Saya
belum pernah naik ke Gunung Ijen ketika Yogi, teman saya, menawari saya untuk
ikut bersama rombongan tour yang dipimpinnya. Tawaran yang menarik. Tapi, saya
sangsi mengingat saya belum pernah mendaki gunung sebelumnya. Mendaki gunung
itu bukan kegiatan main-main. Butuh stamina kuat agar energi tubuh tak mudah
terkuras saat melakukannya. Bahkan meski jaraknya hanya sejauh 3 km seperti Gunung
Ijen. Jangan salah, meski jalurnya pendakiannya pendek medan yang dilalui cukup
berat—menanjak dengan dengan kemiringinan antara 25-35 derajat. Tanahnya
berpasir pula. Siapapun yang pernah kesana pasti tahu bahwa langkah kaki akan terasa lebih berat. Para pendaki harus
menahan bobot tubuhnya agar tak tergelincir kembali ke bawah.
pagi hari di gunung Ijen |
Oleh
karena itu kondisi tubuh harus disiapkan betul saat melakukan pendakian. Tubuh
yang kurang fit selain membuat perjalanan jauh lebih lambat juga bisa
merepotkan kawan seperjalanan. Padahal itulah yang saya alami kala itu, tak enak badan—meriang ditambah dengan
tenggorokan yang kering dan sakit. Yang bikin keraguan saya bertambah besar
adalah bobot tubuh. Dengan tinggi mencapai 146 cm, berat tubuh saya mencapai 60
kg lebih. Saya tak yakin bisa mendaki tanpa kerepotan dengan bobot sebesar itu.
Tapi,
melewatkan kesempatan itu sayang juga. Kapan lagi jika bukan sekarang? Mumpung
ada teman, pikir saya. Akhirnya saya pun mengiyakan. Saya berdoa semalaman agar
keesokan hari saya diberi kemudahan. Ajaib, esok paginya saya sudah enakan.
Saya tak lagi merasa seburuk semalam. Perjalanan ke Banyuwangi bersama Yogi dan
seorang teman lain, Edwin, berjalan lancar.
menghabiskan waktu menunggu loket buka sembari menikmati cemilan dan minuman hangat |
Jelang
tengah malam, rombongan berangkat menuju Gunung Ijen menaiki mobil Jeep
Trooper. Jalanan sangat lengang saat kami beranjak menuju desa Licin. Dari desa
Licin mobil terus bergerak membelah jalanan yang dipadati oleh pepohonan di
kanan-kirinya. Beberapa kali kami melewati perumahan, tetapi selebihnya
pohon-pohon yang berdiri tegak dalam kegelapan malam. Tiba di Paltuding pukul
12 malam. Sembari menunggu bukanya loket, seluruh rombongan memilih untuk
menikmati minuman hangat dan makanan kecil di warung-warung yang berjajar
disitu. Pukul 12.30, loket dibuka, dan perwakilan dari rombongan kami
membelinya. Saya sendiri hanya duduk manis saja. Merasakan hawa dingin yang
menusuk kulit seraya menanti waktu keberangkatan. Sedikit menyesal saya tak
membawa penutup kepala, sebab mengenakan jilbab rupanya tak bisa melindungi telinga
dari hawa dingin itu.
Sekejap
kemudian, rombongan kami dan lain-lainnya berangkat. Pada awalnya masih
semangat. Jalanan masih landai. Tapi, seratus meter kemudian mulai terasa
langkah kaki semakin berat. Selain
menanjak, melewati jalanan berpasir itu tidaklah mudah. Saya harus
mencondongkan tubuh ke depan, untuk mengimbangi bobot tubuh dan
kemiringan gunung yang curam. Beruntung saya tak membawa ransel berat,
hanya tas kecil berisi air minum, kamera, ponsel, dan sedikit obat-obatan untuk
jaga-jaga jika terjadi sesuatu di tengah jalan.
Belum
sampai pos Bunder, saya sudah ngos-ngosan. Beberapa kali saya berhenti untuk
mengatur napas di tengah dada sesak dan oksigen yang mulai menipis. Beberapa orang yang semula mendahului saya
nampak kelelahan. Mereka duduk di tepi-tepi jalan, dimana batu, tanah, rumput,
dan kayu tak ubahnya es. Dingin sekali, sampai menembus celana. Beberapa
orang-orang yang bertubuh tambun seperti saya bahkan harus didorong-dorong oleh
temannya. Semata agar tak ketinggalan karena perjalanan menuju puncak masih
jauh.
“Ayo,
ayo...kamu bisa!” saya dengar begitu mereka menyemangati temannya. Sementara
napas si teman sudah satu-dua dan mulai kehilangan energi tubuhnya meski
pendakian belum lama dilakukan.
Saya
tidak menyalahkannya. Orang-orang ini pasti berangkat ke Ijen berbekal semangat
seperti saya tanpa memperhitungkan betapa berat medan yang akan dilalui nanti.
Saya bersyukur di rumah saya kerap Yoga, jadi hasil latihan itu memberi efek
baik untuk saya. Meski saya harus berjalan lebih pelan daripada lainnya, ketahanan
tubuh saya cukup terjaga.
Walau
begitu, mendaki gunung itu tak hanya butuh ketahanan fisik semata. Mental yang
kuat diperlukan juga. Ada saat dimana, saya merasa ingin berhenti mengetahui
puncak Ijen yang hendak saya capai masih jauh dari jangkauan. Jangankan puncak
Ijen, pos Bunder sejauh 1,5 km itu rasanya seperti di ujung dunia. Perasaan semacam itu kian menguat saat orang lain
melewati saya. Langkah mereka yang panjang, diselingi dengan tawa, bikin saya
merana. Saya heran bagaimana mereka bisa melakukannya. Lihatlah saya. Jangankan
tertawa, menarik langkah saja saya berat. Laksana diganduli seekor gajah.
Namun,
hati saya berbisik agar jangan menyerah.
“Sudah
kepalang tanggung, masa menyerah sekarang? Ingat nggak waktu kamu memutuskan
untuk jadi penulis dan meninggalkan pekerjaan kantoran? Kau mengalami
kesulitan. Kau sering gagal. Dari sekian banyak lomba yang kau ikuti jarang
sekali menang. Iya ‘kan?” katanya disela kelelahan.
“Kau
pernah ingin berhenti, tapi kau memilih untuk melanjutkan. Perlahan mimpimu
jadi kenyataan meski harus mengalami perjalanan panjang dari 2009. Kau berhasil
menerbitkan novel atas namamu sendiri, tak hanya antologi,” lanjutnya ditengah
keringat yang menetes di tubuh.
akhirnya sampai di puncak setelah perjalanan yang bikin ngos-ngosan |
Semangat
saya membara kembali. Saya percaya kalau saya mampu dan bisa mendaki gunung
ini. Sekejap kemudian saya bangkit dan menapaki jalur pendakian yang kian
menanjak meski dengan kecepatan semut. Sampai di pos Bunder, saya menarik napas
lega. Alhamdulillah, sampai juga setengah perjalanan menuju puncak Ijen.
Setelah menghela napas sejenak langkah pun kembali dilanjutkan. Saya melihat
beberapa rombongan nun jauh di depan saya di tengah kegelapan lewat sinar
senter yang mereka hidupkan. Saya menabahkan hati agar kuat hingga tujuan.
Pukul
3.00 saya sampai di puncak bersama Yogi, Edwin, dan seluruh rombongan. Angin
dingin yang keras menampar-nampar muka saya. Saya menggeloso di dekat kawah.
Saya capek sekaligus puas sebab saya sudah berhasil mencapai sejauh ini meski
awalnya tidak yakin. Kelelahan terbayar dengan melihat Kawah Ijen yang menganga
di sana. Beberapa orang mengajak untuk pergi melihat blue fire, tapi tenaga
saya sudah terkuras. Saya memilih untuk istirahat dan menghadiahi diri sendiri
dengan sebotol aqua yang terasa lebih dingin dari air kulkas.
para penambang belerang, saban hari bolak-balik ke puncak melewati medan berat |
Saking
lelahnya, pada akhirnya saya berlindung di balik ceruk-ceruk yang berjarak
beberapa puluh meter dari kawah dan tertidur pulas. Memang tidak terlalu nyaman
sebab tanahnya terasa dingin. Tapi, karena mengantuk dan lelah saya tak terlalu
merasakannya. Saya bangun ketika kegelapan berubah menjadi terang tanah.
Sembari melihat orang-orang berfoto di tepi kawah, saya melihat berkeliling.
Beberapa penambang nampak asyik membawa belerang. Beberapa lainnya menawari
para pendaki untuk turun bersama dengan kereta angkutnya. Harganya cukup mahal,
saya lupa berapa tepatnya, yang jelas diatas dua ratus ribu. Wajar mengingat
perjalanan turun juga tidak gampang.
bersiap menuruni Ijen setelah menikmati keindahan alamnya |
Beberapa
saat kemudian matahari mulai kelihatan. Kabut yang tadi menyelimuti menghilang
digantikan dengan matahari pagi. Tapi, udara tetap terasa dingin. Setiap kali
orang bicara seperti mengeluarkan asap dari mulutnya. Usai menikmati keindahan
pagi di kawah Ijen, kami pulang. Bila di awal kami harus ngos-ngosan untuk
menaiki jalur yang curam, kali ini kebalikan. Kami harus pandai mengerem
langkah karena turunannya tajam. Jika tak hati-hati bisa-bisa kami
terguling-guling dan cedera.
http://indonesian-hijabblogger.com/
Sepanjang
jalan pulang saya mengucap syukur pada Allah. Perjalanan ini sangat berarti
karena memberikan sebuah kemegahan
tersendiri. Tak hanya mampu mencapai puncak, saya juga berhasil menaklukkan
diri sendiri. Saya tak menyerah dan memilih melanjutkan perjalanan yang berat.
Disaat itulah saya merasa Allah tengah mengajari saya bahwa willpower atau kemauan yang kuat bisa
mendobrak sesuatu yang tadinya dirasa tak mungkin menjadi mungkin.
Terima
kasih ya Allah. Saya takkan lupa betapa
hebat pelajaran-Mu hari itu.
Post ini diikutsertakan dalam Blog Competition Serioxyl X IHB
Keren banget Mbak. Kuat banget :) sukses ya lombanya :)
BalasHapusterima kasih mbak wahyu. Kuat mungkin karena Allah juga ya, asli ngos-ngosan euy
Hapusketika mendaki seperti itu, musuh utamanya bukanlah lelah, tetapi diri sendiri. Selamat Mbak, ujian berat yang ini terlampaui. You should be proud of you, tentu saja.
BalasHapusPendakian terakhir saya (Agustus lalu) berakhir dengan saya memutuskan turun sendirian karena kantuk yang tak tertahankan karena belum tidur selama 30 jam nekat naik gunung. Feeling saya menyatakan begitu.
Ha, setuju mbak Susindra. Mengalahkan diri sendiri itu yang utama. Karena naik gunung gak bisa sembarangan, seperti keputusan saya ternyata. Esok kalau kesana lagi harus lebih disiapkan. Gunung bukan untuk ditaklukkan, kita yang perlu meredam ego
HapusMantap mba sesuatu yang belum pernah aku coba seumur hidup hehe..gudluck y mba pun sama dg ku xixixi
BalasHapussaya juga baru sekali itu tergolong nekat pula. Eh, yang sama bobotnya kah? hwahahahahaha
Hapussuamiku juga mantan pendaki gunung pas muda...pastinya seneng kalau diajak mendaki di gunung ijen
BalasHapuswaah, mbak prana...pasti itu. Kapan-kapan Mbak dan suami harus kesana
Hapusmendaki gunung adalah obesesi yg blm pernah terwujud sampe sekarang..badan udah melar gini jalan dikit aja udah ngos ngosan :(
BalasHapushwahahah...saya beruntung hari itu ada yang ngajakin Mbak. Kebetulan saya dibantu dengan olah tubuh, yoga. Jadi itu yang lumayan bikin bantu saya soal jaga stamina
HapusKeren banget Mba pemandngan Gunung Ijen dan sekitarnya.. Btw, aku juga belum pernah mendaki gunung seumur2.. Makanya salut banget sama cewek2 yang hobi mendaki gunung.. Staminanya itu lho patut diacungi jempol...
BalasHapusUuh, asli ngos-ngosaaan bingit. Iya bagus mbak, sayang kamera saya waktu itu drop. Jadi ya sudahlah, saya motret sedapetnya
Hapusbetul memang mendaki fisik kuat dan harus bisa mengendalikan diri agar sampai dengan selamat
BalasHapusiya mbak Tira, banget. Duuh. ngerasain banget deh betapa keduanya harus disiapin.
HapusHebat mba, pastinya butuh persiapan fisik dan stamina sebelum mendaki
BalasHapusih saya mepet banget mbak, itu gak boleh ditiru. Beruntung sebelumnya saya memang aktif yoga, jadi stamina lumayan kebantu dengna latihan itu
HapusSebagai anak pantai yang sering banget diajak naik gunung, Ijen mesti didaki nih next time. Thanks for sharing. Cool!
BalasHapusSalam,
Syanu.
Ceritanya menarik banget.
BalasHapusSayang sekali waktu kami masih tinggal di Jatim tidak kesampaian berkunjung ke salah satu gunung terkenal ini .. Semoga kelak bisa ada kesempatan.
insyaAllah, mbak. Amiin.
HapusJangan kesana pas musim hujan pokoknya, soalnya perjalanan bisa tambah berat.
Kita emang perlu banget menaklukan diri sendiri, keluar dari zona nyaman, dan melampaui batas dalam hal yang positif :))) selamat mbak
BalasHapusSalam,
Oca
Jadi keingetan film 5cm klo bicara gunung hihihi
BalasHapus