Photo by Amnas from Pixabay |
Itu hari pertama ketika seseorang berkata dengan lantang di
hadapan tamu-tamu Bulik saya lainnya dengan kalimat yang bunyinya kurang lebih seperti ini "Kowe ki lanangan nggak duwe, anak nggak duwe ... "
Saya tertegun dibuatnya. Untuk sejenak saya ingin sekali
membalasnya dengan kalimat yang menohok agar dia diam, tetapi kemudian teringat
anak-anak yang duduk di dekatnya. Rasanya tak elok jika saya mempermalukan
ibunya di depan anak-anak itu. Oleh karena itu saya mendiamkannya, memilih
untuk tersenyum dan tetap bersikap sopan di depannya. Bahkan ketika dia
menambahi dengan "Heh, gembrot ... " sekalian di kalimat berikutnya.
Hal semacam ini rupanya tidak hanya terjadi pada saya.
Banyak orang lain yang mengalami situasi yang sama. Meskipun kasusnya
beda-beda. Ada yang dibikin ilfil karena banyak orang tanya "Kenapa kok
anaknya satu aja? Nggak nambah apa gimana" dan seterusnya. Yang sudah
punya anak dikomentari "Kok anaknya kurus? Kurang makan ya?". Padahal
berat badannya normal. Perkembangan si anak pun sesuai umurnya. Tidak ada yang
aneh.
Yang badannya langsing ditanyai "Kok kurusan?".
Yang mulai nampak kerutan dibilang "Kok tuaan?". Yang sudah bercerai
dan belum nampak menikah dikomentari "Kok masih sorangan? Menikahlah biar
ada yang bantuin nganu bla, bla, bla, bla ... " tanpa mengindahkan
perasaan yang ditanya. Yang punya mobil biasa, bukan keluaran terbaru,
dikomentari "Kok mobilnya nggak ganti-ganti dari dulu".
Repotnya kalau kita komplain katanya baperan. Masa gitu aja
marah? Itu 'kan biasa. Hanya bercanda. Jangan dimasukin hatilah. Besarkan
pengertian, ini kan hari lebaran. What?
Kita sudah dilukai, masih dimintai pengertian? Pengertian pale lo somplak! Coba
aja situ yang ngalamin, masih bisa bilang gitu? Lama-lama gue jual juga lo di eBay apa Buka Lapak!
Eh, kok jadi nge-gas? Udah, udah, udah ... Tarik napas,
panjaaang. Jangan lupa dibuang. Gitu terus, kurang lebih lima putaran. Biar
hati adem, pikiran adem, seperti ademnya lantai masjid.
Sekarang setelah adem saatnya kita membahas mengapa ada saja orang yang baru minta maaf kok sudah bikin marah di hari raya dengan komennya. Biasanya mereka itu :
1.
Menganggapnya sebagai bentuk perhatian
Acap orang berpikir mengutarakan hal-hal yang sudah saya
sebut di atas adalah bentuk perhatian. Contoh sederhana kalimat "Kowe ki
lanangan nggak duwe, anak nggak duwe ... " yang diucapkan kawan saya tadi.
Dipikirnya dengan begitu orang lain akan termotivasi untuk menggenapkan
setengah dien-nya dengan menikah. Nyatanya malah sebaliknya. Alih-alih memberi
perhatian, justru yang terjadi malah menyakiti perasaan.
2.
Menganggap biasa
Dalam lingkup pergaualannya bisa jadi acara
"ngecengin" orang sudah biasa. Tak ada yang komplain atau kesal
karena sudah jadi makanan harian. Tidak heran jika ia pun merasa tak bersalah
saat mengujarkan dengan cara yang sama pada keluarga, sahabat, dan handai
taulan. Kitalah yang justru dianggap janggal karena marah menanggapi pernyataan
tidak menyenangkan semacam itu. Padahal jika ditelaah lebih dalam, kebiasaan
semacam ini justru tak bermanfaat untuk menjaga hubungan baik di antara
keluarga atau teman. Memperburuk malah memungkinkan.
3.
Bentuk eksistensi diri
Beberapa orang memiliki kehidupan yang tak semanis
gula-gula. Kekecewaan pada hidup ini ia alihkan dengan mencela segala macam
hal. Apa yang tertangkap di mata, ia lontarkan demi memuaskan perasaan. Rasanya
ada yang kurang kalau belum memberi komentar minus pada orang. Sementara
hidupnya sendiri tak lebih baik dari yang dikomentari.
Photo by Goumbik from Pixabay |
Berkaca dari sana, ada tiga pelajaran yang bisa kita peroleh
dari situasi tak menyenangkan itu :
1. Sebagus apapun perhatian, jika dibungkus dengan
cara yang salah, justru tidak menghasilkan kebaikan.
Niatnya sih bagus biar yang jomblo segera menyegerakan
pernikahan, yang kurusan agar memperhatikan makan agar tidak sakit-sakitan,
yang gendut mengurangi makan hingga beratnya mencapai ideal, dan sebagainya.
Akan tetapi, nasehat yang baik dibungkus dengan cara kasar, terkesan
mengolok-olok bahkan mengejek, justru tak sampai pada tujuan. Alih-alih
mendapatkan terima kasih malah menerbitkan sakit hati.
2. Biasakan untuk menempatkan diri di posisi orang
yang hendak kita komentari
Cobalah mengingat kembali apa yang kita rasakan ketika
dikomentari buruk oleh seseorang. Tidak menyenangkan bukan? Bahkan meskipun
kawan kita mengaku itu hanya candaan. Sekiranya tidak menyenangkan, kenapa kita
harus mengulanginya? Berpikir demikian akan membuat kita berpikir ulang sebelum
melontarkan perkataan. Sehingga terhindar dari perbuatan menyakiti hati orang.
3. Jangan disamaratakan
Karena di lingkup pergaulan kita ngomentarin dan ngecengin
secara kasar itu orang itu biasa, lantas kita berpikir bisa membawanya di
lingkup yang berbeda. Atau mentang-mentang kita nggak gampang marah kalau
dicengin orang, lantas menganggap orang lain pun sama dengan kita.
Berhentilah menyamaratakan keadaan. Tiap orang memiliki
keadaan yang berbeda. Baik lingkup pergaulan dan emosionalnya. Jika tak pandai
membaca situasi, jangan kaget jika diam-diam banyak yang membenci.
Lalu apa ya yang harus dilakukan untuk mengatasi orang yang “Baru
Minta Maaf Kok Sudah Bikin Marah?!” macam itu tadi?
Kalau saya sih pertama,
anyepin aja. Iya. A-N-Y-E-P-I-N A-J-A! Nggak usah ditanggapi. Apalagi
sampai memberi ruang di dalam hati. Percayalah, tak ada manfaat apapun ketika
kita menimbun kekesalan di sudut hati karena komentar miring semacam ini. Yang
ada justru kompor amarah kita menyala dan akhirnya memicu timbulnya rasa rendah
diri, depresi, hingga berbagai serangan penyakit seperti sakit kepala, jantung,
stroke, hingga darah tinggi.
Kedua, segera
tinggalkan orang-orang yang toxic macam mereka. Tak perlu berlama-lama
bersamanya. Toh, tidak ada gunanya mendengar cerocosan yang tidak berguna.
Fokus saja pada kegiatan kita hari itu, yaitu berlebaran dan maaf-maafan. Bukan
meladeni si nyinyir melambai yang sedang beraksi.
Ketiga, lupakan dan
maafkan. Bukan untuk orang lain kita melakukannya. Tetapi, untuk diri
sendiri. Memaafkan itu memberikan kedamaian hati dan memberikan manfaat yang
besar seperti meningkatnya kesehatan mental, berkurangnya stress dan kecemasan,
menurunkan gejala depresi, meningkatnya sistem kekebalan tubuh, jantung,
hingga berkembangnya rasa percaya diri.
Dalam ajaran Islam, memaafkan itu bagian dari akhlak mulia
selain menahan amarah, mengerjakan yang ma’ruf, berpaling dari orang yang
bodoh, serta membalas kejelekan dengan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
,"Barang siapa mampu memaafkan saat ia mampu membalas, maka Allah akan
memberinya maaf pada hari kesulitan" (HR. Ath-Thabrani).
Jadi kenapa tidak dilakukan jika banyak kebaikan lebih banyak kita dapatkan dibanding memendam kemarahan akibat komentar buruk orang yang “baru minta maaf kok sudah bikin orang naik marah?!”.
Jadi kenapa tidak dilakukan jika banyak kebaikan lebih banyak kita dapatkan dibanding memendam kemarahan akibat komentar buruk orang yang “baru minta maaf kok sudah bikin orang naik marah?!”.
Salam.
makasih sharingnya
BalasHapussama-sama Mbak Tira, terima kasih kunjungannya
Hapus