"Wah, asyik kali ya bisa meliput ke sana," pikir saya waktu melihat poster PIRN XVIII di dinding facebook Pak Joseph Atmadjaja.
Itu saja, lalu saya melupakannya. Hingga kemudian ada informasi dari Fiya ada workshop sinematografi dan editing video yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi bekerja sama dengan LIPI. Tidak disangka dari sana justru mendapat kesempatan untuk menjadi buzzer-nya. Memang tidak semua orang yang hadir di pelatihan tersebut bersedia untuk menjadi relawan buzzer di PIRN XVIII. Hanya 36 orang saja yang kemudian terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok satu bertugas di hari Selasa, kelompok dua hari Rabu, dan kelompok tiga hari Kamis. Sementara untuk pembukaan di hari Senin dan penutupan di hari Jumat seluruh rekan-rekan hadir semua. Komposisinya terdiri dari orang umum (macam saya), anak kuliahan, SMA, dan SMP.
Sebagian rekan yang tergabung dalam tim buzzer PIRN XVIII. |
Sebagai buzzer baru kali ini saya tergabung dengan tim yang komposisinya macam ini. Biasanya, meski hanya bagian nge-twit saja, rekan-rekan kerja saya rata-rata sudah profesional semua. Maklumlah kebanyakan rekan blogger, memang merangkap jadi buzzer dan influencer. Jadi pekerjaan macam itu sudah tak asing lagi bagi mereka. Maka ketika menerima tugas, langsung paham apa yang harus dilakukan.
Untuk kali ini memang ada sedikit perbedaan. Karena tidak semua pernah menjadi buzzer, tentu saja ada ketimpangan. Masih ada beberapa yang bingung harus apa di lapangan. Contohnya ketika harus nge-twit on the spot. Bagi mereka yang belum pernah, nge-twit on the spot memang bikin kelabakan. Kapan motret, kapan nge-post foto dan story di Instagram, kapan waktunya ambil footage untuk video yang nantinya diunggah di YouTube, kapan nge-twit, bisa membingungkan. Bukan berarti yang sudah pernah nge-buzzer terus lancar , tetapi karena pengalaman mereka jadi terlatih menentukan timing yang pas untuk masing-masing hal itu.
Nah, yang paling seru soal nge-twit. Untuk anak-anak kuliahan atau SMA, rasanya sudah paham soal main twitter itu bagaimana. Nah, untuk adik-adik SMP ternyata belum. Tidak heran sih, karena anak-anak seusia mereka lebih familier dengan Instagram. Tapi, hal macam ini nggak susah untuk diatasi jika musuhnya adalah anak-anak milenial yang pintar macam mereka. Begitu dikasih briefing plus tutorial cara nge-twit itu seperti apa mereka langsung bisa. Saya sampai ngakak kalau ingat gimana gaya saya waktu memberi briefing pada mereka. Ya Allah, gayanya persis emak-emak sama anaknya.
"Jadi gimana, sudah paham?"
Kalau ada yang belum, saya ulangi lagi sekaligus praktek biar langsung paham.
Lha ngapain kok sampai mau berepot-repot macam ini?
Sederhana, kita semua tergabung dalam tim buzzer. Sebisa mungkin kekuatannya harus seimbang agar lancar ketika melakukan tugas di lapangan. Kalau ada yang kurang paham, jangan ditinggalkan. Geret, beri percikan debu-debu intan (peri kali ah!) maksudnya beri tahu apa yang harus dilakukan, pasti jalan. Apalagi anak-anak yang ikut terjun jadi buzzer hari itu rata-rata cerdas. Jadi gampang kalau diberi informasi baru.
Apakah sempat keteteran waktu melaksanakan tugas sebagai buzzer di PIRN XVIII?
Sempat. Waktu itu hari Rabu (26/6/2019), sebenarnya saya tidak bertugas di lapangan. Harusnya saya bertugas hari Kamis. Hari itu saya datang untuk support teman-teman terkait masalah twit yang sudah saya sebutkan di atas, sekaligus memotret dan bikin video di areal pameran (sepanjang jalan wijaya kusuma), SMAN 1 Giri (tempat peserta IPATEK berada), dan SMKN Banyuwangi (tempat peserta SD belajar materi robotika). Namun karena kekurangan orang (terutama di tempat peserta PIRN XVIII riset lapang), akhirnya ikut tugas juga seperti rekan-rekan lainnya.
Peserta PIRN XVIII bertemu sesepuh dan budayawan di desa adat Kemiren. |
Awalnya semua sudah dibagi, ada yang bertugas di SMAN 1 Giri untuk memotret dan memberi laporan apa yang dilakukan peserta IPATEK, aula SMKN (tempat peserta SD merangkai robot), kemudian ke mal pelayanan publik, Gombengsari, wisata agro, dan Bangsring. Lha, ternyata satu tempat ketinggalan yaitu di Kemiren. Saya dan Fiya yang semula ikut teman-teman ke SMAN 1 Giri akhirnya balik kanan. Tidak jadi ke SMAN 1 Giri, tapi ke Kemiren.
Lalu apa yang paling seru selama bertugas jadi tim hore di gelaran PIRN XVIII (Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional) 2019 ini?
Jadi buzzer on the spot semacam ini selalu menyenangkan. Saya bisa bertemu orang-orang baru dari latar belakang yang berbeda. Ini berarti saya menambah saudara baru. Dan tentu saja, mendapat ilmu baru juga. Selaku senior (hahaha, bilang aja sepuh atau tua), belajar is a must. Biar apa? Biar ilmunya tidak usang dan tetap bisa mengikuti jaman. Kadang dari obrolan mereka saya tahu betapa ide-ide saya sudah lapuk, inovasi saya pun sudah berkurang. Duh, pokoknya saya sudah ketinggalan jaman.
Serunya ketika kumpul dengan anak muda adalah mendapakan ide-ide cerita. Maklum penulis, apa pun yang ada di sekitarnya bisa diserap dan dijadikan bahan cerita. Misalnya salah tingkahnya mereka saat berkomunikasi dengan gebetan. Padahal nggak bertatap muka, tetapi hanya via WhatsApp saja. Hahaha, saya ngakak melihatnya! Sampai-sampai saya bertanya ,”Saya dulu gitu juga nggak sih? Atau malah lebih parah?”
Apa pun gayanya, yang penting fotonya juara! |
Di lapangan, acap kita dituntut untuk sigap dalam segala keadaan. Motret, mengambil video, nge-twit, mengunggah foto dan story di Instagram, harus bisa dilakukan bersamaan. Kadang untuk mendapatkan angle gambar dan video yang bagus, gaya apa pun dilakukan. Berdiri tegak, miring, membungkuk, sampai jongkok pun dilakoni dari pagi sampai malam untuk melaporkan dan mengabadikan kegiatan rekan-rekan di PIRN XVIII.
Wih, dari pagi sampai malam? Padat ya kegiatannya.
Memang padat, menyesuaikan kegiatan teman-teman yang ikut PIRN XVIII, mulai pukul 8.00-21.00. Tentu saja tidak terus-terusan juga. Ada jedanya yaitu waktu ishoma (12.00-13.00), coffee break (15.00-15.30), dan sore (17.00-19.00).
Nah, yang tidak kalah asyik adalah berkesempatan ikut Field Trip ke Ijen bareng peserta PIRN XVIII. Kebetulan Ijen sedang dingin-dinginnya hari-hari belakangan. Menurut berita suhunya mencapai 40C. Cukup membuat kita gemetar jika tidak memiliki perlindungan yang cukup.
Berapa orang yang ikut ke sana? Minus peserta SD yang sudah pulang, kurang lebih 800-an orang. Jadi bisa dibayangkan betapa ramainya situasi di sana. Akan tetapi, tidak semua berhasil ke puncak. Mungkin sebagian memilih untuk kembali karena tidak kuat meneruskan perjalanan.
Saya bagaimana?
Saya bersyukur meski jalannya seperti siput berhasil sampai di puncak. Lalu seperti apa ceritanya? Tunggu dulu, akan ada lanjutannya di unggahan berikutnya.
Beruntunglah dirimu yang bisa ikut terlibat acara seru ituuuh.
BalasHapusIya mbak, bersyukur banget. Nggak nyangka omongan iseng bisa jadi nyata
Hapus