Lukman Sardi
pindah agama.
Saya membaca
berita itu lewat sebuah portal berita. Tidak hanya membaca berita tersebut tapi
juga komen-komen mengenainya.
PEUDEUS ALIAS
PEDES!
Begitulah
kebanyakan isi komennya. Bahkan saling berbantahan antar satu dengan lainnya.
Saya menutupnya.
Saya tidak mau
ikutan komen juga. Karena saya tahu kapasitas saya. Komen pun tidak ada
gunanya? Buat apa? Yang ada justru berbantahan tidak jelas di dunia maya.
Sebaliknya saya
bertanya balik ke diri sendiri “Perlukah
Menghujat Lukman Sardi?” sambil ngaca.
Jawabannya :
PERLU!
Perlu menghujat
Lukman Sardi jika :
a.
Sampeyan
ingin memanasi hati sampeyan sendiri, bikin sampean mengeluarkan kata-kata
buruk untuk orang yang bahkan tidak sampeyan kenal
c.
Sampeyan
ingin menambah dosa, dengan nyampah di facebook atau twitter anda
d.
Sampeyan
merasa mendapat perasaan penting dengan menghujatnya (catet perasaaan penting
dengan menghujatnya!)
Tapi sebelum itu
sampeyan lakukan, mari bertanya kepada diri sendiri banyak-banyak :
1.
Apakah
sampeyan itu sama dengan Afin Yulia, pemilik blog ini, yang ngajinya hanya
Alif, Ba, Ta, Tsa...
2.
Apakah
sampeyan sama dengan Afin Yulia, yang masih gemar meninggalkan sholat dan bukan
menyegerakannya?
3.
Apakah
sampeyan sama dengan Afin Yulia, yang menelan sebuah berita begitu saja dan enggan
berkaca
4.
Apakah
sampeyan sama dengan Afin Yulia, yang lebih peduli pada diri sendiri ketimbang
orang lain yang susah di luar sana
5.
Apakah
sampeyan sama dengan Afin Yulia, yang lebih pandai mencela ketimbang memahami
maksud Allah menunjukkan satu hal di depan mata contohnya kasus Lukman Sardi
6.
Bla,
bla, bla....
Jika iya maka
mari kita pikirkan :
1.
Ngaji
sampai sebatas Alif, Ba, Ta, Tsa...(Baca ndak ngerti apa-apa)
Dengan kemampuan segitu berani menghujat orang lain yang pindah agama, pikirkan
sendiri kualitas sampeyan seperti apa.
Siapa tahu lho, setelah menghujat ternyata sampeyan tak sanggup menahan godaan
hati untuk berpindah agama karena ada faktor X mempengaruhinya? Who knows?
2.
Sholat
masih bolong-bolong, bahkan sering meninggalkannya. Kalau pun sholat selalu
paling belakang (seperti saya).
Lha wong yang dasar begini saja ndak bisa melakukan, kok beraninya
menghujat orang. Jangan-jangan di sosial media menghujat, begitu ketemu sama
Lukman Sardi malah selfie.
3.
Menelan
sebuah berita begitu saja dan enggan berkaca
Ada berita buruk langsung bereaksi, komen
ini-itu (hyaaah seperti saya si bodoh ini).
Kok nggak nanya pada diri sendiri ,”Kalau sampeyan Lukman Sardi, apa yang akan
sampeyan lakukan? Saat bimbang dengan
keyakinan, anda menggali agama anda lebih dalam atau justru melongok ke
luar jendela dimana cahaya terlihat
terang?”
Apa yang terjadi pada Lukman Sardi sebenarnya adalah kaca untuk diri
sendiri, yang super ecek-ecek ini. Kalau tidak ada Lukman Sardi, orang (macam
saya) mungkin tidak ingat kalau di KTP ngaku Islam.
4.
Lebih
peduli pada diri sendiri ketimbang orang lain yang susah di luar sana
Sebelum sampeyan terlalu peduli dengan kepindahan agama Lukman Sardi,
tengok sekeliling anda sendiri. Lalu tanyalah sampeyan sudah berbuat apa?
Banyak orang susah di luar sana—yang miskin, yang nggak sekolah, nggak
punya pekerjaan layak. Pernahkah anda melakukan sesuatu pada mereka? Merangkul
mereka? Membuat mereka merasa diperhatikan saudara sesama muslimnya.
Bukannya berpaling pada saudara lain yang rela mengulurkan tangan pada
mereka. Jika saudara lain jauh lebih baik—murah hati, begitu penyayang—bukan
tidak mungkin mereka tersentuh lalu menyeberang (baca : berpindah keyakinan).
Kalaupun mereka tidak pindah keyakinan, karena pengabaian orang-orang
sekitarnya, mereka tidak ber-Tuhan. Buat apa? Wong ber-Tuhan juga ndak ngefek.
Begitu pikirnya.
Kalau sampeyan kelasnya masih seperti saya lebih peduli pada diri sendiri
(penderitaannya sendiri) lupakan dulu menghujat Lukman Sardi.
5.
Lebih
pandai mencela ketimbang memahami maksud Allah menunjukkan satu hal di depan
mata.
Kalau orang bodoh seperti saya membaca berita kepindahan agama Lukman Sardi,
pasti senangnya mencela duluan. Mengatakan Lukman Sardi nggak bener, nggak tahu
diri, anu, ono, ini...
Padahal maksud Allah bukan begitu ketika menunjukkannya. Ia sedang bertanya
,”Gimana kondisi keimananmu sendiri?”
Kalaupun sampai hari ini kita (mengaku) muslim, jangan-jangan kita
sebenarnya sudah jauh dari Allah. Kita tidak mempercayai-Nya. Atau kalaupun kepercayaan itu ada, tidak lebih dari seujung kuku jari kita. Jadi
apa bedanya dengan orang yang pindah agama, toh sama-sama jauh dari Allah. Oh,
salah ding. Ada bedanya, yaitu tidak memproklamirkan kepindahan agama secara
resmi saja.
“Sebentar, sebentar... ngomong panjang
lebar poin pentingnya apa yah, Fin?” tanya bayangan saya.
Saya berkata ,“Sederhana, sebelum
ikut-ikutan menghujat ngaca dulu banyak-banyak. Ketimbang sudah komentar
panjang kali lebar kali tinggi, ternyata diri sendiri tergolong “manusia yang
walah pinter omong doang kenyataan nol besar”.
Itu sama seperti anda menghujat Presiden Jokowi pencitraan, tapi
ternyata di luar sana adalah anda juga melakukannya. Hak preet itu namanya!”
“Kalau ngomong soal ibarat,
hujat-menghujat itu bisa diibaratkan menyuruh orang lain gosok gigi, tapi diri sendiri
kelupaan. Karena terlampau ngurus gigi orang tanpa disadari gigi sendiri kuning
dan banyak caries-nya. Menyedihkan! Lha daripada gitu mbok ya sikat saja gigi
sendiri, ketimbang meributkan gigi orang. Ya to?” lanjut saya
“Fin, lha terus kamu ngomong kayak gini
itu sebenarnya ngasih tahu siapa?” tanya si bayangan.
“Lho ya sama kamu, masa kasih pesan buat
orang lain. Sinten kula (siapa saya)?” saya nunjuk si bayangan di dalam kaca.
“Wo, tak kirain mau nyiapin buat ceramah
ke orang-orang,” si bayangan tertawa mengejek.
Ih, sewot jadinya!
Saya balik kanan, menyudahi segenap
omelan. Berbalik menatap layar komputer, mengedit tulisan sebelum akhirnya
dikirimkan.
Salam.
Hehehehe, analogi yg bagus dengan mengibaratkan seperti menyikat gigi. Jadi ingat minggu ini mesti ke dokter gigi buat periksa rutin.
BalasHapusAnyway, menurut saya sih nggak hanya masalah pindah agama saja. Masyarakat kita cenderung masih bersifat sosialis, jadinya menganut prinsip "masalahmu ya masalahku, masalahku ya masalahmu". Walau kecenderungannya sekarang sih hanya sebatas ngomongin thok. Tapi yang namanya omongan kan cepat berlalu seakan ditiup angin. Hehehe.
"masalahmu ya masalahku, masalahku ya masalahmu"
Hapusprinsip ini bagus di satu sisi ya Wijna, dalam pngertian orang2 peduli dengan orang lainnya. Nah, kalau sudah menghujat tapi tidak lihat diri sendiri itu namanya...
hihi
baru tahu saya kalo lukman sardi pindah agama :)
BalasHapusbeberapa hari ini ramai jadi berita mbak Santi
Hapusnggak mau ikutan menghujat, tp ikutan sedih aja ttg Lukman Sardi.. hiks.
BalasHapusSalam Mbak,
BalasHapusSoal Lukman Sardi atau Asmirandah atau siapapun pindah agama, alhamdulillah saya sih ngga terlalu peduli ^^ Apalagi sampe menghujat... Ya itu sama dengan pikiran Mbak, siapa lah saya nih..Cuma manusia apalah-apalah..Hehe.. Lagipula urusan itu kan urusan tiap-tiap manusia dengan Tuhannya. Emang kalo Lukman Sardi pindah agama, kita ikut dosa? :D
Ternyata ada juga blogger yang suka ngomong sama bayangannya yah :D Saya juga suka ngomong sama diri sendiri xD
lha begitu harusnya mbak Utie, kenapa kita repot dengan Kepindahan Lukman Sardi?
HapusSempat kaget dengan berita ini, karena sepengetahuan saya keluarga beliau adalah muslim yang taat. Tapi saat beliau memutuskan untuk murtad, ya saya hanya berdoa semoga beliau nggak salah langkah --- salam kenal, Mbak :)
BalasHapusSalam kenal juga mbak Putri.
HapusAllah lebih tahu kenapa Lukman Sardi memilih pindah agama :)
Kenapa gigi mbaakk..kenapaaahhhh...*lalu ke kamar mandi..
BalasHapusAku nggak trlalu respect sih mbak sm berita yg begitu2, lebih respect kpd berita yg berkaitan dg anak. Kekerasan, penelantaran. Rasanya pgn aku angkut smua dah anak2 itu ke rmh.
Mbak Inda, semoga Allah mendengar harapan ini. Mbak diberi berkah dan kesabaran mengurus anak2 semacam itu
Hapusaku juga punya temen, yg demi sebuah apalah-apalah dia berpindah haluan, kalo kata Naruto mah "Saya sudah memilih jalan ninjaku sendiri", padahal dulu kami kuliah subuh bareng. Ah sudahlah, cuma bisa berdoa semoga diri ini tetap istiqomah di jalanNya sampai akhir hayat. Aaamiin
BalasHapusAmin, kitalah yang sebenarnya diberi pelajarn oleh mereka. Semoga kita tetap istiqomah
HapusKalau saya pribadi menanggapinya santai mak hehehe. Soalnya emang keluarga besar tuh campuran jadi ga begitu musingin yg penting mereka taat.
BalasHapusTapi kalau masalah keluar dari islam. Kalo saya sih balikin lagi bahwa
"LAA IQROHA FIDDIIN" Ga ada tuh paksaan dalam menganut ajaran islam. gitu mba...
Jadi kalau ada yg mau masuk islam yaa tawarin aja ayat lainnya tentang Masuklah Islam secara keseluruhan.
Kalau mau keluar ya tinggal inget lagi, ga ada yang namanya Allah maksain orang buat komitmen sama islam.
Itu kalau saya pribadi mba...hehehe maklum saya masih hina dina gini sok komen hehehe
Saya setuju, mbak.Allah tidak pernah memaksa. perkara mau pergi atau mendatangi silakan.
HapusSiapa kita berani menghujat mereka yang pindah ya? :)
Aduh iya itu heboh banget. -_-
BalasHapusnamanya juga pencarian, belum tentu sama kan masing-masing orang. Apalagi ini pencarian Tuhan loh.
Ah tapi emang bener tuh kata mawi wijna di atas, masyarakat kita terlalu rempong mengurusi urusan orang lain. Agamanya apalah, udah kawin apa belum lah..
Hihi
wahhahaha, iya mbak vera. Allah maha Tahu
Hapusyup keyakinan itu urusan pribadi dengan Tuhan, kita sebaiknay lebih memperbaiki diri kita sendiri untuk menjadi orang yang lebih baik lagi di mata Allah
BalasHapuscocok sekali mbak Tira, setuju!
HapusCuma bisa sedih. Tapi gak perlu juga menghujat. Allah tidak rugi jika ada makhluk-Nya yang murtad, sekali pun seluruh isi dunia murtad. Dan Allah juga tidak untung ketika seluruh umatnya soleh. Semua sebenernya untuk kita-kita juga. Tidak susah bagi Allah untuk memurtadkan dan mensolehkan hati manusia. Alhamdulillah, kita masih bisa berada dalam Islam. Semoga selalu begitu. Ah Lukman Sardi :'(
BalasHapusIya mbak Nia, itu benar.
HapusSemua yang terjadi pasti bukan karena kebetulan, bahkan peristiwa Lukman Sardi. Allah ingin kita belajar
Dari semuanya yang sy sayangkan malah org2 yang membahasnya dengan kata-kata yang gak kalah 'kasar'nya dari orang yang menghujat Lukman Sardi.
BalasHapusItu juga mbak Vita yang bikin kita garuk kepala.Gimana ya?
HapusMbak, saya baru tahu kabar ini dr postingan samoeyan lho. :)
BalasHapusKalau tentang pindah agama, itu hak masing2 yo. Hehehe
Iya mbak Idah, soal agama itu urusan masing-masing. Kita ikut repot eh ternyata belum bener, piye jal?
HapusHahah.. Kalok aku, agama masalah privasi, Mbak.. Kan uda sama-sama dewasa.. Kalok dianya sendiri uda ngga percaya sama keyakinannya, ya kita jangan ikut-ikutan :P
BalasHapusHahaha, itu cocok sayang! Setuju
HapusBeritanya sudah heboh ya. wah, berarti sy termasuk ketinggalan ya. Baru tahu dari postingan Mbak Afin Yulia ini.
BalasHapusEnggih Pak, beberapa waktu lalu heboh. Waduh komennya astaga, pedees
Hapusmenghujat malah bikin hati kita cape dan kotor
BalasHapusLha bener Mbak, setuju saya. Sudahlah, buat apa menghujat wong kita (saya ding) sholat aja angot-angotan
Hapus