Beberapa waktu lalu saya menerima sebuah inbox dari
teman, ia meminta saya memberikan masukan untuk calon novel temannya. Sebenarnya
saya merasa tidak nyaman dimintai tolong demikian. Siapalah saya? Hanya Afin
Yulia, bukan siapa-siapa. Sekedar tukang menggambar pulau di atas bantal
*ngeeek.
Tapi apa salahnya mencoba? Siapa tahu saya bisa membantu
sahabat teman saya. Maka saya membacanya dan mengernyitkan kening karena merasa tak ada yang istimewa dari prolog hingga akhir
bab pertama.
Oke deh, sekarang giliran menulis masukannya. Apa yang
harusnya saya lakukan? Menilik keterangan diatas seharusnya mudah bukan menulis
masukan? Tinggal serang dan babat habis kelemahannya. Tetapi di detik itu saya
justru tidak bisa.
Saya teringat Dale Carnegie pernah bilang, efek sebuah
kalimat itu luar biasa. Ia bisa mengubah seseorang yang terlihat tak punya
potensi menjadi orang hebat lewat kalimat yang tepat. Masalahnya saya
tak tahu
caranya. Terus terang, saya lebih pandai menuliskan kalimat bernada cela dan
sombong ketika diminta memberi masukan pada seseorang.
Lalu bagaimana cara
jitu memberi masukan itu, kawan? Saya terpaksa ngubek-ubek banyak tulisan
untuk mendapat nasehat dibawah ini :
1. Pakailah bahasa sederhana, jangan bahasa dewa
Beberapa orang gemar sekali menggunakan bahasa yang sulit
dicerna, istilahnya rumit dan tidak biasa. Rasanya bangga kalau bisa membuat
orang yang dikomentarinya mengerutkan kening. Masalahnya dengan cara ini bisa-bisa
yang dikritik gagal paham.
Lha terus apa manfaatnya pakai bahasa dewa? Tak ada kan.
Maka itu pakailah bahasa sederhana, bahasa yang membumi,
biar orang-orang yang ber IP-3 seperti saya (tiga dibelakang koma maksudnya)
nyantol.
Lucu, boleh saja. Justru ini bikin yang diberi masukan
tidak merasa sakit hati.
2.
To the point
Tunjek poin alias langsung pada pokoknya lebih baik
ketimbang penjelasan panjang kali lebar kali tinggi tapi intinya nggak ada.
Mbleber kemana-mana. *capeek deh.
Tapi ada juga yang ngeselin, sekalinya to the point eh masukannya sekalimat doang. Misal bilang ‘karyamu sampah!’
tanpa penjelasan apapun yang memadai.
Haih, memangnya yang dikasih masukan semacam cenayang?
Bisa menebak sendiri alasan sebuah pernyataan seuprit begitu?
3. Tidak menggurui
Menggurui, ini penyakit berikutnya yang seringkali tidak
sadar kita lakukan. Merasa paling benar, paling yahud, paling berpengalaman.
Senang sekali memberi penjelasan sok pintar yang intinya adalah pamer “Ini lho
guweeeh yang udah banyak makan asam garam”. Eng ing engg....padahal meski sudah
banyak makan asam garam bisa ajah toh sebenarnya dia nggak pernah mempelajari
apapun selain asam rasanya kecut dan garam rasanya asin.
Jika sudah begini, apakah masukan anda berarti? Enggak.
Kalaupun kita adalah Rocket Scientist rasanya yang harus
kita lakukan adalah memberi masukan sesuai konteks tanpa perlu berlebihan.
4.
Ada adabnya
Dikritik (bahasa halusnya masukan) itu paling nggak enak.
Sehalusnya kritikan tetap menyakitkan. Memang ada yang bilang kalau nggak tahan
kritikan maka kamu takkan jadi orang. Yah, ya anda benar. Seratus! Tetapi
menyampaikan kritiik juga tak boleh sembarangan. Kritik berpotensi mematikan
atau menumbuhkan. So, berhati-hati dalam memilih kata-kata. Argumentasi tajam
dan menyudutkan mungkin membuat anda senang, merasa diatas angin dan
menunjukkan betapa anda pintar plus benar.
Tapi benarkah itu memberi kebaikan?
Percayalah jika itu yang anda lakukan, anda hanya akan
menambah musuh ketimbang dapat teman. Bukan tidak mungkin kan ada yang
kepikiran :
Pertama, anda dijual
di e-bay dengan harga obral
Atau
Kedua, anda
dicelupkan dalam tepung berbumbu, digoreng, lantas dijual
*Ups!
Lantas
bagaimana nasib masukan dari saya untuk calon novel itu? Sepertinya saya masih
gagal menulis dengan bahasa sederhana, to the point, beradab, dan tidak
menggurui. Sekalinya to the point, saya lupa mengerem kata-kata. Sekalinya
sederhana, jadinya malah mirip petunjuk praktis cara membunuh lalat. Sekalinya
beradab, saya pakai bahasa sopan tapi sulit dimengerti. Sekali tidak menggurui,
kenapa saya justru berkata mengawali dengan ,”Menurut pengalaman saya selama
menulis bla, bla, blaa....”
Ah,
pada akhirnya saya bolak-balik harus menghapus dan mereka ulang masukan pada
sahabat teman saya itu. Pada waktu selesai menulis, saya minta maaf karena masukan
rasanya ajrut-ajrutan.
Pelajaran
moral peristiwa ini, kawan : MEMBERI MASUKAN ITU LEBIH RUMIT DARIPADA MENGHITUNG
UANG HASIL SANGU HARI RAYA!
Pada
akhirnya saya sadar, perlu bagi kita mempelajari “Seni Memberi Masukan”. Bukan supaya kita jadi pintar mengkritisi
orang, melainkan supaya sadar kita sudah pantas memberi masukan belum ya?
Hehe. Emang susah ya, mba. Harus tau dulu karaktet orangnya dulu lalu disesuaikan dengan kritiknya. Mungkin lebih baik dan terasa hangat kayak teman ngobrol aja.
BalasHapusSetuju Neng, tanpa tau karakternya bisa-bisa salah paham. Yang maksudnya baik jadi malah diterima sebabagai penghinaan. Weih, dirimu satu-satunya yang bisa komen sebelum template aye betulkan! Wahaha tenkyuuuu....akhirnya bisa komen kembali euy
HapusKalau saya juga lihat2 gendernya apa. Kalau perempuan mungkin kita perlu belok2 basa basi dulu. Sehalus mgk..drpd mlh salah tangkep. Ga sampai tujuan.
BalasHapussalam
Ah, iya Mbak Fee. Lihat gender perlu juga. Cara memberi masukan cowok sama cewek eman beda :)
HapusSetuju! IMHO, ini penting apalagi kalo kritik/komennya lewat tulisan. Harus hati-hati banget memilih kata dan tanda baca krn buntut-buntutnya kalimat yang tertulis tergantung dari cara orang yang membacanya. Kalimat yang tidak tepat bisa jadi menghasilkan interpretasi yang berbeda.
BalasHapusBener banget mbak Vita Masli, tulisan yang kita buat dengan mesam-mesem ketika dibaca si penerima bisa beda. Interpretasi dan sifat perasa seseorang ngaruh disini
HapusUntungnya yang minta masukan ke gue cowok semua hahha langsung jebrat jebret dan anehnya mereka malah jadi langganan. Soalnya cewek ribet, apa-apa pake hati. Dibilang ga bagus, sebel karena katanya kl mau blg jelek blg aja. pas gue blg jelek, dikata nyakitin. Susah bener dah. Hahahaha
BalasHapusHah, itulah dia. Memang agak susah soal masukan ini. Kadang kita kudu lihat orangnya juga ya jeng. Fuuh apalagi sesama cewek *ngeek
HapusAku pernah juga ditawari baca naskah. So far sih bagus ceritanya. Sayang kurang konfliknya. Senangnya malah dapat hadiah pulsa lumayan hihiii
BalasHapusWahahaha, asik dong Mbah Hidayah. Itu namanya rejeki ya
HapusHehe iya, Mbak. Tapi semuanya tergantung banyakk faktor; siapa yang minta masukan, apa yang ditanya, apa kita menguasainya, mood kita lagi gimana, dst. Hehe
BalasHapusBener Mak Dee, memang mood, penguasaan materi, dan pengetahuan soal siapa yang nanya itu penting. Supaya nggak sesat di jalan eh kasih masukan
HapusSeringkali kita yang sering menasehati dikatai menggurui, wahai anak muda. Susah menasehati mereka :(
BalasHapusuhuuk, itu dia. Kalau itu yang terjadi mungkin besok kita kudu pikir-pikir lagi deh kalau diminta memberi masukan
Hapussetuju, Mbak. Dan, sebelnya lagi suka ada yang gak bisa membedakan antara memberi mauskan dan menghakimi
BalasHapus