Photo by Amnas from Pixabay |
Tahun
2015, saya masih sempat sungkeman dengan Ibu sebelum beliau meninggal di bulan
September 2015. Akan tetapi, setelah itu tidak lagi. Sofa tempat Ibu dan Bapak
biasa duduk untuk menerima sungkem dari kami, anak-anaknya, hanya dihuni
seorang saja. Bapak saya. Saya tidak tahu apa yang dirasakannya setelah ibu
tiada. Saya tidak pernah bertanya. Tetapi, yang jelas Bapak memang jarang
mengunjungi makam ibu saya. Bukan karena tidak mau, tapi berat bagi Bapak
datang ke sana. Itulah kenapa saya tidak pernah memaksanya. Karena setiap orang
punya masa berkabung yang berbeda. Bisa saja mereka yang nampaknya biasa-biasa
saja, tetapi menyimpan kesedihan lebih dalam dari yang kita kira. Atau
sebaliknya.
Namun
saya tidak pernah menyesali kepergian Ibu saya. Sebab dari kondisi itu saya
belajar memahami perasaan orang lain yang ditinggal pergi orang-orang
terkasihnya-adik, kakak, ibu, bapak, suami, atau anak. Saya tidak terkejut
ketika orang-orang masih meratap di dinding akun sosial medianya meski sudah
beberapa tahun ditinggal pergi, sementara yang lain justru nampak cepat pulih.
Memang
begitu. Tiap orang memiliki proses recovery
yang berbeda. Ada yang cepat dan ada yang lama. Kitalah yang justru harus
memahaminya. Tidak perlu menghakimi karena orang-orang yang kehilangan itu
memang butuh dukungan. Membosankan kadang, karena dinasehati agar move on seperti apa pun nampaknya gagal.
Malah si penasehat yang dianggap tidak paham. Itulah kenapa saya menahan diri
untuk tidak memberi nasehat mereka yang sedang kehilangan. Saya biarkan saja
dia meratap, karena itu bagian dari proses yang harus dijalani sebelum akhirnya
sampai di titik mengikhlaskan.
Lalu
saya sendiri, apa yang saya rasakan selama empat lebaran tanpa Ibu?
Tentu
ada yang janggal, terutama awal-awal. Biasa ada ibu, mulai dari menyiapkan baju
sampai urusan kebutuhan lebaran lainnya, sekarang hanya dengan Bapak saja.
Tidak sedetil dulu, karena pemikiran kaum Bapak itu beda dengan kaum Ibu.
Soal
jalan bareng pun demikian, rasanya seperti ada yang pincang. Terlebih jika
melihat orang lain yang kedua orang tuanya masih lengkap, tetapi buat saya itu
bukan hal penting untuk dikeluhkan. Disyukuri saja, karena kepergian Ibu
membawa banyak pelajaran baru buat saya. Termasuk diantaranya hubungan saya
dengan Bapak.
Bapak
dan saya memang memiliki sifat yang kurang lebih sama, keras kepala. Ketika
berbeda pendapat bisa sangat keras gesekannya. Bukan berarti hubungan kami
tidak baik. Saya ini anak Bapak. Apa-apa ya Bapak. Hanya saja karena sifatnya
terlampau sama, kami sering tidak mau mengalah jika berdebat. Semasa ibu ada,
beliau yang sering menjadi jembatan. Setelah jembatannya tidak ada, saya
berusaha memahami pola pikir Bapak saya. Mungkin Bapak juga.
Saya
masih bergaya blak-blakan, tetapi saya akan mencari saat yang tepat untuk
mengatakan. Dulu saya tak pusing soal itu, jika kurang berkenan ya katakan.
Mungkin Bapak juga mulai mengerti pola yang baik untuk komunikasi kami. Selain
Bapak juga nggak punya teman curhat lagi (selain saya sekarang, hihihihihi
...). Alhasil kami jarang bertengkar.
Gambar oleh İ. A. dari Pixabay |
Adik-adik
saya juga mulai terbiasa sepertinya lebaran tanpa ada Ibu di sisi kita. Saya
kadang bisa melihat kesedihan mereka, tetapi tidak pernah bertanya. Saya
memaklumi, bagaimana pun itu urusan hati. Walau sudah ikhlas, tetap saja ada
satu titik di mana kita berharap waktu bisa diputar kembali. Tetapi, tidak
mengapa. Kehilangan itu pada akhirnya memang harus kita terima. Sudah
ketentuan-Nya. Kita yang tinggal menjalani dan mengambil pelajaran baiknya.
Salam.
Right here is the perfect webpage for anybody who wishes to
BalasHapusfind out about this topic. You realize so much its almost hard to argue with you (not that I actually would want to…HaHa).
You certainly put a brand new spin on a topic that has been discussed for a long time.
Great stuff, just excellent!