JAGA KOMENTAR KITA SUPAYA TIDAK ADA SULLI LAINNYA



Gambar oleh Foundry Co dari Pixabay
Sebagai orang yang tidak terlampau nge-fans dengan artis-artis Korea, nama Sulli hanya sekilas-sekilas terdengar saja. Saya tahu dia pernah tergabung dengan grup F(x), tetapi selebihnya itu saya tak mengikuti beritanya. Tetapi, tetap saja mengejutkan mengetahui bahwa ia bunuh diri.
Penasaran saya pun membuka berita-berita tentangnya. Sulli dianggap sebagai orang yang penuh dengan kontroversi. Bahkan ada satu berita yang menyamakannya dengan Awkarin. Ada tujuh kesamaan yang ditulis di sana, mulai dari image lugu dan cerdas pada awalnya, paras cantik dan tubuh indah, suka umbar kemesraan dengan pasangan, sering menampilkan foto yang hot, sering menimbulkan kontroversi, banyak haters-nya, dan terakhir banyak sekali komentar jahat mampir ke akun instagramnya.

Sejahat itukah netizen? Sampai membuat orang seperti Sulli depresi dan ingin bunuh diri?
Saya hanya tahu soal itu di media, itu pun sudah diterjemahkan, jadi mungkin sudah dikoreksi agar "pedasnya" tak sejeletot aslinya.
Tapi, bisa jadi iya.
Menjadi Idol KPop, tak seindah bayangan kita. Ia dituntut sempurna, bahkan di saat paling rapuh pun ia tak boleh menunjukkannya. Ibaratnya meski hati perih, tapi senyum harus tetap cetar membahana.
Acap situasi ini menimbulkan depresi, ketika tak mendapat bantuan tentu saja depresi ini terus menekan dan memunculkan keinginan bunuh diri.

Di Indonesia, Syahrini yang dikenal woles saja pada akhirnya harus menutup kolom komentar. Ia tidak memberi ruang bagi mereka yang ingin gibah, nyinyir, atau melakukan hate speech di akun miliknya karena hanya menggerus emosi dan menghabiskan energi.
Tapi, apakah orang mengerti soal ini? Oh, tentu tidak, Esmeralda! Orang bahkan menganggapnya cemen, takut, dan sebagainya. Bahkan ada yang dengan sengaja bilang "Buat apa jadi artis kalau tak tahan bully?". Komentar seperti ini saya dapati juga di akun artis lainnya. Seolah dengan menjadi artis adalah legitimasi bagi orang lain, dalam hal ini netizen, untuk merundung atau mem-bully-nya. Ah, padahal artis juga manusia, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati (laah itu rocker ya?). Setangguh-tangguhnya pasti ada saatnya lelah menghadapi komentar nyinyir padanya. 

Bahkan ketika Syahrini posting sesuatu yang biasa, tak mengandung kontroversi, orang tetap nyinyir padanya. Menemukan komen semacam ini, yang pedasnya level tertinggi, saya sebagai orang asing yang sama sekali tak berhubungan dengan syahrini, merasa miris sendiri. Tak jarang perasaan itu pula yang menggerakkan jari saya untuk melaporkan komentar jahat itu agar tak muncul lagi.
Apakah hanya di akunnya Syahrini saya melakukannya? Tidak! Saya juga melakukan hal yang sama di akun-akun selebritis atau artis lain juga. Kenapa nggak dibalas dengan komen yang levelnya sama? Lho, buat apa? Menuruti mereka tidak ada habisnya. Seringkali saya lihat ketika dibalas dengan kalimat yang level jahat dan nyinyirnya sama, mereka lebih nyolot empat kali lipat! Kalau kita tidak kuat, kita akan terpengaruh dan akhirnya berbalas-balasan komen dengannya. Dan tanpa sadar kita sudah digiring menjadi mahkluk yang tak kurang jahatnya. Bagaimana tidak? Lha wong kita terpicu untuk "meninggikan komentar" (baca : lebih jahat, lebih nyinyir, lebih buruk) agar orang itu kalah dan kehabisan kata. Kan blaeen ini ...

Yah, kamu Fin, kurang kerjaan banget sih ngelaporin akun-akun kayak gitu. Mbok biarin aja!
Entahlah. Saya nggak bisa diam saja melihat cyber bullying terjadi di depan mata. Apalagi kadang itu dilakukan bukan karena si artis/selebritis melakukan kesalahan, tetapi karena si komentator tidak bisa menahan diri untuk melontarkan kalimat buruk. Misalnya Tasya Kamila, usai melahirkan ada saja komentar tak mengenakkan yang mampir padanya. Tak sedikit yang bilang kalau pipinya masih tembem saja padahal bayinya sudah lahir. Padahal itu hal yang wajar. Apalagi jika ia baru tiga hari melahirkan. Memangnya ada orang yang bobotnya kembali normal setelah tiga hari melahirkan?
Dan bagi saya melaporkan komen sejahat itu hanyalah cara kecil untuk memeranginya. Saya belum mampu melakukan apa-apa agar orang berhenti melakukan cyber bullying. Jadi kenapa tidak itu saja yang yang saya lakukan?
Lalu bagaimana jika artisnya sendiri yang mengundang orang melakukan tindakan tidak menyenangkan? Contohnya Barbie Kumalasari dan Lucinta Luna. Mereka itu kan halu sehalu-halunya.
Ya biar saja. Bukan urusan kita. Saya bukannya nggak pernah mendatangi akunnya, melongok seperti apa. Akan tetapi, berkomentar jahat karena kelakuannya di media, rasanya tidak perlu juga. Abaikan saja, anyepin saja. Mau jungkir atau kayang, biarkan. Tak perlu diberi panggung.

Sulitkah bersikap begitu? Iya. Wong namanya manusia. Kadang gelora nyinyir melambai itu kerap menggoda kita. Ini tidak dipungkiri lho ya, apalagi melihat kelakuan artis sensasional yang gemar menampilkan hal-hal yang mengundang bully-an. Weh, jiwa nyinyir meronta-ronta untuk dikeluarkan.
Tapi, sebelum itu dikeluarkan ada baiknya juga kita berdiam diri sejenak. Apa manfaatnya? Bagaimana jika itu kita? Apakah kita akan suka? Terkadang di balik pribadi yang perilakunya tak kita senang, ada tekanan yang besar. Yang tidak kita pahami kecuali kita sendiri berada di posisinya. Seperti Sulli misalnya. Cukuplah jika tak senang, tak perlu mendatangi akunnya. Tak perlu melihat postingannya. Tak perlu membaca beritanya. Dengan demikian kita tak terpicu untuk berkomentar buruk. Jikalau komentar buruk itu justru melontarkannya ke tekanan terdalam dan membuatnya terdorong untuk bunuh diri, kita ikut kecipratan dosanya. 
Lagipula apa yang kita tahu tentang hidupnya. Apa yang tampil di sosial media atau di berita-berita acap tidak menunjukkan situasi sebenarnya. Kita tak pernah tahu dibalik senyum atau tingkah ceria seorang bintang seperti Sulli, ada luka atau apalah yang mengganggu jiwanya. 

Lalu kenapa Sulli tidak meminta pertolongan? Pergi ke psikiater misalnya agar mendapatkan penanganan yang benar. Supaya depresinya tidak menjadi hantaman?
Kenyataannya tidak segampang itu membicarakannya. Di Korea Selatan membicarakan hal ini masih dianggap tabu. Mencari bantuan profesional pun dianggap memalukan. Seolah mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang lemah menghadapi hidup.
Minzy, sekeluarnya dari 2NE1, menceritakan betapa tidak mudah menjadi dirinya. Meskipun debut grupnya sukses, tetapi buruknya komen netizen Korea mau tak mau mengganggu kesehatan mentalnya. Ia berusaha melupakannya, menganggapnya sebagai “It’s no big deal”, nyatanya tidak semudah itu. Kurangnya dukungan dan tekanan di dunia yang digelutinya, membuatnya depresi. Ia bahkan sempat berpikir untuk bunuh diri.

Lalu bagaimana di negara kita? Apakah tak ada kasus semacam itu? Ada. Di ruang-ruang maya, secara sadar atau tidak kita acap melakukannya. Body shaming atau cyber bullying mulai merebak di mana saja. Lucu buat pelakunya, tetapi tidak bagi yang menjadi obyeknya. Belajar dari kasus Sulli, Minzy, dan lainnya, mungkin kita harus koreksi pada diri sendiri. Siapa tahu, kitalah salah satu pelaku yang membunuh orang lewat kalimat-kalimat tajam dan menyakitkan. Setelah itu mari lakukan yang harusnya dilakukan, menjaga komentar agar tak ada Sulli lain bertumbangan.
Salam.

Komentar

  1. Saya setuju, Kak. Di kehidupan sehari-hari, orang juga suka menggosip tentang rekan kerja, teman kuliah, dan lain-lain. Tapi memang kalau di dunia nyata, bicara langsung ke orangnya memerlukan keberanian yang lebih tinggi. Posting di medsos kan disertai anonimitas, atau paling nggak tidak tatap muka dengan orang yang dibully. Makanya lebih mudah dilakukan karena pelaku tidak bisa mendapatkan respon emosional (raut muka, ucapan, pukulan, teriakan, dll) langsung dari korbannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu dia Mbak Dyah, beraninya karena tak bertatap muka. Kalau satu lawan satu belum tentu berani.

      Hapus
  2. Betul banget, topik mental health di Korsel memang masih agak tertutup, padahal ini yang paling krusial. Kejadian Sulli dan idol K-Pop lainnya yang pernah kejadian serupa (nggak mau sebut nama, sedih T_T) bisa menjadi pelajaran untuk setiap agensi musik besar di Korsel. Harusnya mereka bisa memberikan fasilitas konseling di perusahaan bagi para idol ya, kayak ruangan BK zaman sekolah kita dulu. Supaya bisa menjaga kondisi kesehatan mental para artis mereka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya, Mbak, jangan hanya menyuruh bekerja, kesehatan mental pun harus dijaga. Ngeri.rasanya melihat anak muda berbakat tumbang karena depresi dan kurangnya dukungan, diperparah oleh komen netizen yang gak kira-kira jahatnya.

      Hapus
  3. Intinya saling menjaga perasaan baik dunia nyata maupun maya ya mba. Karena daya tahan orang terhadap tekanan berbeda2. Bisa jadi menurut satu orang sebuah komentar dianggap wajar tapi ternyata menyakitkan bagi yang lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak. Dunia maya sama dengan dunia nyata. Tetap ada unggah-ungguh yang harus dijaga. Komentar sewajarnya. Kalau mau pedas coba dulu pada diri sendiri.

      Hapus
  4. aku sukaaa baca tulisanmu mba.. dan salut kamu ngelaporin2 komen2 jahat yg banyak di akun para artis.. mungkin aku bakal ngelakuin yg sama nanti.

    kadang g abis pikir dengan org2 yg suka melakukan bully. secara online pula, giliran didatangin, nangis, mewek, nyesel, minta maaf. pengecut tingkat dewa. apa mereka punya masalah juga sampe tega seperti itu yaa.. apa ga berpendidikan.. kenapa tega menuliskan kalimat2 jahat utk org lain :(. kenal juga ga padahal... kok bisa yaa mendapatkan kepuasan dgn cara begitu :(. sediih sih ama orang yg begini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin dia punya masalah dengan dirinya sendiri di dunis nyata, Mbak. Lalu melampiaskan dengan komentar jahat di dunia maya. Mumpung gak ketemu muka. Tapi pas dijabanin olokannya, et daah aslinya nggak segarang di dunia maya. Hmh, ngeselin!

      Hapus
  5. Kita yang hidup, orang yang komentar. Saya juga sering capek ngadepin komentar orang, soalnya salah atau benar, orang-orang senangnya komentar dan mostly komentarnya nyinyir. Nggak paham lagi dengan apa yang ada di pikiran mereka, padahal mereka juga tidak tahu benar dengan sebenarnya yang kita alami. Semoga dengan postingan ini semakin banyak orang yang sadar untuk jaga omongan ya mba.. Suka dengan tulisannya.. TFS :)

    BalasHapus

Posting Komentar