Tak Hanya Bagikan Buku, Bookbuster Membuat Saya Harus Mengalahkan Rasa Takut di Jalan Raya



Tak banyak yang tahu kecelakaan yang pernah saya alami, yang membuat saya ngamar kurang beberapa hari di rumah sakit beberapa tahun lalu. Masa itu sudah usai, tetapi traumanya masih ada. Perlahan memang menghilang, tetapi belum sepenuhnya. Setiap kali berpapasan dengan mobil, truk, atau kendaraan lain yang lebih besar dari motor saya, rasa tidak nyaman itu terkadang masih muncul ke permukaan. Bayangan ketika ditabrak dari belakang, lalu dada menghantam setang, dan saya jatuh ke aspal dengan darah segar merembes melalui jilbab kala-kala muncul meski hanya sekilas.  Lecet-lecet di kaki dan tangan memang tidak terlampau parah,  namun akibat kecelakaan itu saya butuh tiga bulan untuk bisa menatap komputer dengan benar tanpa perlu merasa pusing atau berkunang-kunang. Hingga sekarang bagian kepala yang robek dan harus dijahit itu masih terasa sengkring-sengkring. Meskipun sudah tidak sesering dulu.
Kondisi semacam ini yang bikin saya ragu ikut Bookbuster tahun ini meskipun sudah mendaftar.  Pasalnya ketika ikut rombongan saya tak bisa santai dan semaunya mengendarai motor. Harus menyesuaikan dengan kecepatan semua rekan dan taat pada aturan pimpinan rombongan agar perjalanan sesuai jadwal. Bahkan harus menyalip kendaraan lain jika diperlukan. Saya tidak bermasalah dengan “taat pada aturan pimpinan rombongan”. Akan tetapi, bermasalah dengan menambah kecepatan dan menyalip kendaraan di jalan. Jika terpaksa saya bisa melakoninya, tetapi butuh waktu berdialog dengan diri sendiri dan meyakinkan bahwa saya akan baik-baik saja sewaktu menyalip kendaraan dan menambah laju motor di jalan.

Itu sebabnya saya sempat ingin membatalkannya. Terlebih berkaca dari tahun sebelumnya, di mana saya agak terengah-engah mengejar kecepatan rekan-rekan relawan dan rider yang ikut Bookbuster.  Tahun ini daripada menyusahkan rombongan mending di rumah saja. Begitu pikir saya. Akan tetapi, melihat foto-foto para relawan yang menyiapkan buku-buku untuk dibagikan ke berbagai rumah baca, saya berubah. Pikir saya, mereka sudah berupaya keras menyiapkan tiga ribu buku  untuk sepuluh rumah baca, masa saya yang tinggal berangkat saja mengendur dan tidak berani menghalau ketakutan saya. Come on kamu bisa!
Akhirnya saya memang ikutan, tetapi tidak sedari awal. Saya menunggu rekan-rekan relawan dan rider dari berbagai klub motor yang ikut Bookbuster di Rumah Baca Aksara. Kok menunggu di sana? Kenapa tidak dimulai dari Ketapang, sesuai rute yang dipertontonkan sedari awal? Karena dengan kecepatan saya yang sesantai lagu yang salah satu syairnya berbunyi “Entah apa yang merasukimu” jelas nggak nutut sampai di Ketapang sesuai jadwal. Kalaupun bisa pasti terlambat dan itu bisa menghambat perjalanan rombongan.

Begitu sampai, Fiya (pendiri Rumah Baca Aksara) sudah berada di beranda rumahnya. Asyik bermain bersama bocah-bocah yang biasa bermain ke rumah bacanya. Ia tidak sendirian, ada Putri di sana . Gadis yang pandai menari ini adalah salah satu peserta pelatihan PPA 2019 (Pengurangan Pekerja Anak) yang dilaksanakan di Rumah Literasi Indonesia. Rupanya Putri juga hendak ikut rombongan Bookbuster bersama lainnya. Tetapi, karena Ketapang jauh juga dari rumahnya, akhirnya ia menunggu di tempat Fiya seperti saya.
Sementara Fiya dan Putri bermain bersama adik-adik, saya menikmati sarapan yang saya bawa dari rumah. Iya, saya memang tidak pernah melewatkan sarapan. Saya bisa tahan tidak makan siang, tetapi tanpa makan pagi … wah saya susah konsentrasi! Kalau ini terjadi saya bisa merepotkan orang lain nanti.

Sekitar jam sembilan, rombongan Bookbuster tiba. Terdiri dari satu mobil bak terbuka yang digunakan untuk membawa buku, lalu diikuti oleh deretan motor-motor berbagai rupa. Sepagi itu mereka sudah membagikan buku di dua tempat yaitu di Rumah Baca Inspirasi dan Pustaka Jana. Rumah Baca Aksara adalah tempat ketiga yang mereka datangi. Berikutnya mereka akan bergerak di Rumah Baca Ainina.
Tentu saja bergerak di bawah matahari musim kemarau yang terik menjadi tantangan tersendiri. Selain panas, gerah, juga mudah haus. Beruntung setiap kali berkunjung menyerahkan bantuan buku yang disponsori Alibaba dan UC Browser itu selalu disuguhi minuman. Jadi tenggorokan yang kering bisa segera menemukan sumber untuk membasahinya. Tidak hanya minuman, buah-buahan dan makanan kecil pun tak lupa dihidangkan. Semangka,kacang rebus, ketelah rambat rebus, hingga tahu isi (isiannya mirip isian tahu diwalik) tersedia.  Bahkan seringkali dibawakan untuk camilan di jalan. Benar-benar, membahagiakan!

Dijamu makan siang di Rumah Baca Algebra.
         
        Di rumah baca Algebra kami bahkan di-sega-ni. Iya, di-sega-ni alias diberi nasi. Seperti tahun sebelumnya, kami pun di jamu dengan makan siang di sini. Jika tahun lalu soto ayam, kali ini sayur asam kacang dengan kecambah dari kedelai yang banyak. Lauknya beragam. Ada tempe, pepes oling (kalau tidak salah), perkedel jagung, serta kerupuk. Sambalnya tentu tak ketinggalan. Ada dua macam sambal. Ada sambal jeruk dan sambal terasi. Wah, kenikmatan benar bagi kami!
Usai dari rumah baca Algebra, perjalanan dilanjutkan ke Rumah Baca Kedaleman. Tak banyak waktu di sini,  karena masih harus ke tempat berikutnya yaitu Rumah Baca Garasi. Setelah menyalurkan buku-buku itu, kami langsung berangkat ke Rumah Baca Garasi di Rogojampi. Wih, mataharinya tak kira-kira. Benar-benar tulus menyinari dunia. Dan kita merasakan betul panasnya.
Beruntung sekali, di rumah baca ini kami disambut dengan es cendol tape yang lezat! Dahaga yang terkumpul di jalanan menuju kemari langsung dituntaskan dengan dengan minuman ini. Senyampang minum es cendol, rujak buah pun tak ketinggalan. Melon, nanas, ketimun, tahu, dan entah apalagi terasa lezat diguyur bumbu rujak yang pedas, asam, dan manis itu. Usai di Rumah Baca Garasi, rombongan Bookbuster segera meluncur ke TKP berikutnya, yaitu Rumah Baca Lampion yang ada di Glenmore. Jaraknya kurang lebih 30 km dari Rumah Baca Garasi.

Ramai-ramai unboxing buku.

Hari sudah sore ketika kami tiba di sana. Sebuah panggung kecil berdiri di halaman rumah Kak Roy, pemilik Rumah Baca Lampion. Rupanya rumah baca yang berdiri sejak setahun lalu itu launching hari ini. Untuk itu diadakan panggung kecil-kecilan di tempat ini. Acaranya berlangsung hingga malam hari, tetapi karena kami harus segera berangkat ke tempat berikutnya, di Coffee Library (Kalibaru), kami segera berangkat setelah di-sega-ni untuk kedua kali. Menunya, wah juara! Oseng pakis, sambal, lalapan selada, dan tidak lupa lele goreng garing lauknya.
Di Kalibaru Manis, di Coffee Library, kita di-sega-ni lagi. Beuh, semua orang saling pandang karena baru saja makan di Rumah Baca Lampion. Namun, bagaimana lagi? Masa sudah susah-susah dimasakkan kami tolak. Mau tidak mau ya sop tahu sayuran berlauk telur dadar goreng, perkedel jagung, dan pepes ikan masuk juga ke perut meskipun porsinya sedikit. Beberapa yang kekenyangan menolak untuk makan dan lebih senang menanti sembari ngobrol dengan kawan, sebelum akhirnya pulang selepas sholat maghrib ditunaikan.

Pada akhirnya yang bisa saya katakana adalah perjalanan berbagi 10.000 buku yang disponsori oleh Alibaba dan UC Browser ini, bukan saja soal berbagi buku. Akan tetapi, juga silaturahmi antara pemilik rumah baca, relawan Rumah Literasi Indonesia, juga para rider berbagai klub motor yang ikut acara Bookbuster. Acara ini memang fun, seru dan menyenangkan. Tidak heran meski perjalanannya jauh (kurang lebih 72 km jarak Ketapang-Kalibaru), rasa lelah itu tidak dirasakan. Apalagi melihat antusiasme anak-anak kala unboxing kotak-kotak berisi buku yang kami bawa. Wah, rasanya nyes banget!
Tidak hanya itu saja, setiap kali berkunjung ke rumah baca, selalu ada cerita menarik bagaimana mereka berjuang mempertahankan rumah baca. Ada yang sempat vakum, kemudian bangkit lagi. Ada yang terus bergerak meski buku hanya beberapa gelintir. Ada yang rumahnya di pelosok, tetapi semangat untuk menyebarkan literasi teramat tinggi. Segala macam kesulitan yang mereka adalah nyanyian inspiratif yang berkumandang tentang bagaimana budaya literasi dilakoni.



Buat saya pribadi, Bookbuster tidak hanya keliling berbagi buku. Ada banyak kisah baik yang saya dapati selama mengikutinya yang kemudian saya rangkum dalam bentuk tulisan atau (belakangan) video. Supaya apa? Supaya kisah-kisah ini tidak tenggelam. Supaya orang tahu bahwa di negeri ini masih banyak orang yang mau berbuat untuk bangsanya, lewat jalur yang mereka pilih. Jalur literasi. Itu yang pertama.
Yang kedua, mengikuti Bookbuster berarti juga menantang diri sendiri untuk mengesampingkan rasa takut di jalan. Namanya rombongan, mana bisa seenaknya. Sayalah yang harus menyesuaikan aturan mainnya agar bisa bareng-bareng ke tujuan. Kalau sendirian solo namanya, bukan rombongan. Agak berat memang, makanya sebelum berangkat saya menyiapkan diri  dan komat-kamit menyerahkan diri pada Empunya hidup atas apa yang saya lakukan hari itu. Negativisme saya buang, saya ganti dengan pikiran positif bahwa Allah akan menjaga saya dan semua akan baik-baik saja.

Soal apakah saya menyesal karena kecelakaan itu pengaruhnya sepanjang ini? Saya akan jawab, tidak juga. Justru karena kecelakaan itu saya jadi lebih hati-hati. Tidak ceroboh saat di jalan. Tahu cara mengukur diri, berapa kecepatan yang mampu saya tangani. Perkara orang lain mengatakan saya lelet, itu urusannya. Urusan saya adalah berkontribusi positif dalam kegiatan-kegiatan sosial atau kerelawanan dengan cara yang saya bisa sampai nanti tutup usia. Salah satunya mengikuti Bookbuster ini.
Oh, iya … apa kamu mau ikutan juga? Next year gabung bersama kami ya ….
  
Salam.
  






Komentar

  1. Wah keren ya acara bookbuster.. sponsornya jg keren hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tahun ini UCWeb kerjasamanya sama RLI, mbak.
      Keren acaranya, makan serunya, tapi capek juga. Juauh soalnya.

      Hapus
  2. salut mbaaa... ga mudah jd relawan begini, apalagi dgn trauma yg pernah dialami. semoga aja, dgn pembagian buku2 ini, minat baca anak2 skr bisa meningkat yaaaa. aku sendiri suka baca, dari kecil. krn selalu dibiasain papa. tiap papa tugas ke LN, selalu yg dibawa buku anak2 bergambar, yg walopun aku ga ngerti isinya, tp aku tertarik dgn gambarnya :). itu yg bikin aku semangat utk belajar membaca supaya semua buku2 yg dibawa papa, bisa aku baca. anak2ku pun aku biasain begitu. aku beliin buku dr bayi. skr mereka udh gedean, udh tertarik baca buku2 yg prnh aku beli dulu. semoga sih, minat bacaku bisa nurun ke mereka :D.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, Mbak Fanny keren. Aku salut sama orang tua begini ini. Membiasakan buku dari bayi. Insyaallah doanya terkabul, puta-putrinya senang membaca semua.

      Hapus

Posting Komentar