Photo by mentatdgt from Pexels |
Berada jauh dari rumah tak urung membuat Rena, adik ipar
saya, merindukan banyak hal. Seperti yang dicetuskannya lewat WhatsApp beberapa
waktu silam. Mulai dari cemilan seperti keripik (segala macam keripik, hingga
beragam masakan rumah yang biasa dinikmatinya kala pulang seperti ayam pedas,
rawon, pecel, dan sebagainya. Tidak hanya itu saja ia juga rindu berada rumah,
meski setibanya nanti saya yakin dia pasti pilek bin gebres-gebres karena udara
di tempat saya tinggal lebih dingin daripada di Kalimantan. Membaca ungkapan
itu saya pun tersenyum. Bukan karena lucu, tetapi karena memahami apa yang
dirasakannya karena tahu sendiri seperti apa rindu merasakan ramadan di kampung
halaman.
Sewaktu kuliah, saya harus menyiapkan segala sesuatunya
sendiri saat buka dan sahur. Memasak
seadanya, sesuai budget yang ada. Kenapa tidak membeli saja? Pertama,
kurang cocok dengan selera. Dua, eman-eman uangnya (*aih peliiit nian!).
Eh, eman-emang uangnya? Kenapa? Sederhana, dengan memasak
sendiri saya jadi bisa berhemat ketimbang beli. Kala-kala saja beli di luar.
Itu pun pilih-pilih benar. Rasanya-kah? Bukan. Tetapi, harga dan banyak
nasinya. Warung yang murah dan memberikan nasi yang tumpah ruah meski rasanya
tak terlalu juara adalah jujugan saya, ketimbang warung nasi yang enak tapi
mahal harganya.
Berdasarkan pengalaman itu saya menuliskan tiga hal yang
dirindukan dari ramadan sewaktu kita
jauh di perantauan seperti berikut ini :
1. Makanan Rumah
Tinggal di perantauan berarti harus menyesuaikan dengan
makanan setempat yang belum tentu cocok dengan selera kita. Disitulah baru
terasa, betapa makanan rumah yang paling sederhana, adalah surga kecil yang
kita rindukan. Bahkan jika itu hanya sambal kecap yang dulu kita benci, karena terlampau
sering disajikan.
Terkadang kita berharap waktu bisa diputar, sehingga kita bisa
merasakan ramadan di kampung halaman. Tetapi, harapan hanyalah harapan.
Kenyataannya kita tinggal di perantauan. Salah satu cara untuk menuntaskan
rindu ala saya waktu itu adalah menduplikasi sendiri masakan dari kampung halaman
meskipun rasanya tak se-wah yang dibayangkan. Maklum kepandaian memasak memang
jauh jauh dari nilai delapan. Ah, namun tidak mengapa. Dengan begitu kita jadi
lebih menghargai segala hal yang kita alami.
2. Suasana kampung halaman
Tumbuh dan besar di lingkungan yang mayoritas muslim tentu
saja membuat saya terbiasa merasakan semaraknya suasana ramadan setiap
tahunnya. Setiap tahun kita akan disuguhi pemandangan di mana orang-orang
berangkat menuju masjid atau mushola, untuk tarawih bersama. Selepas itu
terdengar suara kanak-kanak hingga dewasa melakukan tadarus Al-Qur-an. Lalu
ketika malam tiba, suara-suara riuh anak-anak thethek (memukul kenthongan
bambu) untuk membangunkan sahur terdengar dari mana-mana. Suasana ini belum
tentu kita dapatkan ketika di perantauan. Terlebih mereka yang merantau di kota
besar. Jika sudah begini rasanya ingin
cepat-cepat pulang, biar bisa merasakan suasana ramadan yang menyenangkan.
3. Suasana rumah
Saat kita masih berkumpul, rasanya kebersamaan itu biasa
saja. Tidak nampak berharga. Akan tetapi, begitu jauh semua terlihat berbeda. Di
saat sendiri kita acap merindukannya. Apa sih contoh kebersamaan yang kita
rindukan itu? Ah, banyak. Mulai dari menyiapkan panganan untuk berbuka,
menunggu adzan maghrib tiba, sahur bersama-sama hingga mengecat dan
membersihkan rumah demi menyambut hari raya. Memikirkan hal semacam ini tak
jarang bikin kita menyeka air mata diam-diam. Bukan karena sedih, tapi karena
kangen tak tertahankan. Hiks!
Kalau teman-teman bagaimana? Apa yang dirindukan dari
ramadan? Apakah ada kesamaan? Wah, sehati betul kalau demikian.
Sama mba suasana seperti itu yg bikin kita kangen. Apalg makanan ama kumpul brg kluarga... Apalg jauh dibpwrantauan.. Kerasa banget hilangnya
BalasHapusBetul Mbak Heni, kadang suka ngenes kalau nggak bisa mudik.
Hapus