Capek luar biasa! Itu yang saya
rasa ketika menyinggahi rumah maya Mbak Lisa. Mata saya panas, begitu juga
pantat saya. Punggung sakit, betis berkonde...aduh saya benar-benar remuk
redam.
Sungguh, pekerjaan yang saya geluti
baru-baru ini membuat saya kelelahan. Sampai-sampai saking lelahnya, ketika
pulang kerja, saya tak sanggup lagi membasuh muka. Sekedar membersihkan make up
dari wajah saya.
Seperti hari itu. That’s why saya
yakin gak bakalan sanggup membaca satu pun artikel di rumah Mbak Lisa. Yang ada
di kepala saya, saya akan ngusruk di depan komputer tak sampai lima menit
kemudian.
Tetapi saya salah besar. Mata saya
tetap terbuka lebar menekuri tulisan-tulisan Mbak Lisa. Dimulai dari kisah
pengojek payung bernama Wendra yang mengingatkan saya agar tak mudah mengeluh
bagaimanapun keadaannya. Terus saja berjuang sembari menyalakan harapan.
Mungkin saja harapan-harapan itu terlihat naif, aneh, dan tidak mungkin
kesampaian. Tetapi, siapa yang tahu apa yang bakal terjadi di depan? Kini si
bocah pengojek payung itu berhasil menjadi manajer artis papan atas.
Berikutnya, saya membaca kisah
tentang perempuan yang kehilangan rahimnya. Kisah yang dituturkan dengan manis
itu mengajak saya untuk mengingat betapa banyak keberuntungan telah kita
dapatkan sebelum menuangkan berderet gugatan pada Empunya hidup. Bahkan dalam
kondisi yang paling tak mengenakkan. Saya jadi malu sendiri membacanya. Saya
tak serapuh beliau, perempuan yang digambarkan dalam tulisan itu. Tetapi, soal
keluhan...astaga! Saya sungguh tak tahu malu! Saya sering menganggap Tuhan tak
adil, memberatkan cobaan dalam hidup saya sementara yang lain tidak. Padahal
cobaan yang saya terima bisa jadi lebih kecil dari nikmat dari-Nya. Sayangnya
saya kerap lupa. Gerusan pikiran negatif menjadikan saya manusia yang lupa cara
berterima kasih.
Kisah ketiga yang saya baca, Wajah
Jompo di Tengah kita, membuat saya jadi tersipu-sipu gak jelas. Bukan karena
malu, tapi lebih karena tertohok. Ya, tertohok. Lha iya, saya yang masih muda.
Tenaganya masih kuat, tetapi semangatnya melempem. Susah dikit ngerem, enggan
berdiri. Dan memilih melipir di pojokan. Sementara Simbah yang diceritakan
dalam kisah itu, justru luar biasa! Kesusahan hidup, kerentaan usia, tak
menjadikannya seorang yang putus harapan. Ia tetap berusaha keras menghidupi
dirinya tanpa sekalipun menadahkan tangan secara cuma-cuma (baca : pengemis).
Semula ia bekerja sebagai pemulung, lalu beralih profesi menjadi penjual telur
asin dengan keuntungan kecil.
Selepas membaca ketiganya, saya
menarik napas panjang. Segala kelelahan plus keluh yang telah menyumbat mulut
sedari siang, kini menguap entah kemana. Semua berkat tiga cerita dari blog
Mbak Lisa.
Ah, ya...hari itu Tuhan begitu baik
pada saya. Dituntunnya saya ke blog Mbak Lisa untuk mendapat sedikit pencerahan
bagi jiwa saya yang sedang gulita.
Salam hangat dari kejauhan.
Cara mbak liza menuturkan kisah tertata dg indah shg membuat pembaca terusik emosinya dan seolah bs membayangkan secar live cerita yg sdg dibaca.
BalasHapusTrims mbak Riri
Hapusya banget mbak Ririe, Mbak Lisa menuturkan dengan keren sekali
HapusMakasih mbak Afin tuk ulasannya yang memikat...
BalasHapusMakasih mbak Afin tuk ulasannya yang memikat...
BalasHapusSayalah yang harusnya berterima kasih mbak Lisa
Hapusulasan yang sangat kreatif dan keren. ulasan di atas sangat jelas dan memikat para membacanya. ditunggu karyanya lagi...
BalasHapusSama-sama Bang Naufal
HapusJadi makin pengen ngubek-ngubek blog Mbak Liza.
BalasHapusKudu Mbak Lina ubek-ubek aja
Hapusahhh akupun selalu mengeluh, padahal anaknya baru satu hiks..
BalasHapusahh, emang sosok yang menginspirasi banget, keren abis niy Mba Liza.
saluut..luar biasa disamping mengasuh ke enam buah hatinya, masih aja produktif!
iya mbak Hanie, lha saya yang single jauh dari kata itu, produktif...
Hapus