Hari sedang panas-panasnya
ketika saya berangkat ke Pekulo dalam rangka menonton grebeg suro, Senin
(10/9/2016). Itu pun masih ada drama ketinggal ponsel pula. Padahal waktu itu
sudah jauh dari rumah dan jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Beruntung
acara ternyata belum dimulai, dari jadwal pukul 12.00 ternyata mundur sekitar
sejaman. Syukurlah pikir saya.
Sampai ternyata tempat
acara sudah dipenuhi orang. Sudah susah mencari tempat motret yang menyenangkan.
Satu-satunya tempat yang tersisa adalah di masuk ke dalam, di sudut kanan,
tepat di samping pintu masuk. Di tempat itu saya melihat ada beberapa orang
sudah bersiap dengan senjata laras panjang, bukan buat menembak, tapi buat motret.
Iya, kamera maksudnya, yang lengkap dengan lensa telenya pula. Saya memutuskan
untuk nyelip masuk, sebelum Wakil Bupati tiba dan acara dimulai. Lantas
bergabung orang-orang dari media di sana. Peduli amat, meski saya bukan bagian
dari mereka, yang penting bisa dapat tempat untuk motret.
Saya ada di belakang orang-orang ini, tepat disamping panggung kehormatan, tempat Wabup berada. |
Ternyata tempat itu memang
ciamik. Saya bisa memotret segala macam foto yang saya perlukan. Mulai
kedatangan Wakil Bupati, tarian gandrung sebagai pembuka acara, hingga kirab tumpeng
yang diarak di jalan. Tak ada yang mencurigai saya, mungkin dipikirnya saya
bagian dari mereka, orang-orang media atau yang ditugasi mengabadikan acara. Who knows?
Jelang ashar, saya
berangkat ke tempat berikutnya, di daerah Lemahbang. Wah, sampai di sana pun
kondisinya sama, belum dimulai. Panitia bahkan masih membereskan panggung dan
pernak-pernik acara. Daripada memble saya pun akhirnya pergi ke masjid yang tak
jauh dari sana. Sholat sekaligus mendinginkan badan setelah menghadapi mentari
yang panasnya bikin kulit terasa cekat-cekit.
Jelang pukul empat barulah
saya keluar masjid sambil mikir, gimana ya nanti caranya masuk biar bisa
motret. Masa iya ujug-ujung duduk tanpa permisi. Sebelumnya memang sempat
ngobrol dengan rekan di sana kalau saya mau datang, tetapi dia pasti sibuk sih.
Nggak enak juga merepotkan untuk hal-hal begini. Ha, ndilalah ketemu Slam,
salah satu tokoh preman dari Desa Kalang Kabut di talk show Oplosan. Rupanya
dia hendak menghadiri acara itu juga bersama sederet rekan karang taruna dari
Kecamatan Singojuruh lainnya.
Nyempil diantara tamu undangan, diantara anggota karang taruna dan rombongan kecamatan. |
Laah, pucuk dicinta ulam
tiba! Saya ikut rombongan mereka. Ikut-ikutan duduk di deretan tamu undangan.
Padahal saya tamu jadi-jadian. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Alhamdulillah,
nggak hanya bisa motret acara dari dekat, tetapi juga bisa menikmati makanan
lezat. Mulai dari jenang suro sampai nasi kenduri di atas ancak.
Tanggal 15, ada acara suroan
lagi. Kali ini diadakan di Desa Temuguruh, Kecamatan Sempu. Kurang lebih 7 km
dari rumah. Acaranya konon pagi, begitu tiba di sana saya orang-orang masih
sibuk menata stannya. Bahkan sound system
pun baru tiba. Syukurlah ada teman saya di sana, Yuniati, seorang guru di
daerah Tojo sana. Ia datang bersama rekannya untuk mengantar murid-muridnya
yang bertugas mengisi acara. Kalau tidak bisa ingah-ingih saya (apa ya
ingah-ingih bahasa Indonesianya?).
Ngadem di deretan kursi undangan, di tengah panas yang membakar |
Pukul 9.00 acara belum
dimulai. Barulah pukul 10.30, pembukaan acara puncak Pagelaran Suroan digelar.
Dibuka oleh Sekcam Kecamatan Sempu,
acara pun dibuka dengan pukulan gong sebagai penanda. Saya duduk di mana?
Lagi-lagi duduk di kursi yang seharusnya untuk undangan dan pengisi acara. Cuma
kali ini memang jarak panggung dan tempat duduk jauh, jadi saya harus lari-lari
jika ingin mendapatkan foto yang dekat. Panasnya jangan ditanya. Luar biasa! Saya
motret asal saja. Karena tidak bisa melihat layar ponsel karena silaunya. Saya
baru tahu hasilnya blur atau tidak, miring atau lurus, setelah selesai
memotret.
Bubur suro yang dibuat sejak pukul 9.00, diarak keliling desa. |
Hari kedua, penutupan
Pagelaran Suroan, saya memilih datang waktu acara kirabnya. Bubur suro yang
dibuat paginya diarak keliling jalanan desa bersama peserta kirab. Lalu kembali
lagi ke tempat acara, di gedung PUSKUD. Yang paling seru di acara hari terakhir
ini tampilan drumband lansia. Wahaha, dua jempol buat mereka! Salut banget
karena meski tidak punya dasar musik, tetapi mau berusaha mempelajarinya. Ini
seolah mengingatkan saya, nggak ada yang nggak mungkin jika kita mau berusaha. Tidak
peduli berapa usia kita, selama tekad masih membara, impian apapun bisa kita
wujudkan. Asal tak putus menyulam benang-benang impian itu hingga menjadi
kenyataan.
Salam.
Seru Yo ada suro and..di Sidoarjo orang ono
BalasHapusDi sini banyak agenda durian mbak, ada yang sudah masuk agenda wisata ada pula yang belum. Ning yaitu, tempatnya jauh-jauh.
Hapusingah ingih sy kira inggah inggih apa mungkin seperti unggah ungguh, tapi saya baca lagi, baru ngeh saya, ingah-ingih mungkin semacam tengsin, malu, sungkan gak pede gitu kali ya mba hehehe..
BalasHapusIya mbak Vitro, kurang lebih artinya begitu. Hwahahaha, jadi nebak-nebak jadinya.
Hapus