Gotong
royong merupakan budaya bangsa yang sarat akan nilai luhur. Diwariskan secara
turun temurun, budaya satu ini berakar kuat di pedesaan dan menjadi kepribadian
bangsa. Banyak manfaat dari aktivitas ini, salah satunya menjalin kebersamaan
dan mengeratkan hubungan emosional antar warga yang pada akhirnya berujung pada
persatuan.
Sayangnya,
aktivitas positif ini mulai tergerus jaman. Seiring perkembangan yang terjadi belakangan, gotong royong lambat laun
mengalami pergeseran. Gotong royong tak lagi kental akibat pengaruh modernisasi
pada bidang ekonomi, sosial, budaya, dan gaya hidup masyarakat kita. Sebuah konsekuensi
yang mau tak mau harus ditanggung karena masyarakat yang semula bersifat tradisonal
menjadi lebih modern seperti sekarang. Gotong royong di masa kini lebih
bersifat formal dengan pemberian upah berupa uang. Berbeda dengan gotong royong
di masa lampau, di mana segenap masyarakat bahu-membahu secara sukarela tanpa
mengharap imbalan,
Akan
tetapi, baru-baru ini masyarakat Songgon mematahkan anggapan tersebut. Lewat
pagelaran seni budaya bertajuk Makarya (Masyarakat Kaki Raung Berkarya) warga
Songgon berhasil menunjukkan budaya gotong royong masih eksis dan belum pudar
di masa sekarang. Sudarmono selaku ketua panitia mengakui bahwa pagelaran ini
memang minim sponsor dan pendanaan. Persiapan yang mepet, terhitung satu bulan
sejak ide dilontarkan, jelas menyulitkan segenap panitia untuk mencari banyak
dukungan dari pihak luar. Namun, hal ini tak menjadi halangan untuk menggelar
acara sedemikian besar. Mengandalkan partisipasi warga dari sembilan desa di
kecamatan Songgon yang meliputi Balak, Bayu, Bedewang, Parangharjo, Songgon,
Bangunsari, Sragi, Sumber arum, dan Sumberbulu—pagelaran tersebut
terselenggara.
Disinggung
mengenai tujuan Makarya, Sudarmono mengungkapkan bahwa pagelaran ini diharapkan mampu menumbuhkembangkan
potensi masyarakat baik ekonomi, sosial, dan budaya sehingga menjadi desa yang
mandiri, kreatif, dan produktif serta mampu “Go Global”. Lebih lanjut, Sudarmono
menceritakan bahwa semula acara yang digagas dan diprakarsai para pemuda desa
Songgon ini tidak dimaksudkan sebagai pagelaran besar. Hanya event sederhana yang diselenggarakan
sebagai uji coba sekaligus persiapan festival yang lebih besar di waktu-waktu
mendatang.
.
“Akan tetapi, respon Bapak H. Wagianto selaku Camat Songgon luar biasa. Beliau
sangat support dan mengajak segenap
kepala desa Songgon untuk ngrengkuyung
dalam acara ini,” tutur Sudarmono bangga.
Ia
juga berujar bahwa dukungan tidak hanya dari pemerintahan setempat. Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi, HIDORA (Hiduplah Indonesia Raya), Japung Nusantara
(Jaringan Kampung Nusantara), dan pemerhati budaya dari mancanegara juga turut
memberi dukungan. Terutama Jaringan Kampung Nusantara yang memiliki tujuan
untuk memotivasi kampung seluruh nusantara agar memiliki pertahanan budaya
dengan mengembangkan seni dan budaya aslinya sekaligus saling mendukung antar
kampung se-Indonesia.
gerak Tirta Bateh, koreografer : Tebo Umbara (sumber gambar : Yogi) |
Selanjutnya
Sudarmono juga menyingkap secara gamblang soal kontribusi masyarakat untuk
menyukseskan acara yang acara yang dihelat tanggal 3-5 Februari silam. Menurutnya
tak hanya dana, tenaga, dan pikiran, sumbangan masyarakat juga diwujudkan dalam
bentuk fasilitas berupa penginapan gratis untuk tamu-tamu, hidangan bagi panitia
dan para pengisi acara selama pagelaran berlangsung, dan lain-lain yang tak
ternilai harganya.
Koreografi Tebo Umbara (sumber gambar : Mimin Karo) |
Ketika
ditanya mengenai rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam pagelaran Makarya,
Sudarmono menjelaskan bahwa acara akan
dimulai dengan ruwatan, gesah budaya, dan pertunjukan wayang di hari pertama.
Kemudian disusul kegiatan kesenian yang
melibatkan seniman lokal, nasional, dan mancanegara pada hari kedua dan ketiga.
Seniman lokal akan menampilkan kesenian tradisional seperti gandrung besan dan
lanang, sendratari, angklung, kuntulan, paduan suara, karawitan, juga jaranan.
Sementara seni kontemporer akan ditampilkan oleh 14 penampil yang tergabung
dalam Jaringan Kampung Nusantara seperti Baron Xamagata (pemain karinding dari
Majalengka) dan Tebo Aumbara (koreografer dari Ubud, Bali). Adapun Gilles Saisi
(Prancis), Jesse Larson (Amerika), Mehdi Algwi (Prancis), Michiel (Belanda),
Isis Wolf (Inggris), Sidharta Phillips (Amerika), Alixe (Spanyol), serta Eugene
(Rusia) adalah seniman manca yang turut memeriahkan acara.
Disinggung mengenai bayaran bagi mereka Sudarmono menegaskan bahwa semua talent tidak mendapat bayaran. Mereka datang secara sukarela untuk menyukseskan pagelaran Makarya.
Disinggung mengenai bayaran bagi mereka Sudarmono menegaskan bahwa semua talent tidak mendapat bayaran. Mereka datang secara sukarela untuk menyukseskan pagelaran Makarya.
Tentu
saja, kita patut berbangga karenanya. Keberhasilan pagelaran ini berikut peran serta segenap elemen
dialamnya menjadi angin segar yang menyejukkan bangsa. Menjadi bukti bahwa budaya
gotong royong masih ada. Bukan tak mungkin mimpi untuk menjadikan manusia
Indonesia lebih sejahtera dan berdaya terwujud dengan memelihara gotong royong
di tengah masyarakat kita.
Ini keren. Mau ngadain acara memang ngga harus ngandelin dana dr orang, apalagi pemerintah. Semoga budaya gotong royong jalan terus.
BalasHapuskeren bgt, pagelaran ini seakan menatahkan semangat gotobg royong yg menjadi tradisi bangsa yg kian luntur
BalasHapusKadang kita klo mau ngadain acara juga butuh pengorbanan *pengalaman* donatur paling ngasih seadanya
BalasHapus