Image by Ahmed Sabry from Pixabay |
Kenangan ramadan berkesan? Wah, susah milihnya kalau diminta
bercerita. Sebab menurut saya semua ramadan itu berkesan. Tidak ada yang tidak.
Selalu ada sisi-sisi menarik yang sulit dilupa. Tetapi, baiklah. Saya akan
menceritakan salah satunya, yang terjadi tak kurang dari sehari silam.
Semua bermula di tanggal 15 Mei lalu. Seorang kawan
menghubungi saya untuk ikut acara bukbernya. Biasanya saya agak malas kalau
diajakin bukber. Tahu sendirilah ya, bukber di luar berarti datang lebih awal,
lalu pesan makanan yang bisa jadi datangnya tahun depan (hahaha lebayatun!),
tapi cuma gitu doang. Tak ada esensi lainnya.
Namun kali itu berbeda, saya langsung menerimanya karena
kawan saya mengajak bukber bareng tukang parkir dan gojek. Wah, lah kok tumben
ini! Pikir saya. Itu sebabnya ketika diminta menemaninya saya langsung
mengiyakan. Meskipun harus menempuh perjalanan kurang lebih lima puluh menit
dari rumah. Wah, cukup jauh ya?
Lha memang rumah saya di mana dan undangannya di mana?
Rumah saya kalau dilihat di peta Kabupaten Banyuwangi
termasuk ada di tengah, tepatnya di Kecamatan
Genteng. Sementara undangannya bukbernya di Banyuwangi kota yang
berjarak 37 km dari rumah. Itu sebabnya saya harus menempuh perjalanan selama
itu untuk sampai. Bahkan bisa lebih karena saya mengendarai motor dengan
kecepatan biasa. Bukan kecepatan dewa yang waz wuz ... langsung sampai nggak
pakai lama.
Saya berangkat dari rumah setelah sholat ashar, sekitar
pukul 15.000. Lalu sampai di tempat janjian (bukan tempat bukbernya) pukul
15.37. Baru kemudian berangkat bersama ke warung soto Surabaya Pak Slamet.
Sengaja datang lebih awal untuk memastikan tempatnya. Jadi begitu orang-orang
yang diundang datang jam 17.00, sudah siap semua.
Diluar perkiraan, yang datang hanya sepuluh dari dua puluh
yang ditargetkan. Itu pun terbagi menjadi dua kloter. Lima datang tepat di
waktu berbuka, sedangkan lima lainnya setelah itu karena masih harus melakukan
tugasnya menjadi tukang parkir.
Photo by Bob Clark from Pexels |
Ada hal menarik yang saya dapati dari acara buka sore itu. Pertama, kebaikan itu tak memandang
siapa orangnya atau apa agamanya. Ia datang dari hati dan meluncur begitu saja,
tanpa mempedulikan keduanya. Seperti yang dilakukan kawan saya. Ia bukan
muslim. Sudah jelas dari kalung salib yang tergantung di lehernya. Akan tetapi,
ia tetap melakukan acara seperti ini meskipun tak ada kewajiban baginya. Dan
itu dilakukannya sejak beberapa tahun silam.
Sempat tertangkap oleh saya alasan dibaliknya, bahwa ia
pernah berada di titik di mana ia tidak punya. Untuk makan saja susah. Tetapi,
ketika memberi tanpa berpikir hitung-hitungan justru Tuhan mengembalikan jauh
lebih besar daripada yang ia pikirkan.
Berapa kali?
Berulang kali.
Tetapi, yang jelas itulah yang mendorongnya untuk tetap
melakukan kebaikan semacam ini. Entah sekedar mengadakan buka bersama atau
justru berbagi sembako bagi janda dan orang miskin di sekitarnya.
Ia bercerita, terkadang orang memanfaatkan kebaikannya.
Sengaja terus meminta bantuan, bahkan seperti menyengaja ketika ada tamu
datang. Dengan demikian empunya rumah risih lalu memberikan bantuan. Dan itu
terjadi berulang-ulang. Yang mengenaskan uangnya tidak pernah dikembalikan. Itu
terjadi tidak hanya sekali, tetapi berulang-ulang. Saya yang kebagian mendengar
hanya geleng kepala, merasa belum tentu sanggup jika bertemu orang yang
sedemikian rupa.
Image by ArtCoreStudios from Pixabay |
Kedua, kebaikan
itu spontan saja. Tidak perlu dipikir terlalu lama, langsung hajar. Terlampau
dipikirkan bisa-bisa bubar sebelum terlaksana. Itu yang secara tak langsung
dikatakan teman saya ketika bercerita bagaimana ia berbagi pada sesamanya.
Termasuk hari itu ketika ia menyelenggarakan acara berbuka. Saat keinginan itu
ada ia langsung mengontak beberapa orang sehari sebelumnya. Tidak
menunda-nunda. Takutnya saat menunda keinginan itu terkalahkan oleh pertanyaana
“Bagaimana jika …?”. Saya tertawa, bukan karena lucu. Akan tetapi, kalimat itu
menyentil saya.
Photo by Paul Cameron from Pexels |
Ketiga, berbuat
kebaikan itu bukan matematika, yang harus selalu dihitung plus minusnya. Kawan
saya itu bercerita, berbuat baik tanpa berpikir demikian itu prosesnya panjang.
Butuh waktu, tidak bisa instan. Melalui tujuh tanjakan dan tujuh turunan alias
mengalami beragam kejadian yang akhirnya menyadarkan kita bahwa berbuat baik
itu pangkalnya keikhlasan. Semakin kita ikhlas, semakin kita ringan. Namun jika
setiap kebaikan selalu dihitung laba ruginya, percayalah tak ada apapun yang
didapat. Selain capek semata. Terlebih ketika yang diberi tidak member balasan
yang sama. Sejatinya melakukan kebaikan pada sesame, siapapun dia, bukan untuk
orang lain. Melainkan diri sendiri. Persis yang Helvy Tiana Rosa tuliskan bahwa
:
“Kebaikan yang kita berikan pada orang lain sesungguhnya adalah kebaikan yang kita tanam untuk diri sendiri”.
Salam.
Inspiratif. Kawan Mbak itu sosok yang keren. Mbak juga keren sebab tidak berlaku SARA kepadanya. Semoga keberkahan melimpah untuk panjenengan berdua. Aamiin.
BalasHapusTerima kasih banyak Mbak, doa yang sama untuk Mbak.
HapusInspiratif sekali ceritanya. Tapi menghadapi orang yang malahan memanfaatkan kita, itu gimana ya? Pasti susah.
BalasHapusBetul Mbak, kayaknya kudu ditegesin. Biasanya sih kalau sudah begini nggak ngelunjak lagi.
HapusMasya Allah.... tulisan sae....
BalasHapusMatur nuwun Mbak Jarni, sanget
Hapus