Drakor dan K-Pop? Ini Dia Sisi Baik dan Buruknya Di Mata Bukan Pecinta Seperti Saya

sumber gambar : https://www.soompi.com


Terus terang saya bukan penggemar berat drakor atau lagu-lagu KPOP. Saya menonton drakor atau mendengarkan lagu-lagu KPOP, tetapi nggak sampai addicted. Biasa saja. Mungkin terkait dengan kuota juga (wahahahaha, jujur kacang ijo ini), jadi kalau mau streaming drakor sampai berjilid-jilid begitu eman juga. Hal sama untuk mencari tahu lagu-lagu KPOP teranyar. Kuota yang tak terlampau besar bisa ambyar kalau digunakan nonton You Tube mantengin grup-grup KPOP dengan lagu-lagu kecenya. Alhasil saya ini boleh dibilang ketinggalan. Tidak terlalu mengikuti arus drakor dan KPOP kekinian.

Namun saya punya catatan bagus untuk beberapa biji drama Korea yang saya tonton. Misalnya Pinochio, The Heirs, The Winter That Wind Blows, atau It's OK That's Love. Drama-drama yang saya sebutkan tadi memang mengena di hati. Saya nonton berulangkali. Kebetulan ada yang download dan saya nebeng meng-copy. Beih, begitu ditonton saya jadi klepek-klepek sendiri. Dalam artian saya seolah terjun di dalam cerita, menjadi salah satu tokoh utamanya. Merasa ngilu ketika mereka menderita, merasa bahagia ketika mereka bahagia. Lho, gila 'kan ya?
Maka saya tidak heran jika banyak orang menggilai K-drama. Apalagi jika dibanding sinetron Indonesia yang penuh adegan jeng jeng jeng, zoom in lalu zoom out, dan secara cerita ya begitu saja. Saya tidak tahu dengan lainnya, tapi sudah lama saya tidak menonton sinetron Indonesia. Belakangan lebih suka nonton Discovery atau National Geographic. Lebih seru lihat binatang di alam liar, ketimbang nonton sinetron tapi malah setress karena selalu berkutat seputar menantu durhaka, ibu yang tersia-sia, istri yang tersakiti, dengan penggambaran lebay tudemaxxx (huuh, x-nya tiga biar mantap!).

Dalam drama Korea, contohnya It's OK That's Love, berbeda. Ceritanya dipersiapkan. Nampak dari jalan cerita dan plotnya, si penulis melakukan riset matang. Jika tidak tak mungkin bisa menulis skenario begitu menawan. It's OK That's Love sendiri mengisahkan tentang Jang Jae-yeol (Jo In Sung) penulis novel dan misteri yang menderita karena memiliki gangguan obsesif kompulsif. Ia dipertemukan dengan Ji Hae-soo, seorang psikiater trauma yang diperankan oleh Gong Hyo-jin. Ji Hae-soo  sendiri sejatinya juga memiliki trauma akibat melihat perselingkuhan ibunya. Hal yang kemudian membuatnya menghindari komitmen dengan pria mana pun yang jadi kekasihnya. Hubungan keduanya yang diawali oleh kebencian justru berkembang menjadi cinta dan upaya saling menyembuhkan luka batin masing-masing.


sumber gambar : tenasia10 on Wikipedia


Bagaimana dengan lagu-lagu K-Pop. Saya kurang ngikutin sih. Paling yang kenal yang jadi soundtrack K-Drama. Oh, iya Big Bang juga, tapi hanya beberapa judul lagu saja. Itupun yang lama. Namun, dari sekilas saja terlihat bahwa mereka dipersiapkan dengan benar. Tidak hanya soal kostum, tarian, tetapi juga modal utamanya yakni suara. Dari berbagai ulasan media, untuk menjadi terkenal seperti sekarang berbagai grup K-Pop itu butuh persiapan panjang. Mereka harus siap tinggal di dorm (asrama), dimana menu sehari-hari selain sekolah adalah latihan, latihan, dan latihan. Itu juga belum tentu nanti debut.
Jadi ketika tampil di panggung mereka memiliki kesiapan.

Nah, itu tadi sisi baiknya. Lalu buruknya?
Bikin kaum emak dan kakak-kakak penggila K-Drama boros quota (Pakai Q biar manteb!). Lha, iya 'kan? Butuh quota buat streaming atau download videonya. Lama-lama bisa tekor juga. Apalagi yang modalnya cekak, huwaaa ... sekian giga byte langsung cling hilang buat download videonya.
Plus kalau keasyikan bisa lupa segala. Widih, kalau sudah ketemu K-Drama kece hasil copy milik tetangga, abang tukang bakso lewat dicuekin. Mandi apalagi. Marathon terus nonton K-Drama sampai seluruh episode kelar. Ini yang terjadi pada saya waktu nonton It's Ok That's Love.

Kalau sampai termehe-mehe, terus pingin penampilan kaya pemeran K-Drama yang kulitnya bening-bening nggak ada nodanya itu nggak sih. Beda lagi mungkin jika usia saya masih muda, mungkin usia SMP dan SMA. Wah, bisa-bisa seluruh poster dan foto oppa-oppa Korea itu saya beli. Segala hal soal artis Kpop saya ikuti, nggak peduli harus mengorbankan banyak uang.  Nggak lupa pakaiannya niru-niru artis sana. Terus ngomongnya selalu ke-Korea-korea-an, misalnya "jinjjayo?" dan saudara-saudaranya. Makannya kimchi, bulgogi, dan embuh apalagi demi menunjukkan cintanya pada K-Pop dan budayanya. Atau bahasa gamblangnya fanatisme berlebihan.

Ah, jadi situ suka lagu-lagu K-Pop dan K-Drama? Ah, mangga aja selama dalam batas wajar. Nggak sampai kemah di depan rumah idola, jadi paparazi karena rasa suka yang berlebihan, atau malah mupeng berat pingin dinikahin.



Komentar