Sebagai mama muda Liv (bukan nama sebenarnya), menginginkan
yang terbaik untuk anak. Karena itu saat mertua menyarankan agar anak sekolah
di dekat rumahnya saja, ia menolak. Liv beranggapan sekolah di desa tidak cukup
baik untuk putri pertamanya. Ia ingin dia mengenyam pendidikan di sekolah
terbaik. Kebetulan di kecamatan tempat dia tinggal merupakan gudang sekolah
terbaik. Dari TK, SD, SMP sampai SMA semua ada. Jadi ia tidak perlu khawatir
soal pendidikannya.
Karena itu begitu putri pertamanya usia lima tahun ia
masukkan ke sebuah TK favorit. Meski biaya pendaftaran mahal tak apa, yang
penting baik bagi putrinya. Begitu juga SD-nya. Ia bahkan rela membayar agar
sang putri bisa masuk SD idaman sejuta umat itu. Tapi, apa lacur yang terjadi
kemudian justru bikin Liv merasa stress sendiri. Putrinya, sebut saja Nana,
enggan sekolah. Setiap hari ia harus berperang dengan putrinya, hanya agar si
putri mau berangkat sekolah. Sepertinya sekolah adalah momok menakutkan bagi
Nana.
Belakangan Liv menyadari sekolah jadi sesuatu yang
memberatkan bagi Nana. Di SD favorit itu, anaknya dibebani pe-er begitu banyak.
Ia pun harus les untuk mengejar pelajaran. Saban hari les hingga waktu
bermainnya hilang. Les di sekolah, les privat di kala malam, belum lagi
ditambah pe-er berlembar-lembar, itulah hal-hal yang harus dilakukan Nana
setiap hari.
Tak jarang saat pulang Nana mengeluh jari-jarinya melepuh,
karena banyaknya yang harus ditulis sepanjang hari di sekolah. Tapi, jari-jari
melepuh itu tak bisa diistirahatkan lama. Sore hari tangannya harus kembali
bekerja, mengerjakan pe-er yang bejibun banyaknya itu. Lima lembar itu biasa,
demikian Liv berkata.
Tak jarang pe-er itu tidak hanya menyulitkan si anak, tapi
Emaknya juga. Liv kliyengan begitu membaca soal-soal yang tertera di buku si
anak.
“Aku nggak ngerti blas, apa maksudnya. Kadang aku suruh
anakku jawab sekenanya, pokok dikerjakan daripada nggak. Lha gimana? Wong aku
juga ngajari nggak bisa. Aku nggak ngerti itu soal maksudnya apa.”
Dieng! Saya yang dengerin ngakak-ngakak jaya. Saya tambah
ngakak waktu Liv berkata ,”Tak pikir gitu itu aku saja, ternyata Emak-Emak lain
pun sama. Dia angkat tangan kalau ngawal anak ngerjain pe-er. Ha wis mbuhlah
pokoknya...”
Belakangan Liv sadar, putrinya merasa “keberatan” dengan
segala rutinitas itu. Ia memahami betapa berat beban yang harus dipikul
putrinya di usia dimana ia harusnya bermain dan menikmati kebersamaan dengan
teman. Ia ingin sekali memindahkan putrinya tapi masih ragu. Banyak
pertimbangan yang membuatnya maju-mundur memindahkan sang putri ke sekolah
lainnya. Yang membuat Nana nyaman, tidak terpaksa seperti sekarang.
Di akhir obrolan ada satu hal yang membuat saya terkesan
sewaktu Liv mengatakan ia tidak akan memaksa anak keduanya yang masih bayi itu
sekolah di tempat favorit. Terlebih jika itu untuk menuruti gengsi. Percuma,
jika efeknya si anak yang menderita. Sekolah dimana saja, asal dia nyaman itu
jauh lebih baik. Dan saya, si lajang ini, mengangguk-angguk dan mengamininya. Saya
berterima kasih padanya, karena chit-chat kecil itu benar-benar “menusuk” hati
dan kepala saya tentang bagaimana harusnya orang tua berpikir soal pendidikan
anaknya.
Thank you, Liv.
image source : http://pixabay.com/
Mbaaakk, makasih loh sharenya, aku jg tengah berburu sekolah nih buat bocah
BalasHapussama-sama Mbak Inda, saya juga dapat pelajaran dari teman nih
Hapus