source image : http://pixabay.com/ |
Dikira
Hamil
Sebagai
orang yang tidak berlangganan internet di rumah, saya memang acap menggunakan
internet di luar. Entah wifi-an di RTH Maron atau justru di warnet. Wifi-an di
RTH Maron memang sudah saya tinggalkan sejak sinyalnya mulai susah ditangkap
sekitar setahunan silam. Sebagai gantinya saya lebih sering ke warnet saja.
Ditempat
itulah sebuah awkward moment terjadi.
Satu kali saat hendak membayar jasa warnet, pemiliknya bertanya ,”Hamil to?”
Saya
tercenung sekian detik. Lalu dengan sigap tersenyum dan menjawab ringan ,”Ndak,
Mas. Cuma gendut saja.”
Seperti
yang saya duga wajah pemilik warnet itu langsung berubah warna. Seperti halnya
saya kalau saya salah melontarkan pertanyaan atau salah menyapa orang.
Ingah-ingih-lah bahasa Jawa-nya. Tetapi, saya pura-pura tidak melihatnya. Saya
tetap berlaku santai, seolah tidak ada apa-apa.
Lain
hari, saat melihat-lihat pameran di Banyuwangi salah seorang penjaganya yang
ramah bertanya ,”Hamil berapa bulan, Mbak?”
Dziingh!
Saya bingung mau jawab apa. Saya sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi
kalau saya jawab sebenarnya. Tapi, kalau tidak saya jawab kok ya ndak sopan.
Bagaimanapun juga Mbak itu hanya mencoba berlaku ramah kepada saya, tidak
lebih. Niatan mengolok saya kira juga tak ada, wong dia tidak kenal saya.
Maka
sambil menahan tawa saya menjawab sedatar dan seenteng mungkin, berharap tidak
membuat si Mbak malu, dengan kalimat ,”Eng...ini sih bertahun-tahun nggak
lahiran.”
Begitu dengar jawaban saya mak
bles, si Mbak langsung minta maaf. Jelas banget kalau dia merasa tak enak
dengan saya. “Maaf, Mbak. Saya ndak ngerti,” ucapnya sambil piye gitu
(hahahaha).
“Nggak
pa-pa, Mbak. Santai aja,” jawab saya.
Lalu
disambungnya dengan kata-kata ,”Kalau saya ini mana bisa lemu (baca : gemuk). Saya ini mikiran orangnya.
Apa-apa dipikir. Makanya makan banyak pun hasilnya ya segini aja.”
“Wah,
kalau begitu saya kebalikannya, Mbak. Saya itu tergolong cuek beibeh. Wis orang
mau ngomong apa ya saya cuek. Kesel sih, tapi jarang tak simpan. Bikin sempit
perasaan,” balas saya sambil bercanda.
Nah,
yang paling epic yang beberapa waktu lalu (lupa kapan tepatnya), pokoknya waktu
itu saya lagi belanja di Alfa****. Waktu bayar di kasir, begitu melihat perut
saya si Mbak langsung nanya ramah
,”Berapa bulan Mbak?”
Lah
teringat pengalaman yang sudah-sudah saya bak makan buah simalakama. Kalau saya
terus-terang si Mbak bakal malu semalu-malunya. Kalau saya bohong, enaknya
ngaku hamil berapa bulan. Kan saya nggak tahu perut seperti saya itu cocoknya
disandingkan dengan Emak-Emak yang hamil berapa bulan. Maklum, saya ini kang
masih single fighter (elah single fighter euy, dikata petarung kali). Wajar dong saya
nggak ngerti soal gitu-gitu.
Tapi, demi kemaslahatan bersama
saya jawab ,”Tujuh, Mbak.”
Lhadalah
lha kok si Mbak masih ngejar juga. Katanya ,”Kecil ya, nggak kelihatan lho
kalau tujuh.”
Ngg...krik,
krik.
Heninglah
saya sambil mikir perut sebesar ini cocoknya itu disandingkan dengan ibu hamil
berapa bulan? Dan karena tidak tahu harus menjawabnya tentu saja yang keluar jurus andalan. Apalagi kalau bukan
senyum ceriaaaa!
Kok
Bisa tetap Tenang? Kamu Pasti Sabar Banget
Nah,
kalau Anda mikir kenapa saya nggak ngembang kacang alias mbesengut (red.
besengut itu nama kembang kacang dalam bahasa Jawa) alias ngamuk atas pertanyaan nyebelin itu karena sabar
o...Anda keliru!
Saya
tidak sesabar itu. Kalaupun saya bisa sesantai dan setenang itu karena saya
sudah berulang kali mengalami sebelumnya. Dulu saya sempat marah ditanya
begitu, lama-lama saya memahami kalau kebanyakan yang tanya adalah orang yang
tidak saya kenal, yang umumnya sekedar mencoba beramah-tamah saja. Seperti
umumnya orang-orang Jawa pada umumnya. Karena itu saya berpikir untuk tidak memasukkan
dalam hati.
Kenapa
kok tidak dimasukkan ke hati?
Lha
justru energi yang kita keluarkan demi memasukkan ke hati itu sangat besar.
Waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk mikir hal-hal bagus, malah tersita
untuk ngomel dan mikir hal-hal negatif. Belum lagi saat marah naik dada
berdetak lebih cepat. Kalau dibiarkan situasi ini justru memberikan efek buruk
bagi kesehatan. Orang yang kerap marah beresiko mengalami stroke, darah tinggi,
dan masalah kardiovaskuler lain. Juga meningkatkan resiko nyeri punggung, kaku
otot, sakit leher, plus mengurangi fungsi paru.
Duh,
kalau itu terjadi repot juga saya. Bukan hanya soal biaya, tapi saya juga akan
merepotkan keluarga. Karena itu kita harus pandai-pandai mengelola emosi.
Masalah yang kecil, ya tempatkan di wadah kecil. Tidak perlu dimasukkan dalam
wadah besar. Kalau perlu diusir ya usir saja agar tak memenuhi wadah (baca :
pikiran). Lagian nggak enak banget deh terus-terusan hidup memendam amarah.
Sudah muka saya ini pas-pasan, saban hari kesal, ha terus jadi apaan? Iih,
bisa-bisa kecoa saja lari lihat muka saya.
So, moral cerita ini adalah tempatkan
masalah pada tempatnya. Tidak perlu repot memperbesar yang kecil. Kalau bisa
perkecil yang besar agar ringan hati kita. Taket it easy saja. Memang sulit sekali mengawalinya,
terlebih bagi penggerutu sekaligus manusia yang mirip petasan banting seperti
saya. Tetapi, tidak ada yang tidak mungkin kok. Ketika hal semacam itu jadi
kebiasaan, pada akhirnya cara kita menghadapi masalah pun jadi berbeda. Lebih smooth, tidak lagi terburu amarah.
Hug, hug.
Yes take it easy ajaaaa. Ihihihiii. Semangat terus mbak Afiiiinnn
BalasHapusHwahahaha, terima kasih Mbak Adriana. Semangat!
BalasHapusMbak, aku juga pernah begini, mana langsung ngelus perut saya orangnya. Hehe.
BalasHapusCuma bisa tersenyuuuum yg lebar. Wkwkwk
Hwahahaha...saya bisa bayangi
Hapus