah menyebutnya. Dari samudra hatinya ia
tak pernah meminta sanjung dan puja. Ia bersikap biasa, sebiasa pergantian
musim dari panas ke hujan atau sebaliknya.
Nah, begitulah “Sekelumit Kisah Tentang Wanita Yang Kupanggil Ibu”, kawan. Orang yang paling berjasa
dalam hidup selain ayahku. Bagaimana dengan ibumu? Aku yakin jasanya takkan
ternilai bagimu. Bukan begitu, kawanku?
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
Sahabat tercinta,
BalasHapusSaya mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah mengikuti Kontes Unggulan Hati Ibu Seluas Samudera di BlogCamp. Setelah membaca artikel peserta saya bermaksud menerbitkan seluruh artikel peserta menjadi buku.
Untuk melengkapi naskah buku tersebut saya mohon bantuan sahabat untuk mengirimkan profil Anda dalam bentuk narasi satu paragraf saja. Profil dapat dikirim melalui inbox di Facebook saya atau via email.
Jangan lupa cek email ya, ada berita penting
Terima kasih.
Saya ingin copy artikel dan foto tidak bisa. Tolong dikirim ke email saya ya Nduk. Terima kasih
BalasHapusSampun Pakdhe, langsung kirim
HapusWah orang lain sudah menyusun Esai, bagus pula esainya
BalasHapusJadi minder buat bikin
Ah tapi, saya ingin belajar......
Hihi Kang Dana, hayuk atuh bikin. Jangan belajar lagi, aih orang hebat pasti merendah begini
Hapusguru pertama kita adalah ibu
BalasHapusBetul Mas Bay, memang Ibu adalah guru pertama sebelum guru lainnya hadir
Hapus