SAAT KAU MERASA HIDUPMU SERASA MANUSIA DI EMPER TOKO (CUMA BISA MELIHAT ORANG-ORANG MENDAPAT YANG DIINGINKAN SEMENTARA KITA MELONGO)
Apakah pernah Anda berada di emperan toko?
Anda hanya bisa melihat orang-orang lalu-lalang masuk ke dalam toko yang megah
di seberang, tanpa Anda bisa mengikutinya. Anda ingin tapi tidak bisa. Perasaan
iri muncul tatkala melihat orang-orang itu tertawa sambil menenteng belanjaan.
Sedih melihat mereka bisa menikmati makanan di sebuah kedai gerai siap saji di
lingkup toko besar itu sementara Anda menelan ludah. Melihat ke arah lain, Anda
hanya bisa menghela napas sewaktu menatap orang-orang menikmati kopi di kedai
paling gaya dalam lingkup toko besar itu juga. Sedangkan Anda? Jangankan kopi, uang
saja tinggal seribu rupiah.
Anda mulai mengutuki keadaan. Mungkin juga
mulai mengutuki Allah. Bertanya sembari memaki kasar kenapa Allah yang Maha
Pemurah itu tak kunjung membuat hidup Anda naik kelas? Anda masih ada di level
terbawah. Level kelas teri, itu teri kualitas rendah. Bukan teri berkelas yang
dijajakan di toko-toko besar kenamaan. Usaha Anda seperti berhenti di tengah
jalan. Anda tidak mendapat kesuksesan justru harus menghadapi kenyataan kalau
usaha Anda terancam gagal. Anda tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan
uang seribu rupiah itu.
Apa sih mau Allah? Jika dia Maha Pemurah
seharusnya Allah memudahkan jalan Anda. Bukankah Anda sudah bekerja keras? Anda
bahkan memulai usaha itu dengan niat baik. Allah sungguh tidak adil!
Apakah Anda tahu, niat baik Anda sedang diuji?
Diuji dengan beragam persoalan sampai Anda megap-megap rasanya. Anda seperti
masuk goa, dimana disana tidak ada sedikit pun cahaya. Anda mulai dilanda
kecemasan, rasanya melangkah kemanapun jadi terasa salah.
Itu pula yang pernah saya alami seusai melepaskan
diri dari pekerjaan kantor kurang lebih lima tahun lalu dan beralih profesi
menjadi penulis. Tetapi seiring waktu, saya mulai bisa menyesuaikan diri. Saya
tidak lagi kebingungan di hidup di tengah goa yang gelap itu (baca : kesusahan).
Mata saya mulai terbiasa dalam kegelapan, saya bisa melihat jalan meski remang.
Kadang-kadang...oh tidak bukan kadang tetapi seringkali saya merasa bosan.
Perjalanan melewati goa itu amat panjang dan saya mulai jengkel karena tak juga
mencapai ujungnya.. Tidak jarang saya berniat berhenti dan balik kanan, kembali
ke awal. Tetapi, jalan yang saya tempuh sudah jauh. Tak terbayang kalau harus
kembali lagi.
Waktu lima tahun itu membentuk saya. Memoles
kembali saya. Menunjukkan saya banyak hal hebat yang baru saya rasa belakangan.
Kesukaran, gagal, tidak punya uang, memberikan perspektif baru pada diri saya.
Perspektif positif tentunya. Saya dulu seorang penakut, sebelum memulai mencoba
hal-hal baru saya akan berpikir panjang lebih dulu. Alhasil saya mundur karena
takut bayang-bayang. Tetapi, sekarang berbeda. Saya akan maju, mencobanya, jika
tidak berhasil itu soal belakangan. Saya, si petasan banting, yang dulu susah
betul menjaga emosi, jadi belajar mengendalikannya. Kalaupun impian saya tidak
tercapai, saya cukup menghela napas sejenak, lalu melepaskannya. Tidak lagi
marah-marah apalagi mengutuk keras. Saya tahu, Allah pasti lebih tahu yang
terbaik untuk saya.
Selama itu pula saya belajar bahwa berproses
itu penting sebelum menuai hasil. Butuh waktu panjang dan pengorbanan agar
sampai tujuan. Jika pun tujuan tak sepenuh tercapai, selalu ada efek baiknya. Tangguh,
tekun, sabar, berpikir positif, dan lebih “ringan” jika harapan meleset dari
jangkauan adalah deretan hal yang saya pelajari selama lima tahun itu.
Tapi, apa yang saya alami itu tidak seberapa.
Masih banyak orang-orang yang cobaannya melebihi saya, namun masih bisa
tersenyum dan menjalani hidup tanpa keluhan. Dan orang-orang itu mengajari
saya, keluhan tak mengubah apapun. Kecuali menambah beban perasaan.
Karena itu saya berpikir lima tahun itu
adalah tahun-tahun terbaik saya. Saya
melewati “masa kuliah” dengan segala pontang-panting dan dramanya. Saya
berpikir, jika hidup saya dimudahkan bagaimana saya akan menghadapi masa depan?
Mampukah saya mengatasi kesulitan di masa itu jika saya tidak belajar tangguh
tahun-tahun sebelumnya? Jika saya dimudahkan, apakah saya akan menghargai
kesuksesan? Mungkin saya jumawa, mengira itu hasil keringat saya, tanpa campur
tangan Empunya dunia.
Dan bagaimana denganmu? Apakah kau tengah
mengalaminya sekarang? Aku hanya ingin bilang ,”Bertahanlah dan teruslah
berjalan, kawan. Bahkan saat kau merasa hidupmu serasa seperti manusia di emper
sebuah toko. Hanya bisa melongo melihat orang-orang membeli apa yang
diinginkannya. Suatu hari kerja kerasmu berbayar dan kau akan berada di dalam
toko itu. Bukan di emperannya lagi.”
Salam dari kejauhan.
Huuu, hug back
BalasHapusHug, hug Mbak Nuri
HapusIntinya sabar yaa bang
BalasHapusIya, Kak, sabaaaar, sabaar, sabaaar
HapusTp kadang jd orang yg Berada di dlm tokonya, dan melihat orang lain yg diemperan hanya bisa melihat, juga bikin miris mba.. Pengalaman yg aku rasain sendiri pas di manila.. Kita sdg makan di salah satu gerai fast food, dan beberapa anak yg kliatan lapar, hanya melihat dr jendela :( . Rasa2 makanan ga bisa ketelan jadinya sebelum akhirnya berbagi dengan anak2 itu.
BalasHapusHa, itu dia Mbak Fanny...nyesek ya
Hapus