Memandang
foto ibu dan bapak di tembok ruang, memang terasa timpang. Bukan karena
letaknya yang miring atau kurang sesuai dengan estetika ruang. Bukan. Melainkan
karena ketiadaan ibu karena berpulang tanggal 13 September silam.
Mengingat
jauh ke belakang, hubungan saya dan ibu dalam konteks anak dan orang tua sedari
kanak-kanak tak luput dari kesalahpahaman. Seperti ombak ada kalanya pasang
datang dan kami kerap berbeda pendapat tentang segala hal. Bergesekan keras
meski ujungnya kembali tenang. Seperti laiknya pantai kala ombak telah
surut.
Terlahir
sebagai anak pertama, saya memiliki kecenderungan keras kepala dan bersikap
blak-blakan. Sejak kecil saya memiliki pemikiran sendiri atas banyak hal. Tidak
bisa diatur-atur atau disuruh seperti gadis kecil yang manis dan penurut. Itu
bukan saya banget. Mungkin karena itulah penyebab saya dan ibu kerap
bergesekan. Meski begitu, boleh dikatakan hubungan saya dan ibu tergolong aman.
Dalam artian komunikasi kami berjalan baik. Tidak ada hambatan. Saya dan ibu adalah
teman. Kami bisa ngobrol segala hal, dari yang jadul sampai yang kekinian.
Memang beberapa kali ibu “terasa ketinggalan jaman”, tetapi secara keseluruhan
ibu saya bisa mengikuti pola pikir anak muda sekarang.
Tahun berganti,
saya bukan lagi remaja tetapi sudah menjadi manusia dewasa. Saat itulah tanpa
sadar komunikasi itu hanyalah ala kadar. Saya terlalu sibuk dengan diri sendiri
dan pekerjaan, hingga hampir tak pernah saya menanyakan apa kabar. Tidak juga
bertanya bagaimana keadaannya atau hal-hal kecil lainnya. Saya menganggapnya tidak perlu. Alasannya
sederhana ,”Lha wong masih tinggal serumah dan bertemu saban hari masa iya
hal-hal begitu ditanyakan? Kecuali saya tinggal jauh, wajarlah hal-hal begitu
diomongkan.”
Porsi
cerita saya pada Ibu pun berkurang. Tidak seperti semasa kanak-kanak dan
remaja, saya selalu menceritakan segala hal padanya. Sekarang berbeda, saya
merasa sudah dewasa. Hingga tak perlu menceritakan segala-galanya padanya. Tanpa
saya sadar, di hari-hari itu Ibu tersingkir dari kehidupan saya. Meski ia ada,
tetapi saya sudah jauh darinya.
Saya lupa
membahagiakan ibu tak selalu dengan benda atau uang. Namun, cukup dengan
bicara, bercengkrama bersama, sekedar mengenang masa lalu sambil duduk di
beranda.
di sebuah pengajian tahun 2013, saya sibuk memotret ibu, tidak terpikir untuk foto bersama mungkin karena saya pikir ibu akan hidup lebih lama... |
Hingga
tiga tahun belakangan ketika saya berhenti kerja dan memiliki banyak waktu
untuk bersama Ibu. Tetapi, sayangnya dua tahun pertama saya masih terlalu fokus
dengan diri saya. Keinginan saya untuk menjadi penulis membuat saya lebih
banyak berkutat di depan komputer dan mencoba menelurkan berbagai jenis
tulisan. Meski berbincang dengan ibu, tetapi sepertinya saya tidak benar-benar
berbincang. Mungkin karena saya pikir Ibu akan berumur panjang. Mungkin karena
saya berpikir saya masih memiliki waktu panjang untuk melakukannya. Mungkin
karena saya karena saya pikir masih ada Ayah, tempatnya bertukar pikiran dan
berbagi banyak hal.
Saya tidak
ingat kalau hidup ini Tuhan yang menentukan. Ia bisa memanggil kapanpun Ibu
pulang jika menginginkan.
Pertengahan
2014 ketika ibu mulai sakit. Meski tidak mengeluh, saya sering menjumpai ibu
meringis menahan rasa celekat-celekit di bagian kaki. Tidak hanya di satu
tempat tapi bisa berpindah-pindah. Misalnya awal di bagian dengkul, sekejap
kemudian pindah ke paha, lalu betis dan sebagainya. Jika sudah kumat, ibu
sampai menitikkan air mata. Banyak orang menduga penyakit itu karena kadar asam
urat ibu tinggi. Tapi begitu diperiksa kadarnya normal saja.
Dari hasil
googling dan bertanya pada orang-orang yang kompeten, saya menduga itu adalah
efek penyakit diabetes yang dideritanya. Ya, orang dengan penyakit diabet dalam
tubuhnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena berbagai penyakit
tulang dan sendi. Contohnya neuropati diabetik, osteoporosis, osteoarthritis,
DISH (Diffuse
idiopathic skeletal hyperostosis), atau
Dupuytren contracture.
Tentu
saja, kondisi psikologis orang sakit dan sehat itu berbeda. Saat sakit emosi
seseorang cenderung naik turun. Bisa jadi hari ini ia sangat tegar. Lalu esok
harinya ia jadi sensitif, gampang sekali terpicu marah dan kesal karena hal-hal
sepele. Tak jarang hal itu membuat saya menghela napas dan bertanya ,”Kemana
perginya Ibu saya yang lama? Yang banyak tertawa dan enak diajak bicara?”
Saat
itulah kenangan silam berputar. Saya teringat ketika saya masih bocah dan
bersikap menyebalkan. Banyak ulah, suka pula membantah. Namun, Ibu tetap
mencintai saya. Ketika saya mendapat nilai buruk di sekolah, Ibu selalu
menenangkan dan mendorong saya dengan kalimat ,”Lain hari berusaha lebih
keras”. Ketika saya patah hati, ibu memeluk saya dan bilang semua akan baik-baik saja. Ketika
saya merasa takut, Ibu selalu mendorong saya untuk berani. Waktu saya lulus
sarjana dan sibuk mencari kerja, ibu juga yang mengantar saya kemana-mana.
Demi
pendidikan saya dan adik-adik saya, ibu lebih suka menyimpan uang hasil
kerjanya agar kami bisa sekolah tinggi dan dan mengesampingkan keinginannya
untuk membeli benda-benda yang ibu inginkan seperti baju, tas, sepatu, atau
perhiasan emas yang mahal. Menurutnya benda-benda itu tak penting, tetapi
pendidikan kami-lah yang penting.
“Ibu tak
bisa memberi harta, hanya ini yang ibu bisa. Memberi kesempatan kalian
mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Inilah warisan ibu untuk kalian bertiga,”
begitu ibu kerap mengucapkan untuk saya dan dua adik saya.
Mengingat
hal-hal itu tak urung hati kecil mengirim palu godam. “Baru begitu saja sudah
kewalahan? Coba pikirkan, apa yang ibumu rasakan mengasuhmu bertahun-tahun
sementara sikapmu seringkali menyebalkan? Apakah Ibu pernah mengeluh dan
meminta berhenti melakukan semua tugasnya sebagai ibu? Tidak kan? Ia selalu
bersamamu, mendukungmu, mengekorimu dari belakang—memastikan kau baik-baik saja
tanpa banyak bilang. Dekatilah ibumu. Ia butuh banyak dukungan. Kalaupun ia
suka-marah-marah sekarang, pasti bukan tanpa alasan. Mungkin sakitnya itu yang
mendorongnya berlaku demikian.”
“Tapi
dukungan seperti apa?” saya bertanya-tanya. Dukungan finansial? Saya tak punya
banyak uang. Penghasilan dari menulis belum bisa dikatakan lega. Hanya cukup
untuk membiayai diri sendiri.
“Sederhana.
Kau bisa mulai memijitinya atau mengajak bicara!” begitu hati saya berkata.
Dan kedua
hal itulah yang saya lakukan kemudian. Jangan tanya betapa canggung dan aneh melakukan
itu pada mulanya. Tetapi, rupanya itulah yang membuka jalan saya untuk memahami
ibu lebih baik. Mengerti yang
dipikirkannya. Ketika dia marah, kemarahan itu sebenarnya bukan pada orang
lain, tetapi lebih kepada diri sendiri. Ibu ingin segera sehat kembali dan
tidak menyusahkan siapapun di dekatnya, sayangnya yang terjadi justru
kebalikannya. Ia juga kerap merasa bersalah karena penyakitnya itu ia kerap
membuat orang-orang di rumah lelah—tidak hanya fisik tetapi juga mental. Rasa
sakit di kakinya bisa kapan saja menyerang. Bahkan malam hari saat orang seharusnya
mengistirahatkan badan. Orang-orang di
rumah terutama Ayah harus ikut begadang senyampang menghadapi emosi Ibu yang
naik turun tak karuan.
Tak jarang
selama memijit itu saya melihat matanya akan berbinar-binar, seolah ada lampu
bohlam menyala disana. Ia nampak begitu bahagia. Lupa akan penyakit yang kerap
menyerangnya ketika membicarakan hal-hal yang menarik baginya.
Ya, Tuhan
kenapa ya saya tidak melakukannya sejak lama? Pikir saya.
Bulan
berganti, tahun berlalu. Memasuki tahun 2015 kondisi ibu mulai baik kembali.
Ibu sudah mulai bisa jalan kesana-kemari dan tidak melulu tinggal di kasur
seperti sebelumnya. Saya senang melihatnya. Pikir saya ,”Ibu akan baik-baik
saja. Hidup lebih lama, menyaksikan semua anaknya menikah dan mengikuti
perkembangan cucu-cucunya hingga dewasa.”
Dugaan itu
meleset. Tanggal 13 September, sekitar pukul dua malam, Tuhan memanggil Ibu saya setelah mengeluh
sesak napas sekaligus rasa tidak nyaman di perutnya. Menurut dugaan, ibu
meninggal karena jantung koroner. Sempat terpikir di benak saya, andai kami
lebih cepat membawa ke rumah sakit Ibu pasti bisa terselamatkan. Tetapi,
kemudian hal itu saya tepiskan. Ajal itu
bisa datang kapan saja, tak bisa dihindari manusia. Kalau Allah sudah
berkehendak, tak ada yang bisa menghalanginya. Jadi kenapa saya harus bersedih?
Bukankah seharusnya saya bersyukur, bahwa Allah yang Maha Baik memanggil Ibu
saya persis seperti yang didoa-doakannya. Ya, jauh-jauh hari Ibu selalu berdoa
agar saat meninggal ia tidak sampai merepotkan keluarganya. Dalam artian tidak
sakit lama sampai tidak berdaya melakukan apapun kecuali dibantu keluarganya.
Bukankah saya harus berterima kasih karena diantara ketiga anaknya saya-lah
yang diberi diberi kesempatan memijit ibu dan berbincang banyak sekali sehari
sebelum ia meninggal dunia?
Papa (suami adik ibu) berdoa di pusaranya |
Dan hari
itu, 13 September pukul 9.21, saya
menyaksikan Ibu dikebumikan tanpa tangis dan isakan. Karena saya tahu seberapa
keras saya menangisinya, semua itu sia-sia. Saya tak ingin menghalangi
jalannya. Saya justru ingin mengantarnya dengan senyuman, karena saya tahu Ibu
telah mudik ke kampung halaman. Dimana dia bertemu Pencipta yang ia rindukan.
Satu yang saya panjatkan, semoga Allah mengampuni dosanya dan menerima amal
ibadahnya.
Kepadamu
yang masih memiliki Ibu dan Ayah, datangilah mereka dan mulai ajak bicara.
Sapalah, tanyalah apa kabarnya. Segera. Kau tak tahu kapan Allah akan
memanggilnya. Jika saat itu tiba, kau hanya bisa menyesal di tengah rasa sedih
dan hampa.
Tulisan ini diikutsertakan
dalam GA Sejuta Kisah Ibu
Terharu baca tulisannya :'). Semoga Ibu mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Aamiin
BalasHapusamin, terima kasih doanya Mbak Mia
HapusDuh, serasa tertampar, mirip saya kisahnya. Hanya, alhamdulillah ibu masih sehat.
BalasHapusSemoga almarhumah khusnul khotimah.
Alhamdulillah Mbak, Ibu masih sehat. Masih ada waktu untuk melakukan hal-hal manis bersamanya. Barakallah ya
HapusInnalillahi, semoga Allah SWT beri tempat yang indah di sana. Jadi meninggalnya 3 bulan yg lalu ya?
BalasHapusUntung di saat-saat terakhir Mba Afin sempat bermesraan dengan beliau.
Makasih udah sharing kisah kasih ibunya di GA rosimeilani.com
Pantengin apdet para peserta GAnya di sini: http://rosimeilani.com/2015/12/06/daftar-peserta-ga-sejuta-kisah-ibu/
Hallo, Mbak Rosi. Iya baru 3 bulan lalu. Iya itu, saya beruntung masih bisa dekat dengan ibu di saat terakhirnya
Hapusaduh brebes mili nih mata, ya kita seharusnya yang merawat ibu setelah dia merawat kiat sepanjang masa hidup kita
BalasHapusCup, cup Mbak Tira...semua memang sudah ditakdirkan-Nya. Meski dicegah pun tidak bisa, yang bisa dilakukan adalah ikhlas :)
HapusBaca tulisannya mbak Afin, beneran pengen nanges, jadi banyak berkaca diri. Akunya juga sering seperti itu ke ibu.
BalasHapusSemoga Ibunya mbak Afin diampuni semua dosa-dosanya, dan di tempatkan pada tempat terbaik-Nya. Khusnul Khotimah ya mbak...
Mbak.e tetep keep spirit yaa...
Terima kasih Mbak Rohma. Terima kasih doanya. Terima kasih juga karena kisah ini bikin Mbak Rohma berkaca. Semoga Mbak bisa memuliakan Ibu hingga saatnya ia berpulang ya
Hapusagak2 sedih bacanya, semoga ibu selalu mendapatan tempat terbaik
BalasHapusAmin Mbak Lidya, salam ya buat putra-putranya
HapusSemoga almarhumah husnul khotimah mbak
BalasHapusSalam kenal dari Bogor mbak :)
Amin, terima kasih Mbak Efi. Salam kenal juga dari aye di Banyuwangi
HapusSemoga ibunda mendapat tempat istirahat yang mulia di sisi-NYA. Aamiin ...
BalasHapusTerima kasih Ko ndri, amin..
HapusMembaca ini jadi ikutan sedih saya mba... Ibunda memang luar biasa ya mba
BalasHapusAh iya, Mbak Yuni. Bunda memang luar biasa, bukan hanya bunda saya tapi juga bunda lainnya
HapusSediiiih :'(
BalasHapusKita doakan Al-Fatihah untuk beliau ya, Mbak..
Amin, jeng Beby...Salam buat bundanya ya
HapusKontak langsung jauh lebih penting ketimbang materi ya, Mbak. Hiks
BalasHapusIbu sudah tenang di sana, ya.
insyaAllah begitu Mbak Idah. Soal kontak langsung itu yang seringkali kita lupa,meski sekedari apa kabar. mungkin karena kita berpikir ortu tak apa2, baru sadar ketika orangnya sudah tiada
HapusAhhh baca ini jadi sedih. Smoga ibu tenang di sana yaa
BalasHapusTerima kasih mbak Maya. InsyaAllah begitu adanya
Hapus