Saya pikir, bahagia itu berarti memiliki suami tampan,
mapan, dan rupawan. Tetapi yang memiliki ketiganya ternyata memilih untuk bubar
jalan. Memiliki suami tampan, mapan, dan rupawan itu tak seindah impian. Dia
manja, banyak maunya, dan tidak dewasa. Kerap melabuhkan hati dimana saja. Lupa
kalau sudah beranak-pinak.
Lalu bahagia itu apa?
Oh, mungkin ini yang dinamakan bahagia itu berwajah cantik
dan memiliki pekerjaan hebat. Pasti jadi perempuan itu bahagia. Tetapi,
sepertinya tidak begitu ceritanya. Si cantik dengan pekerjaan hebat itu
memiliki kehidupan rumit bak sinetron. Ia memang berjaya dalam kariernya, wajah
cantiknya juga tidak usah diragukan. Namun ia harus menghadapi situasi yang
tidak menyenangkan. Suaminya dituduh melakukan korupsi dan kemudian dipenjara.
Ia juga tidak bisa sembarangan berkata-kata kepada orang, karena banyak hal
yang harus dijaga. Ia juga tidak memiliki banyak waktu untuk bercengkrama
dengan teman-temannya. Karier yang bagus itu sudah menyita waktunya. Praktis
hidupnya adalah kantor dan rumahnya. Lainnya? Bukan tidak ingin, hanya waktunya
yang tidak bisa.
Lalu bahagia itu apa?
Hm, kurasa ini dia yang namanya bahagia. Berharta dan bisa
memiliki apapun yang diinginkan. Ingin tamasya keluar negeri tak perlu repot
uang sakunya darimana. Ingin makan enak, tak perlu khawatir harganya. Ingin
beli mobil, rumah, dan hal-hal mewah ah mudah saja! Tetapi, kenapa setiap hari yang
memiliki hal-hal itu menggerutu. Merasa menjadi orang yang paling tidak
beruntung sedunia? Merasa sedih karena anak-anaknya mendekat hanya saat butuh
saja, terutama butuh sesuatu yang terkait uang atau harta. Bukan karena
benar-benar “menginginkannya”.
So, bahagia itu apa?
Orang-orang biasa yang saya temui justru menyampaikan lewat
sikap hidup mereka, bahwa bahagia itu terkait dengan hati kita. Saat hari
bersyukur atas apa yang kita punya, kita akan lebih mudah menerima segala hal
dengan gembira. Susah juga gembira, apalagi bahagia. Segala kesenangan dunia,
yang kerap menjadi tolak ukur kesukesan seorang manusia, bisa jadi dia menjadi
sumber ketidakbahagiaan kita
Lebih jauh, deretan orang-orang itu menyeru lewat gayanya
hidupnya agar “Jangan mengukur bahagia dengan ukuran kolor tetangga”. Meski
bagus buatnya, belum tentu buat kita. Bisa jadi ukurannya tak cocok dengan kita.
Maka puaslah saja dengan kolor yang kita punya. Itu justru membuat hati tenang,
dan tak sibuk menilai-nilai orang lainnya. Sekaligus membebaskan hati dari
ketidakpuasan yang berujung dengan gerutu kesal.
Happiness is homemade, karena bahagia itu datangnya dari diri sendiri,
BalasHapussetuju mbak Tian, bahagia itu ada memang datangnya dari diri sendiri
HapusKalau mau ngerasain oleng juga gak papa, Mbak makek kolor tetangga. Jadi, pas kegedean, da tahu rasanya melorot, dan pas kekecilan, dia tahu rasanya sesak napas. :)
BalasHapushahaha, iya mbak Kayla. Bener itu
HapusHihi..analognya kok kolor Mak, ngebayangin pakai kolor tetangga, gak deh ��
BalasHapushwahahaha, jangan dibayangin Mak. Ntar ngikik mulu lo..
HapusSuer deh, judulnya itu lho mak hahahhaaa.....pake kata kolor
BalasHapus>o<'
hahahah, Mak Zefy pasti ngakak ini.
Hapusgak pernah ngeliat tetangga koloran doank... gimana donk. wkwkwkkw
BalasHapuskwakakaka, kalo gitu bayangin pake daster tetangga.
HapusBahagia saya kalau bisa bersyukur, gawat kalau lupa bersyukur kan?
BalasHapusha, cocok itu Mak. Kita bahagia saat mampu mensyukuri segala hal.
Hapushahaha... istilah "kolor" tetangga mengalahkan "hijaunya rumput" tetangga. Setuju. Bahagia itu hanya kita yang bisa merasakannya. Nggak bisa disamakan dengan kebahagian orang lain. Yang jelas sih mensyukuri nikmat yang kita miliki. Insya Allah bahagia akan datang denagn sendirinya.
BalasHapusHahahaha, benar Mbak Ade. Tanpa bersyukur sebanyak apapun yang kita punya takkan bisa merasakannya.
HapusBahagiaku simpel Mbak, keluargaku kecilku sehat dan bapak ibuku bahagia. Sudah cukup.
BalasHapusSetuju Mbak Ika, itu jauh lebih penting ketimbang membandingkan diri dengan orang lain. Barakallah.
Hapus