sumber gambar : https://www.pexels.com/ |
Benar-benar tidak diharapkan. Saat lagi
orang butuh jalan, mengirim naskah yang super penting, eh dianya malah turun
sembarangan. Mak bress! Tidak pakai kode atau sinyal. Haduuh, kalau begitu bagaimana
caranya sampai di warnet tanpa kebasahan? Ha, mbok ya nanti saja kalau sudah
selesai urusan. Atau nanti saja waktu malam, sehingga saya bisa nyenyak tidur.
Begitu kata saya ketika menggerutui hujan. Hujan yang sebenarnya merupakan
keberkahan. Hingga kaum muslim kerap dianjurkan untuk berdoa di kala hujan
tengah turun.
Tetapi, Allah yang baik itu justru
mengirimkan hadiah sebagai balasan atas gerutuan saya. Saya diberikan kesempatan
melawat bumi lain yang tak pernah saya bayangkan, hadiah menang Gramedia
Blogger Competition Juli silam. Saya diterbangkan ke Belu via Jakarta dan
mengikuti rangkaian acara “Festival Membaca Belu” yang diadakan oleh Save The
Children dalam rangka Hari Anak Nasional tgl 23 Juli 2016.
Menyenangkan! Sampai kemudian pesawat
yang saya tumpangi sampai di atas langit Kupang. Dari jendela saya bisa melihat
Kupang didominasi warna kecoklatan. Tanah-tanah lapang kering tanpa rerumputan.
Saya membayangkan menapakinya langsung tanpa alas kaki bisa membuat panasnya
bumi nyetrum hingga ke tulang.
Pintu pesawat dibuka, perlahan para
penumpang turun melewati tangga. Ketika giliran saya tiba, terasa panas menerpa. Tak cuma datang dari
atas, tapi juga dari bawah dimana kaki saya berpijak. O, Mak! Panasnya ganda. Saking
panasnya, saya yakin memecah telur diatas aspal bandara El Tari pasti langsung
matang.
Keluar dari bandara, saya disuguhi pemandangan
Kupang. Terik benar sementara debu-debu beterbangan
memenuhi siang. Tanah, pohon, dan rumput hilang kesegaran. Menurut Astrid
Tehang, kawan jurnalis yang meliput festival itu, hujan terakhir dirasakannya
setahun silam. Saya terpana. Di Jawa, terutama tempat saya tinggal, lain
cerita. Hujan rajin sekali datang, dengan volume dan durasi yang terkadang panjang.
Di Kupang malah kebalikan. Bersyukur kendaraan yang saya tumpangi menuju ber-AC.
Jadi panasnya udara luar tidak terasa.
Menuju Belu, kami harus melewati jalanan
propinsi sejauh 270 km. Sepanjang itu beberapa kali saya disuguhi bukit-bukit
dan lembah hijau mengesankan. Selebihnya gersang karena jarang dirambah hujan.
Semak-semak merana, pohon tak ada bedanya. Kalaupun berdiri bisa jadi nyawa si
pohon sesungguhnya sudah tak ada. Tinggal pokok-pokoknya saja menantang langit.
Rumah-rumah berdinding *bebak
berdiri lesu di pinggir jalan. Kebanyakan tanpa jendela, dengan daun lontar
atau seng sebagai atapnya. Yang daun lontar itu saya tak bisa menduga-duga
bagaimana rasanya berteduh di siang yang sedemikian panas, tapi yang dari seng
saya tahu. Saat kecil bagian dapur rumah saya beratap seng. Kalau siang panasnya
bukan main! Seperti leleh rasanya.
Seketika itu saya merindukan hujan.
Hujan yang terkadang saya sesali namun begitu susah didapati di NTT. Banyak
warga disini yang harus berebut air karena kemarau panjang. Bahkan banyak yang
gagal panen dan gagal tanam karena minimnya curah hujan. Sementara saya selalu
menikmati kelimpahan air tanpa perlu bersusah payah seperti mereka. Detik itu
saya sadar, betapa kurang ajarnya saya karena
menggerutui hujan. Saya melupakan kalau hujan adalah nikmat teramat besar.
Terima kasih Tuhan, untuk hadiah
terindah-Mu. Kau jawab gerutuku dengan mendatangkan langsung diriku ketempat
dimana hujan teramat mahal.
Catatan
Bebak : anyaman dari batang
daun gewang
https://agungrangga.com/2016/10/07/giveaway-cerita-hujan/
Terima kasih sudah berpartisipasi. :)
BalasHapussama-sama Mas Agung Rangga
HapusTuhan tahu yang kita butuhkan bukan yg kita inginkan yaa...ada alasan mengapa diturnkannya hujan saat itu...
BalasHapusxixix,iya Mbak Ophi...hanya kita baru paham belakangan biasanya
HapusBaru tahu Kupang keadaanya seperti itu :) gudluck mba GAnya
BalasHapussama-sama Mbak Herva.
HapusEniwei kupang itu memang jarang hujan, sering kekeringan
Waah.. Ternyata Kupang jarang hujan ya Mbak..
BalasHapusDan ya memang benar, selalu ada alasan mengapa Tuhan mengirimkan hujan ketika itu..
Iya Mbak, jarang banget.
HapusNah, alasannya sering kali kita tahu jauh setelah itu. Dan kita baru menyadari bahwa Allah itu punya maksud setiap kali memberi sesuatu
Halo, Mbak Afin!
BalasHapusSelamat ya, tulisan ini menang dalam Giveaway "Cerita Hujan"!
https://agungrangga.com/2016/10/31/pemenang-giveaway-cerita-hujan/
Silakan cek email dan balas email dari saya ya, ditunggu~ :D
Terima kasih Mas Agung, maaf barusan saya balas emailnya
HapusHadiah pulsanya sudah dikirim ya Mbak~ :D
Hapus